‘IKRIMAH MAULA IBNU ‘ABBĀS (104 H)

347
‘IKRIMAH MAULA IBNU ‘ABBĀS
Perkiraan waktu baca: 7 menit

A. Nama dan Asalnya

Ia dikenal dengan nama ‘Ikrimah Abū ‘Abdillāh al-Barbarī maula Ibnu ‘Abbās. Al-Barbarī menunjukan asalnya dari bangsa Barbar, yaitu suatu suku di negeri Magrib (sekarang Maroko).[1] ‘Ikrimah raḥimahullāh pernah menjadi hamba sahaya sahabat Nabi, yaitu ‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu’anhu, karenanya ia dikenal dengan maula Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu’anhu. Dulunya ‘Ikrimah adalah budak Ḥuṣain bin Abī al-Hur al-Anbarī, lalu kemudian Ḥuṣain menghadiahkan ‘Ikrimah kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās, ketika ‘Abdullāh bin ‘Abbās menjabat sebagai gubernur Basrah di kekhilafahan ‘Ālī bin Abī Ṭālib.[2]

Yaḥya bin Ma’īn berkata, “Ketika ‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu’anhu wafat, ‘Ikrimah belum berstatus merdeka, maka ia dijual oleh ‘Ālī bin ‘Abdillah bin ‘Abbās (anak Ibnu ‘Abbās) seharga empat ribu dinar. Dia pun diprotes, “Wahai Ali, apakah engkau hendak menjual ilmu ayahmu?” Ali bin Abdillah bin ‘Abbās batal menjualnya, lalu ‘Ikrimah raḥimahullāh dimerdekakannya.[3]

B. Perkembangan Keilmuannya

Keilmuan ‘Ikrimah raḥimahullāh mulai terbangun sejak ia mendampingi tuannya, ‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu’anhu. Di Madinah, ‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu ’anhu dikenal dengan keluasan ilmunya, kedalaman pemahamannya, khususnya di bidang tafsir. Dalam barisan para periwayat hadis, beliau termasuk al-mukṡirīn fi al-ḥadī (perawi dari kalangan sahabat yang jumlah riwayat hadisnya di atas seribu hadis).

Perhatian para sahabat dalam mengajarkan ilmu mereka, tidak terbatas pada orang terhormat dan berkedudukan tinggi, tetapi juga terhadap hamba sahaya yang mereka miliki.

Inilah keadilan Islam, yang menghapuskan sistem kasta dalam kehidupan sosial, karena semua manusia memiliki hak yang sama, manusia menjadi mulia hanya karena ketakwaannya.

Olehnya, tak mengherankan jika Nāfi’ maula Ibnu ‘Umar bisa menjadi ulama besar, berkat bimbingan tuannya, ‘Abdullāh bin ‘Umar. Demikian juga hak pendidikan yang didapatkan oleh ‘Ikrimah raḥimahullāh dari tuannya, ‘Abdullāh bin ‘Abbās.  

‘Abdullāh bin ‘Abbās raḍiyallāhu ’anhu melihat ‘Ikrimah bukan hanya budak biasa, tetapi dia punya potensi yang jika digali maka potensi itu dapat memberi manfaat kepada banyak manusia. Olehnya, segala upaya mentransfer ilmu ia lakukan, walaupun kadang terkesan keras dan memaksakan. Namun demikianlah perjuangan seorang guru, demi mendisiplinkan muridnya. Mengenang masa studinya, ‘Ikrimah raḥimahullāh mengisahkan, “Semasa aku belajar Al-Qur’an dan al-sunnah, ‘Abdullāh bin ‘Abbās mengikat kakiku (agar tetap fokus dan disiplin-pen.).”[4]

Kedisiplinan dan kesungguhan serta kerja keras ‘Ikrimah dalam menimba ilmu, mengangkat derajatnya hingga menjadi ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Bahkan ia mendapat rekomendasi dari tuannya untuk berfatwa. ‘Ikrimah raḥimahullāh berkata,

طَلَبْتُ العِلْمَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، وَكُنْت أُفْتِي بِالبَابِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ فِي الدَّارِ

Baca juga:  AISYAH, AHLI HADIS UMAT ISLAM DARI KALANGAN WANITA

Artinya:

“Aku mendalami ilmu (syar’i) selama 40 tahun, hingga aku diizinkan berfatwa di pintu sedang Ibnu ‘Abbās di dalam rumah.[5]

Pernyataan singkat ini mengisyaratkan, seakan ‘Ikrimah lulus dari universitas Ibnu ‘Abbās dengan nilai akademik yang istimewa dan sempurna, sehingga ia dipandang layak memberi fatwa kepada manusia padahal habru al-ummah masih ada. Menuntut ilmu syar’ī, butuh pengorbanan waktu yang lama, kesungguhan dan kedisiplinan, serta memanfaatkan waktu adalah kuci keberhasilan.

C. Guru, Murid dan Kontribusunya dalam Islam

‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbās termasuk dalam tabaqah tābi’īn. Kemuliaan para tābi’īn disebabkan karena Allah ﷻ menakdirkan mereka bertemu dan berguru langsung dengan sahabat-sahabat Nabi, hidup dalam lingkungan para sahabat, dididik dalam tarbiyah mereka. Oleh karenanya, banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menjadi tempat menimba ilmu oleh ‘Ikrimah.

