PERISAI BAGI ABU HURAIRAH (BAGIAN II)

611
PERISAI BAGI ABU HURAIRAH Bag II
PERISAI BAGI ABU HURAIRAH Bag II
Perkiraan waktu baca: 9 menit

Telah dipaparkan di bagian pertama dari artikel ini tentang profil singkat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, proses keislaman dan hijrahnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan faktor-faktor yang menjadikan beliau unggul dalam periwayatan hadis. Pada bagian ini, kami akan ketengahkan syubhat yang dijajakan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang terkait Abu Hurairah dan keabsahan beliau sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling banyak meriwayatkan hadis.

Daftar Isi:

MENYANGGAH SYUBHAT

Sungguh ironis, kendati para ulama dari masa ke masa telah memaparkan dengan gamblang tentang kehidupan ilmiah Abu Hurairah, mereka telah menjelaskan keuletan, kerajinan, dan pengorbanan beliau dalam menuntut hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan telah tegak konsensus para ulama tentang kuatnya hafalan dan banyaknya jumlah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, namun lisan-lisan zalim para musuh-musuh Islam tetap melontarkan celaan, makian, bahkan vonis dusta kepada keadilan beliau. Mereka menguntit riwayat-riwayat yang lemah dan menebarkannya di tengah kaum muslimin, atau jika tidak menemukan riwayat-riwayat tersebut, mereka akan memanipulasi riwayat atau menggelapkan sebagian riwayat demi merealisasikan tujuan mereka yang keji, yaitu menjegal riwayat-riwayat Abu Hurairah. Tidaklah Abu Hurairah dicela, dihina, bahkan dituduh berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali karena beliau menghidupkan sunah-sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan banyak mengajarkan warisan kenabian kepada generasi yang setelahnya. Satu fakta yang perlu kita ungkap bahwa tidaklah kelompok-kelompok yang menyimpang menebarkan syubhat tentang Abu Hurairah di tengah umat kecuali dikarenakan Abu Hurairah meriwayatkan hadis yang menyelisihi akidah dan pemahaman mereka, maka geramlah mereka dan mencoba membalas dengan mencela sahabat Abu Hurairah dan riwayat-riwayatnya.

Pada poin ini kami akan membantah sebagian syubhat yang ditebarkan musuh-musuh Islam mengenai Abu Hurairah.

SYUBHAT PERTAMA: DURASI PERSAHABATAN ABU HURAIRAH DENGAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

Telah dipaparkan di artikel bagian pertama bahwa Abu Hurairah berhijrah ke Madinah demi menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah melakukan ekspansi ke Khaibar, yaitu pada tahun 7 H. Jika dihitung, maka durasi perjumpaan Abu Hurairah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sekitar empat tahun.

Tetapi ada orang yang menebarkan isu bahwa masa persahabatan Abu Hurairah dengan Rasulullah cuma sekitar setahun sembilan bulan. Mahmud Abu Rayyah-lah yang sukses menyimpulkan durasi ini, dia mengatakan,

لبث أبو هريرة في الصفة يعاني فيها ما يعاني كما وصف ذلك بلسانه زمنا يبتدئ من شهر صفر سنة 7 هــ -وهو الشهر الذي وقعت فيه غزوة خيبر- وينتهي إلى شهر ذي القعدة سنة 8 هــ، ثم انتقل بعد ذلك إلى البحرين، وبذلك يكون قد قضى في المدينة سنة واحد وتسعة أشهر، لا كما اشتهر بين الجمهور من أنه قضى بالمدينة حياة النبي صلى الله عليه وسلم ثلاث سنين!، وبعضهم أوصلها إلى أربع سنين!.

