HADIS-HADIS SALAT SUNAH SEBELUM JUMAT(1)
Daftar Isi:
PERTAMA: DISYARIATKAN SALAT SUNAH SEBELUM KHATIB NAIK KE ATAS MIMBAR
عن سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ، ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
Dari Salman Al Farisi radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa mandi pada Hari Jumat lalu bersuci semaksimal mungkin, lalu memakai minyak atau wewangian lalu keluar rumah menuju masjid, ia tidak memisahkan antara dua orang pada tempat duduknya, kemudian ia mengerjakan salat apa yang ditetapkan baginya (semampunya), lalu bila imam sudah datang dia berdiam mendengarkan (khotbah), maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jumatnya itu dan Jumat yang lainnya.” [H.R. Bukhari, no. 883 dan 910]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ اغْتَسَلَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ ؛ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى، وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barang siapa yang mandi kemudian mendatangi Jumat, lalu ia salat semampunya dan diam (mendengarkan khotbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan salat bersama imam, maka ia akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dan Hari Jumat yang lain, dan bahkan hingga lebih tiga hari.” [H.R. Muslim, no. 857]
Fikih dan Faedah Kedua Hadis:
- Disyariatkannya mandi pada Hari Jumat. (2)
- Memaksimalkan mandi dan bersuci pada Hari Jumat sebelum berangkat ke masjid.
- Anjuran memakai minyak dan parfum ketika akan berangkat ke masjid.
- Larangan memisahkan antara dua orang dari tempat duduknya kecuali izin keduanya.
- Hukum asal khatib Jumat juga berfungsi sebagai imam salat.
- Khatib Jumat masuk masjid pada saat akan berkhotbah.
- Mendengarkan dan diam pada saat khotbah.
- Jaminan pengampunan dosa antara dua Jumat bahkan ditambah tiga hari bagi yang melaksanakan adab-adab di atas.
- Anjuran bagi jemaah Jumat untuk melaksanakan salat sunah semampunya tanpa ditentukan jumlah maksimalnya sebelum khatib naik di atas mimbar, dan minimalnya dua rakaat. Hal ini merupakan sunah yang dipraktekkan kaum muslimin sejak dahulu.(3)
- Anjuran melaksanakan salat sunah pada Hari Jumat sebelum waktu zawal, hal ini telah ditegaskan oleh para ulama dari mazhab Maliki,(4) Syafii,(5) dan Hambali(6). Demikian pula setelah zawal selama khotib belum naik ke atas mimbar.(7)
KEDUA: HUKUM SALAT SUNAH SEBELUM JUMAT PADA WAKTU ZAWAL
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum salat sunah di waktu zawal (matahari tepat berada di atas kepala) pada Hari Jumat, ada beberapa pandangan dari ulama kita, akan tetapi ada dua pendapat yang terkuat
Pendapat Pertama: Tidak boleh karena waktu terlarang sebagaimana hari-hari lain
Ini adalah pendapat mazhab Hanafi,(7) Hambali(8) dan juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin(9)
Dalilnya:
عَنْ عُقْبَةَ بْن عَامِرٍ الْجُهَنِيّ رضي الله عنه قال: ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
Dari Uqbah bin Amir al-Juhani radhiyallahu anhu (dia) berkata, “Ada tiga waktu yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kami untuk salat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut: (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi, (kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (ketiga), saat matahari hampir terbenam hingga ia benar-benar telah terbenam.” [H.R. Muslim, no. 831]
Fikih dan Faedah Hadis:
- Ibadah memiliki aturan waktu yang ditetapkan oleh syariat.
- Penjelasan tiga waktu yang terlarang melaksanakan salat dan menguburkan jenazah.
- Di antara hikmah pelarangan salat ketika terbit dan terbenam matahari agar tidak menyerupai orang-orang yang menyembah matahari.
- Perhatian Islam dalam menjaga dan membentengi akidah muslim agar tidak menyerupai kaum musyrikin dalam ibadah mereka di waktu-waktu tersebut.
