Daftar Isi:
Nama dan Asalnya
Beliau adalah Abu Abdillah atau Abū Muhammad Sa’īd bin Jubair bin Hisyam al-Asadī al-Wālibī al-Kūfī. Seorang tokoh tābi’īn yang terkemuka, ahli ibadah, pakar dalam berbagai bidang ilmu, hingga ia digelari dengan al-Imām al-Hāfiz al-Muqri’ al-Mufassir al-Syahīd.[1]
Diketahui dari warna kulitnya bahwa ia berasal dari negeri Afrika. Ia berkulit hitam, karena orang tuanya berasal dari negeri Habasyah. Orang tuanya sudah lama bermukim di Kufah, maka Sa’īd bin Jubair terlahir di Kufah. Ibunya bernama Ummi al-Dahmā’ seorang pecinta dan pengkhidmat Ahlu bait Rasulillah, sedang ayahnya bernama Jubair bin Hisyam al-Asadī.
Banyak para ulama yang tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti oleh para sejarawan. Sa’īd bin Jubair termasuk di antaranya. Namun demikian, Imām Al-Zahabi (w. 748 H) memprediksi bahwa Said bin Jubair lahir di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, karena sebelum wafatnya, Sa’īd bin Jubair pernah berkata kepada anaknya: kehidupan ayahmu hanyalah 57 tahun. Informasi ini menunjukan bahwa tahun kelahirannya sekitar 38 H.[2]
Perkembangan Keilmuannya
Sa’īd bin Jubair tumbuh dalam keluarga yang cinta agama. Giat ibadah dan beramal shalih. Hal ini menjadi modal utamanya dalam menyusuri tangga-tangga keilmuan, hingga ia menjadi guru besar dalam berbagai bidang ilmu. Allah ﷻ tegaskan hal ini dalam firman-Nya:
…وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة: 282)
Artinya:
…dan bertakwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah memberikan pengajaran (ilmu) kepadamu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Baqarah: 282)
Sejak masih belia, ibunda Sa’īd bin Jubair sudah membiasakannya mendirikan shalat lail di setiap malamnya. Abū Nu’aim al-Asbahānī (w. 430 H) meriwayatkan bahwa Sa’īd bin Jubair memiliki ayam jantan yang suaranya dijadikan sebagai alaram untuk bangun shalat lail. Di satu malam ayam itu tidak berkokok. Sa’īd bin Jubair pun bangun di subuh hari terluput qiyam al-lail. Ia lalu berkata: mengapa ayam itu tidak berkokok? Semoga Allah menghilangkan suaranya. Sejak saat itu, ayam itu tidak bisa lagi bersuara. Ibunya lalu menasihatinya: duhai anakku, mulai hari ini janganlah engkau mendo’akan siapapun dengan keburukan.[3]
Kemuliaan ilmu tidak digapai dengan bermalas-malasan. Nasihat ini melekat dalam jiwa Sa’īd bin Jubair, sehingga terlihat jelas buktinya dalam kesungguhannya saat menuntut ilmu. Imām Al-Zahabī (w. 748 H) menggambarkan hal itu:
عَنْ جَعْفَرِ بنِ أَبِي المُغِيْرَةِ، عَنْ سَعِيْدِ بنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: رُبَّمَا أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَكَتَبْتُ فِي صَحِيْفَتِي حَتَّى أَمْلأَهَا، وَكَتَبْتُ فِي نَعْلِي حَتَّى أَمْلأَهَا، وَكَتَبْتُ فِي كَفِّي حَتَّى أَمْلأَهَا[4]
Maknanya:
Dari Ja’far bin Abi al-Mughīrah bahwa Sa’īd bin Jubair berkata: setiapkali aku berguru kepada Abdullah bin Abbas, aku menulis (deras ilmunya) di buku tulisku hingga penuh, aku lalu menuliskan (limpahan ilmunnya) di sendalku hingga penuh, lalu aku menulis di telapak tanganku hingga penuh.