“Abu Hurairah tinggal di Shuffah[1] dan menahan derita di sana sebagaimana diucapkan lisannya sejak lama, (yaitu) sejak bulan Safar di tahun 7 H –yaitu ketika terjadi perang Khaibar- dan berakhir di bulan Zulkaidah pada tahun 8 H, kemudian ia pindah ke Bahrain. Berpijak pada fakta ini, maka sejatinya ia tinggal di Madinah selama 1 tahun 9 bulan saja, bukan seperti yang populer di tengah mayoritas (ulama) bawa Abu Hurairah menghabiskan waktu di Madinah pada masa hayat Nabi selama tiga tahun! Bahkan sebagian berpendapat sampai empat tahun![2]

SANGGAHAN:

Nampaknya, hasil ini adalah penemuan “fenomenal” bagi Mahmud Abu Rayyah, penemuan yang menjadikannya diganjar sematan gelar Al-‘Allamah oleh seorang tokoh Syiah pada masanya, Shadruddin Syarafuddin,[3] sebuah sematan yang sangat fenomenal baginya, buktinya, ia senantiasa menghiasi mukadimah kitab yang dianggap mahakaryanya Abu Hurairah, Syekhul Mudhirah dengan testimoni dari tokoh tersebut dalam setiap cetakannya.

Sejatinya perbedaan konklusi dari sebuah penelitian adalah hal yang lumrah, asal penelitian tersebut dibangun di atas metodologi yang sehat dan benar. Namun, nampaknya ada hasrat terselubung Mahmud Abu Rayyah di balik konklusi yang dipetik dari penelitiannya tersebut, yaitu melegalkan tudingannya yang serampangan bahwa Abu Hurairah tidak layak meriwayatkan hadis yang begitu banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena singkatnya masa perjumpaannya dengan beliau. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, secara implisit ia menuding Abu Hurairah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[4]

Mahmud Abu Rayyah membangun konklusinya di atas riwayat Abu Hurairah yang menceritakan pengutusan beliau ke Bahrain yang ditemani oleh ‘Ala Al-Hadharami. Beliau mengatakan,

بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَعَ الْعَلَاءِ بْنِ الْحَضْرَمِيِّ، وَأَوْصَاهُ بِي خَيْرًا. فَلَمَّا فَصَلْنَا قَالَ لِي: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ أَوْصَانِي بِكَ خَيْرًا فَانْظُرْ مَاذَا تُحِبُّ؟، قَالَ: قُلْتُ: تَجْعَلُنِي أُؤَذِّنُ لَكَ، وَلَا تَسْبِقْنِي بِآمِينَ، فَأَعْطَاهُ ذَلِكَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku bersama ‘Ala bin Al-Hadhrami, dan Rasulullah memberikan wasiat kepada ‘Ala untuk bersikap baik kepadaku. Ketika kami keluar, dia berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya Rasulullah telah berwasiat kepadaku untuk berlaku baik kepadamu, maka apa yang engkau inginkan dariku?’ Maka Abu Hurairah mengatakan, ‘Jadikan aku muazinmu, dan jangan mendahului aku mengucapkan amin!’ Maka ‘Ala bin Hadhrami mengabulkan permintaan tersebut.”[5]

Baca juga:  SA’ĪD BIN AL-MUSAYYIB: PENGHULU PARA TABIIN

Mahmud Abu Rayyah menahbiskan riwayat ini sebagai dalil bagi konklusinya di atas, bahkan satu-satunya dalil. Dia mengklaim tidak ada dalil yang mengonfirmasi terkait kembalinya Abu Hurairah ke Madinah sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan dia menyimpulkan konklusi tersebut dengan penuh rasa percaya diri. Dia berkata,

…وهذه حقيقة ثابتة لا يستطيع أحد أن يدفعها أو يماري فيها، ومن كان عنده دليل صحيح يثبت عودته من البحرين إلى المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم فليبده.

“Fakta ini (bahwa Abu Hurairah meninggalkan Madinah menuju ke Bahrain) adalah valid, tidak ada seorang pun yang mampu menyanggahnya. Bagi siapa yang memiliki dalil yang menginformasikan bahwa Abu Hurairah kembali ke Madinah pada masa Nabi masih hidup maka hendaknya ia menunjukkannya!”[6]

Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad di At-Thabaqat Al-Kubra dari jalur Muhammad bin Umar Al-Waqidi, dari Abdullah bin Yazid, dari Salim Maula Bani Nashr, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Jika sanad riwayat ini diperiksa dengan saksama, sanadnya sangat lemah sekali disebabkan keberadaan Muhammad bin Umar Al-Waqidi pada sanad tersebut. Para ulama menilai beliau sebagai perawi yang matruk[7] alias ditinggalkan hadisnya. Oleh karena itu, para muhaqqiq kitab Siyar A’lamin Nubala’ menilai riwayat di atas lemah sekali.[8]

Dengan asumsi riwayat ini valid disebabkan karena kutipan-kutipan para ulama dalam kitab-kitab klasik seperti Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahumullah jami’an dalam Al-Ishabah tanpa ada penjelasan terkait derajat kevalidan riwayat tersebut, namun konklusi yang dipetik oleh Mahmud Abu Rayyah dari penelitiannya tetaplah prematur dan tidak argumentatif disebabkan beberapa faktor di bawah ini:

1- MENGABAIKAN DALIL-DALIL YANG BERSEBERANGAN DENGAN PENDAPATNYA

Perkara ini merupakan aib terbesar bagi seorang peneliti, dan aib ini banyak dipraktekkan oleh para orentalis dalam penelitian mereka. Mereka sangat gigih dalam mencari dalil yang mendukung syubhat mereka, bahkan tidak jarang mereka menelah kitab-kitab yang tidak populer di mata para ulama, namun anehnya seringkali mengabaikan dalil-dalil yang sangat terang benderang yang tercantum dalam kitab-kitab klasik yang sangat populer di kalangan ulama.

Terkait dengan masalah durasi persahabatan Abu Hurairah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ada beberapa dalil yang berkontradiksi dengan hasil konklusi Mahmud Abu Rayyah, diantaranya,

  • Ucapan Abu Hurairah,

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثَلَاثَ سِنِينَ لَمْ أَكُنْ فِي سِنِيَّ أَحْرَصَ عَلَى أَنْ أَعِيَ الْحَدِيثَ مِنِّي فِيهِنَّ

“Saya mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama 3 tahun, tidak ada pada usiaku yang lebih semangat untuk memahami hadis kecuali pada durasi tersebut (3 tahun)”.[9]

Ucapan Abu Hurairah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang secara sanad jauh lebih valid daripada riwayat yang menginformasikan kepergian beliau ke Bahrain, dan secara referensi, lebih mudah dijangkau dibandingkan dengan riwayat yang disebutkan di dalam kitab Thabaqat-nya Ibnu Sa’ad. Entah metode apa yang digunakan oleh Mahmud Abu Rayyah dalam penelitiannya sehingga mengabaikan ucapan Abu Hurairah ini yang secara disiplin ilmu hadis lebih valid?

Ada dua hal yang dikhawatirkan dari Abu Rayyah ini:

Yang pertama: kehilangan sifat obyektif dalam meneliti. Maksudnya dia sudah memiliki hipotesis tertentu terkait Abu Hurairah, sehingga kajian yang dia lakukan bertujuan untuk “membuktikan” hipotesisnya tersebut, dan hal ini sangat gamblang lewat sikapnya yang tebang pilih dalam berdalil.

Kedua: membangun penelitiannya di atas apriori bahwa Abu Hurairah berdusta atas nama Nabi, dan ini nampak dalam bukunya Abu Hurairah Syekhul Mudhirah yang banyak melontarkan tuduhan secara serampangan terhadap Abu Hurairah. Di antara bukti dari kekhawatiran ini adalah keyakinannya bahwa riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah ini palsu, padahal dia mengetahui bahwa atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang tentunya kualitas sanadnya lebih valid,[10] kerap menggunakan kata-kata kasar untuk Abu Hurairah,[11] dan bukunya yang sarat dengan ungkapan-ungkapan beraroma satire untuk Abu Hurairah, serta melontarkan hinaan dan cemooh yang membuat merinding bulu roma.[12]

  • Ucapan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari, beliau mengatakan,

لَقِيتُ رَجُلًا قَدْ صَحِبَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَرْبَعَ سِنِينَ

“Aku berjumpa seseorang yang menjadi sahabat Nabi selama 4 tahun seperti Abu Hurairah mendampingi Nabi selama 4 tahun.”[13]

Ini adalah dua riwayat valid terkait masa persahabatan Abu Hurairah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara zahir kedua riwayat ini kontradiksi, namun akan dijelaskan lewat interpretasi para ulama pada poin yang akan datang.