- Matahari memiliki tempat terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat, ini semuanya adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah azza wajalla.
- Perhatian dan antusias Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam mengajarkan dan menarbiah sahabatnya dalam setiap waktu dan keadaan.
- Imam Nawawi berkata, “Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud larangan menguburkan dalam hadis tersebut adalah larangan salat jenazah dan ini pendapat yang daif, karena salat jenazah tidak terlarang di waktu tersebut berdasarkan ijmak ulama, oleh karena itu, tidak boleh menafsirkan hadis dengan tafsiran yang menyelisihi ijmak. Makna yang benar dari hadis ini adalah larangan sengaja menunda menguburkan jenazah hingga masuk ketiga waktu tersebut sebagaimana larangan sengaja menunda Salat Asar hingga matahari sudah menguning tanpa ada uzur yang merupakan model salatnya kaum munafikin sebagaimana yang disebutkan dalam hadis, ‘Ia berdiri melakukan salat dan ia (bagaikan) mematuk empat kali.’ Adapun jika menguburkan jenazah dilakukan pada ketiga waktu ini tanpa sengaja menundanya maka tidak dimakruhkan.”(10)
- Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu waktu yang terlarang melaksanakan salat adalah pada saat matahari tepat berada di pertengahan langit hingga ia telah condong. Hadis ini menjadi dalil para ulama kita yang melarang salat sunah pada waktu zawal secara umum di hari apa saja termasuk Hari Jumat.
Pendapat Kedua: Khusus pada Hari Jumat salat di waktu zawal tidak terlarang selama imam belum naik di atas mimbar
Ini adalah pendapat mazhab Maliki,(11) pendapat yang paling sahih dari mazhab Syafii,(12) pendapat Abu Yusuf dari kalangan mazhab Hanafi,(13), salah satu pandangan dari mazhab Hambali,(14) pendapat beberapa tabiin seperti Atha bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, Mak-hul, dan Hasan al-Basri, juga pendapat al-Auza’I,(15) dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah,(16) Ibnu al-Qayyim,(17) al-Shan’ani,(18) dan Ibnu Baz.(19)
Dalil yang digunakan untuk pendapat ini adalah hadis Salman al-Farisi radhiyallahu anhu yang telah disebutkan di awal, di mana hadis tersebut menganjurkan untuk melaksanakan salat sunah dan tidak ada yang menghalangi untuk salat kecuali datangnya khatib untuk berkhotbah dan bukan matahari yang tepat di atas kepala.
Dalil lain yang digunakan adalah atsar Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berikut:
عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ الْقُرَظِيِّ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ. فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ، وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ – قَالَ ثَعْلَبَةُ – جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ. «فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ وَقَامَ عُمَرُ يَخْطُبُ، أَنْصَتْنَا، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ» قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: «فَخُرُوجُ الْإِمَامِ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، وَكَلَامُهُ يَقْطَعُ الْكَلَامَ»
Dari Tsa’labah bin Abu Malik al-Qurazhi ia mengabarkan bahwa mereka melaksanakan salat sunah pada Hari Jumat di masa Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu hingga Umar masuk ke masjid untuk berkhotbah. Jika Umar telah keluar dari rumahnya dan masuk ke masjid lalu duduk di atas mimbar, Muazin mengumandangkan azan.” Tsa’labah berkata, “Kami masih duduk mengobrol, jika muazin telah diam dan Umar berdiri berkhotbah, maka kami pun diam dan tidak ada seorangpun yang berbicara.” Ibnu Syihab al-Zuhri berkata, “Keluarnya imam menghentikan salat sunah, dan khotbahnya menghentikan pembicaraan.” [Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa, no. 274]
Atsar Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ini menunjukkan bahwa bolehnya salat sunah di waktu zawal karena para sahabat dan tabiin tetap mengerjakan salat sunah hingga Umar naik di atas mimbar untuk berkhotbah padahal Umar tidak naik di atas mimbar kecuali setelah zawal. Perbuatan Umar dan sahabat ini dipahami diambil dari sunah nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka atsar ini menkhususkan keumuman dalil yang melarang salat di waktu zawal pada hari-hari lain.
Kesimpulan: Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum salat sunah sebelum salat Jumat di waktu zawal, akan tetapi dari dua pendapat yang telah dikemukakan di atas tampaknya pendapat kedua yang lebih tepat, wallahualam.
KETIGA: APAKAH ADA SALAT SUNAH RAWATIB SEBELUM SALAT JUMAT?
Tidak ada salat sunah rawatib sebelum salat Jumat. Ini adalah pendapat mazhab Maliki,(20) Hambali,(21) dan jumhur ulama umat.(22) Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Taimiyah,(23) Ibnu al-Qayyim,(24) dan Ibnu Hajar al-Asqalani.(25)
Di antara dalil dan hujah yang menjelaskan masalah ini:
Pertama: Riwayat yang disebutkan oleh sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Aku pernah salat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dua sujud (rakaat) sebelum Salat Zuhur dan dua rakaat sesudah Salat Zuhur, dua rakaat sesudah Salat Magrib, dua rakaat sesudah Salat Isya, dan dua rakaat sesudah salat Jumat. [H.R. Bukhari, no. 1172 dan Muslim, no. 729]
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma di hadis ini tidak menyebutkan sunah rawatib kecuali setelah Salat Jumat, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada salat sunah rawatib sebelum Jumat.(26)
Kedua: Salat yang disunahkan adalah apa yang dinukil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam baik itu lewat sabda beliau ataupun perbuatan beliau. Salat sunah rawatib sebelum Jumat tidak dicontohkan sama sekali oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan juga tidak beliau anjurkan dengan sabdanya serta tidak dilakukan oleh para salaf, lalu persoalan seperti ini tentu tidak boleh dikiaskan dengan salat-salat lainnya.(27)
Ketiga: Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam keluar dari rumahnya pada Hari Jumat lalu masuk masjid dan naik di atas mimbar kemudian muazin berazan. Apabila azan telah usai Nabi shallallahu alaihi wasallam mulai berkhotbah. Seandainya ada salat sunah rawatib sebelum Jumat tentu beliau akan perintahkan setelah azan untuk salat sunah dan tentu beliau akan mencontohkan sendiri. Pada zaman beliau belum ada azan kecuali satu kali pada saat imam naik di atas mimbar.(28)
Keempat: Seandainya Nabi shallallahu alaihi wasallam salat sunah rawatib di rumahnya sebelum masuk masjid tentu akan ada riwayat yang menyebutkannya sebagaimana riwayat yang menyebutkan salat sunah rawatib setelah Jumat dan salat sunah sebelum Zuhur. Demikian pula istri-istri beliau radhiyallahu anhunna tentu akan mengutip informasi tersebut sebagaimana nukilan mereka terhadap salat-salat sunah lainnya yang beliau kerjakan di rumahnya baik di waktu siang atau malam, kaifiat salat tahajud, dan qiamulail. Maka ketika tidak ada nukilan seperti itu maka hukum asalnya tidak ada dan hal itu tidak pernah dilakukan dan tidak disyariatkan.(29)
Kelima: Sunah rawatib jika dilakukan setelah waktu salat Jumat masuk maka tidak sah karena Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar dari rumahnya lalu masuk masjid dan naik di atas mimbar setelah waktu zawal dan beliau sibuk dengan khotbah kemudian salat Jumat. Apabila yang dimaksudkan salat sunah sebelum masuk waktu Jumat maka itu salat sunah mutlak untuk menanti imam dan tidak termasuk salat sunah rawatib.(30)
Wallahu a’lam wahuwa Waliyyu al-Taufiq
Footnote:
(1) Tulisan ini diramu dari https://dorar.net/feqhia/1227/لمطلب-السادس:-سنة-الجمعة dan kitab Ahadits al–Jumu’ah Dirasah Naqdiyyah wa Fiqhiyyah (Hadis-hadis Jumat: Studi Kritis dan Fikihnya) karya Syekh Abdul Quddus Muhammad Nadzir, hal 315-317.
(2) Lihat rincian hukumnya di: https://markazsunnah.com/hadis-hadis-tentang-mandi-jumat/
(3) Lihat: Al-Umm karya al-Syafi’i (1/172), Fathu al-Bari karya Ibnu Rajab al-Hambali (5/538 dan 541) dan Nail al-Authar karya al-Syaukani (3/303).
(4) Lihat: Hasyiah al-Adawi ala Kifayah al-Thalib al-Rabbani karya Abu al-Hasan al-Adawi (1/382) dan al-Fawakih al-Dawani karya al-Nafrawi (2/636).
(5) Lihat: Al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii karya Abu al-Husain al-Imrani al-Yamani (2/595), Majmu’ karya al-Nawawi (4/541) dan al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi (2/429).
(6) Lihat: Al-Furu’ karya Syamsuddin al-Maqdisi (3/159 dan 191) dan al-Mubdi’ fi Syarhi al-Muqni’ karya Burhanuddin Ibn Muflih (2/155).
(7) Lihat: Majmu’ Fatawa Syekh al-Islam Ibn Taimiyah (23/208) dan Fathu al-Bari karya Ibnu Rajab al-Hambali (5/541).
(7) Lihat: Al-Binayah Syarhu al-Hidayah karya Badruddin al-‘Aini (2/61) dan al-‘Inayah Syarhu al-Hidayah karya Akmaluddin al-Babarti (1/233).
(8) Lihat: Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (2/90) dan Kasysyaf al-Qina’ karya al-Buhuti (1/450-451).
(9) Lihat: Liqa al-Bab al-Maftuh (96/16).
(10) Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj (6/114).
(11) Lihat: Bidayah al-Mujtahid (1/102), Syarhu Mukhtashar al-Khalil karya al-Kharasyi (1/222-223) dan al-Mufhim (2/462).
(12) Lihat: Raudhahal-Thalibin karya al-Nawawi (1/94) dan Asna al-Mathalib karya Zakariya al-Anshari (1/124).
(13) Lihat: Fathu al-Qadir karya Ibnu Humam (1/233).
(14) Lihat: Al-Furu’ karya Ibnu Muflih (2/410) dan al-Inshaf karya al-Mardawi (2/144).
(15) Lihat: Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsar (3/438) dan Fathu al-Bari karya Ibnu Rajab (5/540).
(16) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (23/208).
(17) Lihat: Zaad al-Ma’ad (1/378).
(18) Lihat: Subul al-Salam (1/168).
(19) Lihat: Fatawa Nur ‘ala al-Darb (10/436).
(20) Lihat: Risalah al-Qairawani (hal. 47), Mukhtashar al-Khalil (hal. 46) dan al-Bayan wa al-Tahshil karya Ibn Rusyd (1/451).
(21) Lihat: al-Inshaf karya al-Mardawi (2/284) dan Kasysyaf al-Qina’ karya al-Buhuti (1/423).
(22) Lihat: Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah (24/189) dan al-Inshaf karya al-Mardawi (2/284).
(23) Lihat: Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah (24/189).
(24) Lihat: Zaad al-Ma’ad (1/431-432).
(25) Lihat: Fathu al-Bari (2/410).
(26) Lihat: Al-Ba’its ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits karya Abu Syamah al-Maqdisi (hal. 99).
(27) Lihat: Al-Ba’its ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits karya Abu Syamah al-Maqdisi (hal. 96) dan al-Madkhal karya Ibnu al-Hajj (2/239).
(28) Lihat: Al-Ba’its ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits karya Abu Syamah al-Maqdisi (hal. 97).
(29) Lihat: Al-Ba’its ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits karya Abu Syamah al-Maqdisi (hal. 97-98) dan Tharhu al-Tatsrib (3/41).
(30) Lihat: ‘Aun al-Ma’bad ma’a Hasyiah Ibn al-Qayyim (3/337).