Niat yang tulus, tekad yang kuat dibarengi dengan ketekunan dan kerja keras dalam menimba ilmu, mengantarkan Sa’īd bin Jubair menuju puncak ilmu yang sangat tinggi. Ibnu Khilkan (w. 681 H) dalam wafayāt al-A’yān menuturkan:
قَالَ خَصِيْفٌ: كَانَ مِنْ أَعْلَمِ التَّابِعِين بِالطَّلاَقِ سَعِيْدُ بنُ الْمُسَيِّب، وبِالحَجِّ عَطَاءُ، وَبِالحَلاَلِ وَالحْرَامِ طَاوُس، وبِالتَّفْسِيْر أَبُو الحَجَّاجِ مُجَاهِدُ بنُ جَبْر، وَأَجْمَعَهُمْ لِذَلِكَ كُلِّهِ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ.[5]
Maknanya:
Khashif bin Abdirrahman al-Khidramī al-Jazarī (w. 138 H) berkata: ulama tābi’īn yang paling pakar dalam masalah hukum thalaq adalah Sa’īd bin al-Musayyib, dalam hukum haji adalah ‘Atha, dalam masalah halal dan haram adalah Thāwūs, dalam bidang tafsīr adalah Mujahid bin Jabr, dan yang pakar dalam semua bidang ilmu itu adalah Sa’id bin Jubair.
Kedalaman ilmu Sa’id bin Jubair bukan hanya diakui oleh murid atau sahabat-sahabat selevelnya, tapi juga diakui oleh gurunya sendiri, Abdullah bin Abbas. Dalam banyak kesempatan, gurunya yang bergelar Habru al-Ummah ini menyuruhnya untuk memberi fatwa atas pertanyaan-pertanyaan kaum muslimin. Imām al-Zahabī (w. 748 H) meriwayatkan:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِسَعِيْدِ بنِ جُبَيْرٍ: حَدِّثْ. قَالَ: أُحَدِّثُ وَأَنْتَ هَا هُنَا؟! قَالَ: أَوَلَيْسَ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْكَ أَنْ تُحِدِّثَ وَأَنَا شَاهِدٌ، فَإِنْ أَصَبْتَ فَذَاكَ، وَإِنْ أَخْطَأْتَ عَلَّمْتُكَ. [6]
Maknanya:
Abdullah bin Abbas pernah berkata kepada Sa’īd bin Jubair: berfatwalah. Ia lalu bertanya: pantaskah aku berfatwa (wahai guruku) sedang engkau berada di tengah-tengah kami? Ibnu Abbas menjawab: bukankah ini merupakan nikmat Allah atasmu, engkau berfatwa sedang aku mengawasimu? (berfatwalah), karena jika engkau benar itulah yang aku harapkan, dan jika engkau keliru, aku akan meluruskanmu.
Setelah Abdullah bin Abbas melihat kesempurnaan ilmu Sa’īd bin Jubair, ia mengirimnya ke kampung asalnya, Kufah untuk mengajarkan ilmunya. Di musim haji, jika penduduk Kufah datang bertanya kepada Abdullah bin Abbas, maka ia katakan bahwa murid terbaiknya telah berada di negeri mereka. Abū Nu’aim al-Asbahānī (w. 430 H) meriwayatkan, Dari Ja’far bin Abi al-Mughirah ia berkata: jika Abdulllah bin Abbas didatangi penduduk Kufah di musim haji meminta fatwanya, ia selalu berkata: bukankah di tempat kalian ada Ibnu Immi al-Dahmā’? (maksudnya: Sa’īd bin Jubair).[7]
Dalam biografi Sa’īd bin Jubair, kurang lebih empat kali ibunda Sa’īd bin Jubair disebutkan oleh para sejarawan. Ini menegaskan pentingnya peran seorang ibu dalam perkembangan keilmuan anaknya. Tutur kata, akhlak mulia dan budi pekerti luhur seorang ibu merupakan cahaya pertama yang menerangi jalan hidup anaknya. Benarlah perkataan yang mengatakan, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.[8]
Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Sa’īd bin Jubair lahir di masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu (w. 40 H). Walaupun situasi politik masa itu mengalami guncangan, namun para tābi’īn tetap konsisten mengemban amanah Rasulullah ﷺ, yaitu menjaga syari’at Allah agar tetap eksis di atas muka bumi. Salah satu bentuk tanggung jawab para tābi’in itu adalah kegigihan mereka menimba ilmu dari para sahabat Nabi.
Sa’id bin Jubair menimba ilmu dari banyak sahabat Nabi, di antaranya yaitu Abdullah bin Abbās, yang merupakan guru terbaiknya. Dari Habru al-Ummah ini pondasi dan bangunan keilmuannya terbentuk hingga menjadi sempurna. Ia juga berguru kepada Abdullah bin Umar, Abdullah bin Al-Zubair, Abdullah bin Mughaffal, Anas bin Malik, Abī Saīd al-Khudrī, Adī bin Hātim, Abū Mūsā al-Asy’arī, Abū Hurairah, Abū Ma’ūd al-Badrī, Al-Dhahāk bin Qais, Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Ia juga belajar kepada guru-guru besar para tābi’īn seperti Abū Abdurrahmān al-Sulamī.[9]
Setelah menjalani proses menuntut ilmu yang cukup lama, selanjutnya Sa’id bin Jubair mengajarkan ilmunya kepada generasi berikutnya. Dari didikannya, lahirlah murid-murid terbaik, seperti Abū Shalih al-Sammān, Ayūb al-Sikhtiyānī, Bukair bin Syihāb, Sulaimān al-Ahwal, Sulaimān al-A’masy, Simāk bin Harb, al-Zuhrī dan lainnya.[10]
Kontribusi Sa’id bin Jubair dalam Islam sangat besar, khususnya dalam mengabadikan tafsir al-Quran al-Karīm. Kepada Abdullah bin Abbas, berkali-kali Sa’id bin Jubair mendalami tafsir al-Quran ayat demi ayat dari awal hingga akhir. Kontribusinya dalam bidang hadīṡ tak diragukan lagi, namanya kerap disebutkan dalam deretan rantai periwayatan oleh para penulis kitab-kitab hadīṡ. Pandangan dan pendapatnnya dalam ilmu fikih menjadi pondasi-pondasi dasar berdirinya mazhab-mazhab fikih bagi generasi berikutnya.
Apresiasi Ulama Terhadapnya
Sebagai imam besar di kalangan para tabi’īn di thabaqah ke dua, Sa’īd bin Jubair banyak mendapatkan pujian dan apresiasi dari para tokoh di zamannya, mulai dari kalangan tabi’īn hingga kalangan sahabat Nabi.
Dalam siyarnya, Imām Al-Zahabi (w. 748 H) berkata: Sa’id bin Jubair adalah seorang imām (guru besar), al-Hāfiz (penghafal dan periwayat hadīṡ), al-Muqri’ (pakar qira’ah), al-Mufassir (ahli tafsir) al-syahīd, ulama besar di kota Kufah.[11]
Dari Amr bin Maimun, ayahnya berkata: telah wafat Sa’id bin Jubair dan tidaklah seorangpun di dunia ini kecuali dia membutuhkan ilmunya.[12]
Berkata Asy’aṡ bin Ishaq: dikatakan bahwa Sa’id bin Jubair adalah ulama yang paling cerdas. [13]
Dalam kitab tahzīb al-Tahzīb, Ibnu Hajar al-Asqalāni (w. 852 H) menyebutkan, Abu al-Qasim al-Thabari (w. 350 H) berkata: Sa’īd bin Jubair adalah seorang ulama besar yang ṡiqah, menjadi hujjah bagi kaum muslimin. Ibnu Hibbān (w. 354 H) dalam kitab al-ṡiqāt berkata: ia adalah pakar fikih, ahli ibadah, memiliki keutamaan dan bersifat warak. Yahya bin Sa’id al-Anshārī (w. 143 H) berkata: riwayat-riwayat mursal Sa’id bin Jubair lebih aku sukai dari riwayat mursal ‘Atha dan Mujahid. Sufyan al-Ṡaurī lebih mendahulukan Sa’id bin Jubair atas Ibrahim (bin Abdirrahman bin Auf) dalam tingkat keilmuan, ilmunnya lebih luas dari Mujahid bin Jabr dan Thawus bin Kaisan.[14]
Mutiara Hikmahnya
Sa’id bin Jubair dikenal sebagai seorang ulama yang tinggi ketakwaannya serta rasa takutnya kepada Allah ﷻ. Kesungguhannya dalam ibadah menjadi teladan yang susah didapat bandingannya. Ia termasuk ulama yang zuhud, warak, selalu mengingatkan manusia akan akhirat dan tidak tenggelam dalam gemerlapnya dunia. Ia juga dikenal dengan keberaniannya dalam amar ma’ruf nahi munkar. Ia kokoh berdiri di atas jalan kebenaran, walaupun harus berhadapan dengan penguasa zalim.
Di setiap tahun Sa’id bin Jubair berihram dua kali, sekali untuk haji dan sekali untuk umrah. Malam-malamnya selalu dihiasi dengan qiyām lail, siang harinya dipenuhi dengan puasa. Kedekatannya dengan al-Quran bukan hanya saat studinya atau saat ia mengajarkannya, namun Sa’id bin Jubair selalu membacanya, hingga ia rajin mengkhatamkannya.
Imam al-Zahabī (w. 748 H) meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair sering menagis di malam hari hingga menjadi lemah penglihatannya. Al-Qasim bin Abi Ayyub berkata: dalam shalatnya, Sa’id bin Jubair sering mengulang-ulang puluhan kali firman Allah ﷻ:
(وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّه) (البقرة: 281)
Artinya:
dan takutlah kalian pada hari (ketika) kalian dikembalikan kepada Allah (QS. al-Baqarah: 281) [15]
Dari Hasan bin Shalih dari Wiqā’ ia berkata: di bulan Ramadhan, Sa’id bin Jubair dapat mengkhatamkan al-Quran antara maghrib dan Isya, dahulu mereka (para salaf) mengakhirkan pelaksanaan shalat isya.[16] Dari Abd al-Malik bin Sulaiman ia berkata: bahwa Sa’id bin Jubair sering kali mengkhatamkan al-Quran dalam dua malam.[17]
Bukair bin ‘Atīq menceritakan: satu kali aku memberi madu kepada Sa’īd bin Jubair di sebuah gelas, setelah ia meminumnya ia berkata: demi Allah aku pasti akan ditanya tentang nikmat ini. Aku bertanya kepadanya: mengapa? Ia menjawab: karena aku menikmatinya saat aku meneguknya.[18]
Sa’īd bin Jubair berkata: sesungguhnya rasa takut kepada Allah dapat menjagamu dari maksiat kepada-Nya, zikir itu adalah ketaatan kepada Allah, siapa saja yang taat kepada Allah sungguh ia telah berzikir kepada-Nya, siapapun yang tidak menaati-Nya sungguh ia lalai dari berzikir kepada-Nya, walaupun orang itu banyak bertasbih dan sering membaca al-Quran.[19]
Said bin Jubair juga pernah berkata: jika aku diberi amanah menjaga rumah mewah yang terbuat dari berlian, jauh lebih ringan bagiku daripada aku diberi amanah menjaga seorang wanita yang berparas cantik.[20]
Fitnatu al-Qurrā’
Fitnatu al-Qurrā’ atau lebih dikenal dalam sejarah dengan fitnatu Ibni al-Asy’aṡ adalah satu gerakan militer tentara Irak bersama para ulama Kufah dan Bashrah dalam usaha untuk menumbangkan kezaliman Al-Hajjaj bin Yusuf al-Ṡaqafī (w. 95 H) yang menjabat sebagai gubernur saat itu di kota Irak di bawah kepemimpinan Khalifah Abdu al-Malik bin Marwān (w. 86 H).
Awalnya Abdurrahmān bin al-Asy’aṡ al-Kindī, panglima militer terbaik di Irak, ditugaskan oleh Al-Hajjāj ke Sijistān untuk menghukum raja Ratbil karena ia melanggar perjanjian dengan kaum muslimin. Kemenangan demi kemenangan tentara kaum muslimin capai di medan pertempuran. Ketika Abdurrahman bin al-Asy’aṡ hendak mengistirahatkan pasukannya beberapa waktu, ternyata Al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī tidak sepakat, bahkan dengan jumawa ia memaksa pasukan untuk melanjutkan peperangan dan tidak mengizinkan mereka beristirahat.[21]
Hal itu memicu kemarahan panglima-panglima besar yang berada di medan tempur, sehingga mereka sepakat untuk membai’at Abdurrahman bin al-Asy’aṡ demi menumbangkan kezaliman Al-Hajjāj bin Yusuf di Irak. Sebagain ulama Irak pun ikut di barisan Abddurrahmān bin al-Asy’aṡ.
Sejarah menuliskan, ratusan ulama Kufah dan Bashrah berada di barisan Abdurrahman bin al-Asy’aṡ. bukan hanya ulama biasa, tapi mereka adalah ulama-ulama terkemuka, seperti: Sa’id bin Jubair, Muslim bin Yasār, Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqāsh, ‘Ᾱmir bin Syarahīl Al-Sya’bī, ‘Athā’ bin Sā’ib, Abu al-Bukhturī, Abdurrahmān bin Abī Lailā, dan ulama-ulama lainnya, sehingga fenomena ini di kenal dalam sejarah dengan nama fitnatu al-Qurrā’.
Peperangan antara pasukan Abdurrahman bin Al-Asy’aṡ al-Kindī dengan pasukan Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafī yang disokong oleh Abd al-Malik bin Marwān berlangsung cukup lama, dari tahun 81 H hingga 83 H. Singkat cerita, peperangan dimenangkan oleh Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafī. Ia lalu mengeksekusi semua yang terlibat dalam revolusi ini.
Tidaklah didatangkan pendukung Abdurrahman bin al-Asy’aṡ di hadapan Al-Hajjaj kecuali dia memberinya dua pilihan, pertama: jika orang itu mengaku telah kafir, maka Al-Hajjaj membebaskannya. (maksud kafir: karena mereka keluar dari bai’at Abd al-Malik bin Marwan). Pilihan kedua: siapapun dari mereka yang tetap mengaku muslim, maka hukum pancung siap menantinya. Banyak dari mereka yang melarikan diri, termasuk Sa’id bin Jubair, yang melarikan diri ke Makkah.
Wafatnya
Wafatnya Sa’id bin Jubair termasuk kisah yang memilukan. Rasa haru memenuhi qalbu siapapun yang membaca tentang akhir perjalanan hidup seorang pakar tafsīr dan perawi hadīṡ yang ṡiqah ini. Kezaliman Al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī di kota Irak, Kufah dan Bashrah menjadi sebab utama hal ini.
Sa’id bin Jubair dalam pelarian dari tahun 83 H hingga tahun 95 H.[22] Ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hingga sampailah Sa’īd bin Jubair di Makkah. Di saat tawaf di sekeliling Ka’bah, ia bersama Thalq bin Habīb ditangkap oleh pemerintah Makkah saat itu, yaitu Khalid bin Abdillah al-Qasrī. Lalu mereka dikirim ke Al-Hajjaj bin Yusuf di Irak untuk dieksekusi. [23]
Di lokasi eksekusi, Al-Hajaj merendahkan Sa’id bin Jubair dengan bertanya: engkaukah Syaqi bin Kusair? (artinya: orang sengsara anak dari orang lemah). Said bin Jubair (artinya: orang bahagia anak dari orang yang kuat) menjawab: namaku seperti yang diberikan oleh ibuku. Mengapa engkau berani memberontak? Tanya al-Hajjaj. Dengan tegas Sa’id bin Jubair menjawab: karena aku telah berbai’at kepada Abdurrahman bin al-Asy’aṡ. mendengaar itu kemarahan al-Hajjaj semakin membara.
Sebelum dihukum pancung, Sa’id bin Jubair meminta agar diberi kesempatan shalat dua raka’at. Dengan sinisnya Al-Hajjaj mengatakan kepada tentaranya: alihkan kiblatnya ke kiblat orang Nashrani. Sa’id bin Jubair hanya bisa membaca firman Allah ﷻ: kemanapun kamu menghadap, disanalah wajah wajah Allah (QS. al-Baqarah: 155). Lalu Al-Hajjaj memerintahkan agar wajah Sa’id bin Jubair di tempelkan ke tanah. Ia lalu membaca firman Allah: darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu, dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain (QS. Taha: 55).
Sebelum dieksekusi, Sa’īd bin Jubair sempat berdo’a: Ya Allah, janganlah Engkau beri kesempatan keada Al-Hajjāj membunuh seorangpun setelahku. Do’a ini Allah ﷻ kabulkan, tak lama setelah wafatnya Sa’īd bin Jubair, Al-Hajjāj bin Yusuf juga wafat. [24]
Tahun 95 H bulan sya’ban, menjadi akhir perjalanan hidup seorang ulama rabbānī, Sa’id bin Jubair di umur 57 tahun. Ia dihukum pancung oleh pemerintah zalim al-Hajjāj bin Yusuf al-Ṡaqafī dalam keadaan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kehidupan Sa’īd bin Jubair, menerapkan semangatnya dalam langkah perjuangan demi kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Footnote:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, (cet. 2, muassasah al-risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), juz. 4, h. 321
[2] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 341
[3] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, (cet. 3, dār al-kutub al-ilmiyah, Bairut, 1409 H), juz. 4, h. 274
[4] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 335
[5] Ibnu Khilkān, wafayāt al-a’yān wa anbā’u Abnā’i al-zamān, (cet. 1, dār al-shādir, Bairut, 1971 M), juz. 2, h. 372
[6] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 335
[7] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 273
[8] Beberapa sumber data yang menyebutkan ibunda Sa’īd bin Jubair:
فَقَالَتْ لَهُ أُمُّهُ: أَيْ بُنَيَّ، لَا تَدْعُ عَلَى شَيْءٍ بَعْدَهَا (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 4/ 274)
لَدَغَتْنِي عَقْرَبٌ، فَأَقْسَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي أَنْ أَسْتَرْقِيَ، فَأَعْطَيْتُ الرَّاقِي يَدِي الَّتِي لَمْ تُلْدَغْ، وَكَرِهْتُ أَنْ أُحَنِّثَهَا (سير أعلام النبلاء 4/333)
كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِذَا أَتَاهُ أَهْلُ الْكُوفَةِ يَسْتَفْتُونَهُ يَقُولُ: «أَلَيْسَ فِيكُمُ ابْنُ أُمِّ الدَّهْمَاءِ؟(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 4/ 273)
قَالَ الحجاج لسعيد: أَنْتَ شَقِيُّ بنُ كُسَيْرٍ، لأَقْتُلَنَّكَ. قَالَ: فَإِذاً أَنَا كَمَا سَمَّتْنِي أُمِّي (سير أعلام النبلاء 4/327)
[9] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 322
[10] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 323
[11] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 321
[12] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 273
[13] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 333
[14] Ibnu Hajar al-Asqalānī, Tahżīb al-Tahżīb, (cet. India : Dairatu al-Ma’ārif al-Nizāmiyah, 1326 H), juz. 4 h. 13-14
[15] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, tażkirat al-Huffāz, (cet. Dār al-kutub al-ilmiyah, Libanon, 1419 H/ 1998 M), juz. 1, h. 61
[16] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, (cet. 1, Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), juz. 10, h. 363. Mengomentari hal ini, Imam al-Zahabi berkata: idealnya menamatkan al-Quran tidak boleh kurang dari tiga hari, karena ada larangan Nabi ﷺ menamatkannya kurang dari tiga hari.(lihat. Siyar A’lām Nubala Juz. 4, h. 324)
[17] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 363
[18] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 334
[19] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 365
[20] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 4, h. 275
[21] Abdu Syafi Muhammad Abd al-Lathīf, Al-‘Ᾱlam al-Isami fi al-‘Ashri al-Umawī, diterjemahkan dengan judul, Bangkit dan runtuhnya Khilafah Bani Umayah, oleh Masturi Irham dan Malik Supar, (Cet. 1. Al-Kauṡar) h. 633
[22] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 337
[23] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 336
[24] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 332