Baca juga:  ‘URWAH BIN AL-ZUBAIR (23-94 H)
2- MENGABAIKAN PENDAPAT PARA ULAMA YANG BERSEBERANGAN DENGAN PENDAPATNYA

Sejatinya kitab-kitab para ulama sarat pembahasan terkait masalah ini, namun nampaknya fakta ini tidak menarik minat Mahmud Abu Rayyah untuk selaras dengan pendapat mereka. Di antara pendapat ulama dalam masalah ini adalah:

  • Pendapat Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, beliau mengatakan,

قدم في خيبر سنة سبع وكانت خيبر في صفر ومات النبي صلى الله عليه وسلم في ربيع الأول سنة إحدى عشرة فتكون المدة أربع سنين وزيادة وبذلك جزم حميد بن عبد الرحمن الحميري قال صحبت رجلا صحب النبي صلى الله عليه وسلم أربع سنين كما صحبه أبو هريرة أخرجه أحمد وغيره.

“(Abu Hurairah) datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa Khaibar pada tahun 7 H, dan peristiwa perang Khaibar terjadi di bulan Safar, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat pada bulan Rabiulawal tahun 11 H, maka durasi persahabatan Abu Hurairah sekitar 4 tahun lebih. Pendapat inilah yang ditetapkan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari. Beliau mengatakan, ‘Saya mendampingi seseorang yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 4 tahun, sama dengan (durasi) persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi’ sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya.”[14]

  • Pendapat Ibnu Katsir, beliau berkata,

أسلم كما قدمنا عام خيبر، فلزم رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يفارقه إلا حين بعثه مع العلاء بن الحضرمي إلى البحرين، ووصاه به، فجعله العلاء مؤذنا بين يديه، وقال له أبو هريرة: لا تسبقني بآمين أيها الأمير

“(Abu Hurairah) masuk Islam pada peristiwa perang Khaibar, maka beliau melazimi dan mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak berpisah dengannya kecuali ketika diutus bersama ‘Ala bin Al-Khadhrami ke Bahrain, maka Abu Hurairah ditunjuk menjadi muazin, dan Abu Hurairah mengatakan, ‘Jangan mendahului aku mengucapkan amin wahai amir!’”[15]

Secara eksplisit, ucapan ini tidak menunjukkan durasi kebersamaan Abu Hurairah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun secara implisit mengisyaratkan bahwa durasi kepergian Abu Hurairah ke Bahrain tidak lama, dan Abu Hurairah pulang kembali ke Madinah setelah tugas yang dibebankan kepada beliau di Bahrain selesai, indikasinya adalah pengecualian pada ucapan Ibnu Katsir, “Maka beliau melazimi dan mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak berpisah dengannya kecuali ketika diutus bersama ‘Ala bin Al-Khadhrami ke Bahrain.” Pengecualian tidak dilakukan kecuali pada durasi yang lebih sedikit.

  • Pendapat Al-Qasthalani, beliau mengatakan,

فمدة صحبته كانت أكثر من ثلاث سنين، فخرج أحمد وغيره عن حميد بن عبد الرحمن الحميري قال: صحبت رجلاً صحب النبي صلى الله عليه وسلم أربع سنين كما صحبه أبو هريرة: الحديث. وقد كان أبو هريرة قدم في خيبر سنة سبع وكانت خيبر في صفر وتوفي النبي صلى الله عليه وسلم في ربيع الأول سنة إحدى عشرة، فعلى هذا تكون المدة أربع سنين وزيادة

“Maka durasi persahabatan (Abu Hurairah) dengan Nabi lebih dari 3 tahun. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari, beliau mengatakan, ‘Aku mendampingi seseorang yang menjadi sahabat Nabi selama 4 tahun seperti Abu Hurairah mendampinginya (Nabi).’ Abu Hurairah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa perang Khaibar pada tahun 7 H, dan perang Khaibar terjadi pada bulan Safar, dan Rasulullah wafat pada bulan Rabiulawal tahun 11 H. Berpijak pada fakta ini, maka durasi persahabatan beliau adalah selama 4 tahun lebih.”[16]