Selain ‘Abdullāh bin ‘Abbās, ‘Ikrimah juga berguru kepada ‘Ā’isyah, Abū Hurairah, Ibnu ‘Umar, ‘Abdullāh bin Amr bin Aṣ, ‘Uqbah bin ‘Amir, ‘Ālī bin Abī Ṭālib, Ṣafwān bin Umayah, al-Hajjāj bin ‘Amr al-Anṣārī, Jabir bin ‘Abdillāh, Hamnah binti Jahsy, Abū Sa’īd al-Khudrī, Ummu ‘Umārah al-Anṣāriyah, dan lainnya.

Setelah menimba ilmu yang cukup lama, ‘Ikrimah kemudian mendedikasikan dirinya dengan mengajarkan ilmunya kepada generasi pelanjutnya. Dari didikan ‘Ikrimah lahirlah murid-murid yang menjadi ulama besar di zaman mereka, seperti Ibrāhīm al-Nakha’ī, al-Sya’bī, ‘Amr bin Dinar, Qatadah, Mūsā bin ‘Uqbah, Ayyūb al-Sikhtiyānī, Hajjāj bin Arṭāh, Ḥumaid al-Ṭawīl, dan lainnya.[6]

Kontribusi ‘Ikrimah dalam mengkhidmat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah ﷺ serta membimbing umat sangat besar. Dalam berbagai literatur tafsīr dan hadis, pendapat-pendapatnya selalu dinukil, namanya kerap tergabung dalam rantai sanad periwayatan, sehingga namanya menghiasai lembar-lembar kitab tafsīr dan kitab hadis.

Dalam proses belajar dan mengajarnya, ‘Ikrimah dikenal sering bersafar ke berbagai negeri Islam. Ia sangat banyak bersafar, mengelilingi negeri-negeri Islam, seperti Makkah, Mesir, Maroko, Jurjān, Basrah, bahkan hingga ke Afrika.[7]

‘Ikrimah adalah seorang ulama yang dicintai dan dikagumi oleh umat. Ayyūb al-Sikhtiyānī berkata, “Ketika ‘Ikrimah mendatangi negeri kami, banyak orang berkumpul mendengarkan wejangannya, hingga ia harus naik ke atas rumah (agar suaranya terdengar luas).”

D. Apresiasi Ulama Terhadapnya

‘Ālī bin al-Madini berkata, “Tidak ada mawāli (mantan budak) Ibnu ‘Abbās yang lebih tinggi ilmunya melebihi ‘Ikrimah.”[8]

Sufyān al-Ṡauri pernah berkata, “Pelajarilah tafsīr dari empat tokoh, yaitu Sa’īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Ikrimah, dan al-Dahhāk.”

Muḥammad bin Abī Hatim mengisahkan, “Ayahku (Abū Hātim al-Rāzī) pernah ditanya tentang keilmuan ‘Ikrimah, ia menjawab, ‘Ikrimah adalah seorang ulama yang ṡiqah, di antara mawāli Ibnu ‘Abbās, ‘Ikrimah-lah yang paling tinggi ilmunya. Semua murid-murid Ibnu ‘Abbās mengakui keluasan ilmunya’.”[9]

Baca juga:  RIJAL HADIS DAN MADRASAH MEREKA

E. Bantahan Atas Tuduhan kepada ‘Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbās

Walaupun ‘Ikrimah raḥimahullāh adalah seorang tābi’īn yang mulia, namun ia tidak luput dari kritikan bahkan tuduhan. Beberapa tuduhan itu diceritakan oleh al-Żahabī (w.748 H) dalam kitab Siyar-nya,[10] dan dirinci oleh Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 M) dalam Muqaddimah Fatḥu al-Bāri yang dikenal dengan Hadyu al-Sāri pada pasal ke 9, yang ia beri judul:

سِيَاقُ أَسْمَاءِ مَنْ طُعِنَ فِيْهِ مِنْ رِجَالِ هَذَا اْلكِتَابِ مُرَتَّبًا لَهُمْ عَلَى حُرُوْفِ الْمُعْجَمِ وَالجَوَابُ عَنِ الاعْتِرَاضَاتِ مَوْضِعًا مَوْضِعًا

Penjelasan nama-nama rijāl dalam kitab (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī), yang dituduh (dengan tuduhan palsu), tersusun sesuai huruf abjad, serta jawaban rinci satu persatu (atas tuduhan itu).[11]

Ibnu Hajar al-Asqalānī menjelaskan, “Semua tuduhan kepada ‘Ikrimah raḥimahullāh mengerucut pada tiga poin, yaitu:

  • ‘Ikrimah dituduh seorang pendusta;
  • ‘Ikrimah dituduh seorang penganut paham khawarij;
  • ‘Ikrimah dituduh mengejar-ngejar hadiah para penguasa.”

Banyak ulama yang membela ‘Ikrimah raḥimahullāh atas tuduhan ini, di antaranya yaitu Abū al-Ḥasan Aḥmad bin ‘Abdillāh al-Ijli al-Kūfi (w. 261 H), Abū Hātim al-Rāzi (w. 277 H), Ibnu Jarīr al-Ṭabarī (w. 310 H), al-Hāfiẓ Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H). Pada Muqaddimah Fatḥu al-Bārī, Ibnu Hajar memaparkan pandangan para pakar yang mengakui kredibilitas dan membela integritas ‘Ikrimah. Sebagaimana berikut ini:[12]

  • Imam al-Bukhārī berkata, “Tidak seorangpun dari sahabat-sahabat kami kecuali ia memandang kehujahan (hadis dan keilmuan) ‘Ikrimah.”
  • Yaḥya bin Ma’īn berkata, “Jika Anda melihat seseorang yang menuduh ‘Ikrimah (dengan tuduhan buruk), maka curigailah keislaman orang itu.”
  • Aḥmad bin ‘Abdillāh al-Ijli berkata, “(‘Ikrimah adalah ulama) Makkah, seorang tabi’īn, ṡiqah, ia dituduh berpaham harūriyah, namun ia bersih dari segala tuduhan yang dialamatkan padanya.”
  • Al-Marwazi bertanya kepada Imam Aḥmad bin Hambal, “Apakah hadis ‘Ikrimah dapat dijadikan hujjah?” Ia menjawab, “Benar (hadis ‘Ikrimah dapat dijadikan hujjah).”
  • Ishāq bin Rahawaih berkata, “Kami memandang ‘Ikrimah sebagai seorang Imam seluruh tokoh dunia.”
  • Abū Ja’far bin Jarīr al-Ṭabarī berkata, “Tidak ada seorangpun yang mengingkari kepakaran ‘Ikrimah di bidang fikih, tafsir Al-Qur’an, periwayatan hadis dan āṡār, dialah hamba sayaha Ibnu ‘Abbās yang paling alim.”

F. Wafatnya ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbās

Setelah ‘Ikrimah raḥimahullāh mengelilingi dunia Islam, belajar dan mengajarkan ilmu, mendedikasikan dirinya untuk menjalankan tugas ulama sebagai pewaris para Nabi, ‘Ikrimah akhirnya tutup usia di umur yang sudah tua, yaitu di umur 80 tahun ada juga yang mengatakan ia wafat di umur 84 tahun.   

Baca juga:  IBNU SYIHAB AL-ZUHRI (ULAMA DENGAN ANDIL BESAR DALAM PEMBUKUAN HADIS)

Perbedaan ini disebabkan karena ragamnya pendapat tentang tahun wafatnya, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Khilkān. Dalam kitab Wafayāt al-A’yān, Ibnu Khilkān menjelaskan lima riwayat tentang tahun wafatnya. Diriwayatkan bahwa ‘Ikrimah wafat pada tahun 104 H, ada juga riwayat 105 H, riwayat lain mengatakan 106 H, juga diriwayatkan 107 H, bahkan ada riwayat 115 H.[13]

Semoga Allah merahmati ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbās, dan memudahkan kita menyusuri langkah-langkahnya, demi memberi manfaat kepada manusia.  

 


Footnote:

[1] Yaqūt bin ‘Abdillāh al-Rūmī al-Humawī, Mu’jam al-Buldān, (Cet. 2, Beirut; Dār al-Ṣādir 1995 M), Jilid. 1, h. 369

[2] Ibnu Khilkān, Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (Cet. 1, Bairūut; Dār al-Ṣādir, , 1971 M) Jilid. 3, h. 265

[3] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (Cet. 2, Muassasah al-Risālah, Bairūt, 1405 H/1985 M), Jilid. 5, h. 16.

[4]Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Tażkirat al-Huffāz, (Cet. 1, Libanon; Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H/ 1998 M), Jilid. 1, h. 74. Lihat juga: Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 14

[5]Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Mizanu al-I’tidāl fī Naqdi al-Rijāl, (Cet. 1, Libanon; Dār al-Ma’rifah, 1382 H/ 1963 M), Jilid. 3, h. 95.

[6] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 13.

[7] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiyā’, (Cet. 3, Dār al-kutub al-ilmiyah, Bairut, 1409 H), juz. 3, h. 326. Lihat juga: Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 15.

[8] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 31.

[9] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 34.

[10]Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Ẑahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 5 h. 21.

[11]Ibnu Hajar al-Asqalānī, Hadyu al-Sārī Muqaddimah Fatḥu al-Bārī , pada pasal ke 9: siyāq asmā’ man thu’ina fīhi min rijāl haża al-kitāb, (Cet. 4, Riyāḍ; Dār al-Ṭayyibah, 1432 H/ 2011 M) jilid 2, h. 1002.

[12]Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalānī, Hadyu al-Sārī Muqaddimah Fatḥu al-Bārī, pada pasal ke 9: siyāq asmā’ man thu’ina fīhi min rijāl haża al-kitāb, (Cet. 4, Riyāḍ; Dār al-Ṭayyibah, 1432 H/ 2011 M) jilid 2, h. 1136.

[13] Wafayāt al-A’yān 3/266.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments