وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: ارْتَقَيْتُ فَوق بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةَ مُسْتَقْبِلَ الشَّام. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظ للْبُخَارِيِّ
Dari Abdullah bin Umar raḍiyallahu’anhu, beliau berkata, “Suatu ketika saya naik ke atas rumah Ḥafṣah karena ada keperluanku, ketika itu saya melihat Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam buang hajat membelakangi kiblat dan menghadap ke negeri Syam.” Muttafaqun ‘alaihi dan lafaz dari al-Bukhāri.[1]
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: نهَى نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضُ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلَهَا. رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ مَاجَه، وَالتِّرْمِذِيُّ-وَقَالَ: حَسَنٌ غَرِيْبٌ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ، وَابْنُ حِبَّان، وَالحَاكِمُ، وَصَحَّحَهُ البُخَارِيُّ، وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ البَرِّ: وَلَيْسَ حَدِيْثُ جَابِرٍ مِمَّا يُحْتَجُّ بِهِ عِنْدِ أَهْلِ العِلْمِ بِالنَّقْلِ
Dari Jabir bin Abdullah raḍiyallahu’anhu dia berkata, “Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam melarang kami buang air kecil (dengan posisi) menghadap kiblat, namun saya pernah melihat beliau menghadap kiblat (ketika buang hajat) setahun sebelum wafatnya.” Hadis diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, serta Tirmidzi dan dia berkata, “Hasan garib.” Ibn Abd al-Bar berkata, “Hadis Jabir tersebut tidak dijadikan hujah oleh ulama hadis.”[2]
Daftar Isi:
Kosakata hadis:
- Hadis Jabir bin Abdullah raḍiyallahu’anhu dihasankan pula sanadnya oleh Imam al-Nawawi rahimahullāh.[3]
Makna hadis:
Abdullah bin Umar raḍiyallahu’anhu menyebutkan bahwa suatu hari beliau datang ke rumah saudarinya Ḥafṣah yang merupakan istri Nabi Muhammad ﷺ. Tanpa disengaja ketika beliau berada di bagian atas rumah, beliau melihat Nabi ﷺ sedang buang hajat dengan posisi menghadap ke negeri Syam yang bermakna membelakangi kiblat (negeri Makkah). Hadis Jabir raḍiyallahu’anhu juga mengungkapkan makna dan fakta yang sama dengan hadis Ibn Umar.
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Boleh membelakangi kiblat ketika seseorang buang hajat jika dia berada di dalam bangunan.
- Boleh menghadap Baitulmaqdisketika seseorang buang hajat berlandaskan hadis tersebut.[4]
- Hadis ini menjadi landasan hukum bagi mazhab ulama yang membedakan larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat antara tempat terbuka dan di dalam bangunan.[5]
- Mazhab sebagian ulama ada yang membolehkan secara mutlak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Dalil mereka adalah hadis Jabir raḍiyallahu’anhu tersebut karena pada lafalnya ada penegasan, “…setahun sebelum wafatnya.” Dalam istilah ilmu usul fikih hadis tersebut disebut nāsikh dan hadis yang sebelumnya (tentang pelarangan) disebut mansūkh.
Akan tetapi kaidah yang disepakati oleh semua ulama bahwa,
إِذَا أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ لَا يُصَارُ إِلَى تَرْكِ بَعْضِهَا بَلْ يَجِبُ الْجَمْعُ بَيْنَهَا
“Jika memungkinkan kompromi terhadap beberapa hadis, maka tidak boleh mengabaikan sebagian hadis tersebut, bahkan wajib berkompromi (mengamalkan semuanya).”[6]
- Hikmah dan ilat larangan menghadap kiblat ketika buang hajat adalah bentuk memuliakan dan menghormati kiblat.[7]
Footnote:
[1] H.R. al-Bukhāri (148) dan Muslim (266).
[2] H.R. Aḥmad (3/360), Abu Dāwūd (13), Ibn Mājah (325), dan Tirmiżi (9).
[3] Al-Nawawi. al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 155.
[4] ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-Bassām. Op. Cit. hlm. 40.
[5] Al-Khaṭṭābi. Ma’ālim al-Sunan. Jilid 1, hlm. 17.
[6] Al-Nawawi. al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 155.
[7] Ibn Daqīq al-‘Īd. Iḥkām al-Ahkām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām. Jilid 1, hlm. 96.