Ini adalah paparan para ulama terkait durasi persahabatan Abu Hurairah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sangat nampak jelas bahwa tidak yang muskil dari riwayat-riyawat di atas bagi para ulama besar di bidang hadis. Adapun kontradiksi antara durasi 3 tahun lebih dan 4 tahun sebagaimana telah diisyaratkan di atas, maka simaklah paparan dari para pakar hadis terkait perkara ini. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan,

فكأن أبا هريرة اعتبر المدة التي لازم فيها النبي صلى الله عليه وسلم الملازمة الشديدة وذلك بعد قدومهم من خيبر أو لم يعتبر الأوقات التي وقع فيها سفر النبي صلى الله عليه وسلم من غزوه وحجه وعمره لأن ملازمته له فيها لم تكن كملازمته له في المدينة أو المدة المذكورة بقيد الصفة التي ذكرها من الحرص وما عداها لم يكن وقع له فيها الحرص المذكور أو وقع له لكن كان حرصه فيها أقوى

“(Durasi 3 tahun) seakan Abu Hurairah hanya menghitung durasi kedekatan dan pendampingan beliau secara langsung dan intensif di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pasca kedatangan mereka (kaum muslimin) dari Khaibar, atau beliau tidak menghitung masa-masa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi dalam safar, perang, melaksanakan haji, atau umrah, karena proses mulazamah Abu Hurairah dengan Rasulullah tidak seintensif seperti kedekatan beliau ketika berada di Madinah dari sisi semangat (dalam menuntut ilmu).”[17]

Baca juga:  NAFI’ MAULᾹ IBNI UMAR (W. 117 H)

Dan pemaparan yang serupa juga datang dari Al-Qasthalani.[18]

Dengan pemaparan yang gamblang ini sangat jelas metodelogi para ulama rabbani ketika berinteraksi dengan riwayat-riwayat terkait durasi persahabatan Abu Hurairah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu mereka meramu dan memadukan riwayat-riwayat tersebut dan tidak mengkonfrontasikannya, bahwa Abu Hurairah mendampingi Rasulullah secara langsung kurang lebih selama 3 tahun, adapun usia persahabatannya secara global kurang lebih 4 tahun –dihitung sejak pertama kali hijrah ke Madinah sampai Rasulullah wafat-.

3- UGAL-UGALAN DALAM INTERPRETASI DAN BERKONKLUSI

Cacat ini adalah buah pahit dari hipotesis yang salah kaprah terhadap Abu Hurairah sehingga tidak obyektif ketika berinteraksi dengan riwayat-riwayat yang ada dan mewariskan resistensi terhadap kredibilitas (‘adalah) Abu Hurairah, dan tidak menggubris interpretasi dan konklusi para ulama yang mumpuni dalam bidang ini. Dua hal yang perlu ditegaskan,

  • Bahwa riwayat terkait pengutusan Abu Hurairah ke Bahrain sama sekali tidak menunjukkan durasi waktu ketika beliau tinggal di sana dan tidak pula mengisyaratkan bahwa beliau tinggal di Bahrain dan tidak kembali ke Madinah lagi di masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Riwayat tersebut hanya menginformasikan bahwa beliau pernah diutus ke Bahrain bersama ‘Ala bin Hadhrami. Informasi ini datang dari Abu Hurairah sebagaimana telah diisyaratkan dan telah datang riwayat valid dari Abu Hurairah pula yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari yang mengonfirmasikan bahwa beliau menemani dan mendampingi Rasulullah secara intensif selama 3 tahun. Maka atas dasar apa berkonklusi bahwa Abu Hurairah diusir ke Bahrain oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak kembali ke Madinah kecuali setelah Rasulullah wafat?
  • Taruhlah pendapat Abu Rayyah benar bahwa Abu Hurairah mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 1 tahun 9 bulan kemudian beliau pergi ke Bahrain dan tinggal di sana. Namun, apakah fakta ini menghalangi Abu Hurairah untuk menjadi sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah?
    Jawabannya, sama sekali tidak. Secara realita dan rasional, hal tersebut tidak menghalangi keunggulan Abu Hurairah dalam masalah periwayatan hadis. Jika seorang Mahmud Abu Rayyah yang merupakan tokoh yang tidak populer di zamannya, bahkan pentahkik (peneliti) kitab Al-Anwar Al-Kasyifah buah karya Syekh Abdurrahman Al-Mu’allimi mengeluhkan kesulitannya untuk mencari referensi tentang profil yang utuh dari Mahmud Abu Rayyah, yang kemudian ditemukan sebagian kisah dan profilnya di buku Ma’a Rijalil Fikr Fil Qahirah buah karya Sayyid Murtadha Ar-Ridhawi -seorang Syiah tulen-, dan tidak ada gurunya yang menonjol kecuali seorang sastrawan fenomenal, Syekh Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i yang nampaknya tidak pernah dia temui, dia hanya mampu berkomunikasi dengan beliau via korespondensi selama kurang lebih 3 tahun, namun kemudian dia “melesat” bak meteor dengan dua “mahakaryanya,” Adhwa ‘Alas Sunnah Al-Muhammadiyah, dan Abu Hurairah Syekhul Mudhirah -yang sarat dengan syubhat terkait Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam– bahkan ia dipuji sebagai ‘alim mutabahhir dan ditahbiskan sebagai ‘allamah oleh Shadruddin Syarifuddin[19] karena buku-buku tersebut, maka Abu Hurairah tentu juga bisa unggul dalam sisi periwayatan hadis dibandingkan dengan para sahabat yang lain kendati hanya mendampingi Rasulullah selama 1 tahun 3 bulan disebabkan seabrek keistimewaan yang dimiliki oleh Abu Hurairah, di antaranya: fokus dan rajinnya dalam mempelajari hadis, beliau mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara intensif untuk belajar, dan aktif bertanya kepada beliau, ditambah lagi kemampuan ilmiahnya yang luar biasa berupa kekuatan hafalan[20]. Maka semua keistimewaan ini mendukung Abu Hurairah untuk unggul dalam periwayatan hadis pada zamannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:

[1]Bagian belakang dari masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla. Lihat Fathul Bari (1/145).

[2]Abu Hurairah Syekhul Mudhirah, Mahmud Abu Rayyah, hal. 69.

[3]Idem, hal. 8.

[4]Idem, hal. 102-104.

[5] Thabaqaat Ibnu Sa’ad (3/360), dan Al-Ishabah karya Ibnu Hajar (7/439), dan Abu Hurairah Syekhul Mudhirah hal. 75.

[6] Abu Hurairah Syekhul Mudhirah, hal. 74.

[7] Taqribut Tahdzib, hal. 555, dan Al-Kasyif (2/205).

[8] Siyar A’lamun Nubala’ (1/264), footnote no. 2.

[9] Shahih Al-Bukhari (3591).

[10] Syekhul Mudhirah, hal. 79-80.

[11] Contohnya: menggunakan diksi bahwa Abu Hurairah diasingkan atau diusir ke Bahrain sebagai pengganti diutus ke Bahrain. Lihat Syekhul Mudhirah, hal. 82.

[12] Di antaranya tuduhan bahwa Abu Hurairah seorang pengecut dalam perang. Lihat Syekhul Mudhirah, hal. 80-81.

[13] Musnad Ahmad (17012), Sunan Abu Dawud (81).

[14] Fathul Bari (6/608).

[15] Al-Bidayah wan Nihayah (8/121).

[16] Irsyadus Sari (6/48).

[17] Fathul Bari (6/608).

[18] Lihat Irsyadusy Syari (6/48).

[19] Muqaddimah kitab Abu Hurairah Syekhul Mudhirah, hal. 7-8.

[20] Simak bagian pertama dari artikel ini: https://markazsunnah.com/perisai-bagi-abu-hurairah-radhiyallahu-anhu/

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments