Daftar Isi:
A. Nama dan Asalnya
Ia adalah Abū ‘Abdillāh ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awwām bin al-Khuwailid bin Asad bin ‘Abdi al-Uzzā bin Quṣai bin Kilāb, seorang ulama yang warak dan berwibawa, cahaya kemuliaan terpancar dari ilmunya dan juga nasabnya.[1]
Dari sisi keilmuan, ia dikenal sebagai seorang imām, guru besar, dan tokoh ulama kota Madinah, ia termasuk salah satu dari al-fuqahā’ al-sab’ah (7 pakar fikih para tābi’īn di kota Madinah).
Adapun kemuliaan dari sisi nasabnya, ‘Urwah merupakan cucu dari bibi Nabi ﷺ, Ṣafiyah binti ‘Abdi al-Muṭṭalib raḍiyallāhu ‘anhā, kakeknya dari jalur ibu adalah Abū Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu, ibunya adalah żātu al-niṭāqain, Asmā’ binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhumā, sedang ayahnya merupakan hawārī Rasulillāh, Zubair bin al-Awwām, bibinya adalah ‘Ā’isyah binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhumā, istri tercinta Nabi ﷺ. [2]
Ia lahir pada tahun 23 H di kota Madīnah, pada akhir pemerintahan ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu. Saat itu kota Madinah merupakan pusat ilmu Islam, para ulama dari kalangan sahabat masih mendiami kota itu, keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan, situasi politik sangat kondusif, karena kepemimpinan dikelola oleh para khulafā’u al-rāsyidūn.
B. Perkembangan Keilmuannya
Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Demikianlah pepatah yang serasi dengan ‘Urwah bin al-Zubair. Sejak kecil ‘Urwah fokus menimba ilmu dari orang tuanya. Tangga-tangga ilmu mulai ditapakinya dengan bimbingan ayah dan ibunya. Dasar-dasar ilmu periwayatan hadīṡ dan fikih bagai batu fondasi yang mulai ia susun untuk menjadi suatu bangunan ilmu dengan dibimbing oleh seorang pakar, yaitu bibinya, ‘Ā’isyah binti Abī Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu.
Kerja keras, disiplin dan tekad yang kuat dapat menyingkirkan semua kesulitan dalam proses studi ‘Urwah bin al-Zubair. Motivasi terbesar dalam hidupnya adalah bagaimana ia dapat memberi manfaat ilmu kepada manusia.
Abū Nu’aim al-Aṣbahānī dalam Ḥilyatu al-Auliyā’, mengisahkan betapa besar obsesi mimpi ‘Urwah bin al-Zubair yang ia cita-citakan di sisi ka’bah, dekat rukun Yamani:
عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، قَالَ: اجْتَمَعَ فِي الْحِجْرِ مُصْعَبٌ وَعُرْوَةُ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، فَقَالُوا: تَمَنَّوْا، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى الْخِلَافَةَ، وَقَالَ عُرْوَةُ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى أَنْ يُؤْخَذَ عَنِّي الْعِلْمُ، وَقَالَ مُصْعَبٌ: أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى إِمْرَةَ الْعِرَاقِ… وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: «أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى الْمَغْفِرَةَ» قَالَ: فَنَالُوا كُلُّهُمْ مَا تَمَنَّوْا، وَلَعَلَّ ابْنَ عُمَرَ قَدْ غُفِرَ لَهُ.[3]
Maknanya:
Dari Abū al-Zinād (‘Abdullāh bin Żakwān, w.130 H) ia berkata, ‘Pernah berkumpul di sisi rukun Yamani, yaitu Mus’ab bin al-Zubair, ‘Urwah bin al-Zubair, ‘Abdullāh bin al-Zubair dan ‘Abdullāh bin ‘Umar’. Mereka pun berkata, ‘Kemukakanlah cita-cita kalian’. ‘Abdullāh bin al-Zubair berkata, ‘Xita-citaku adalah menguasai kekhilafahan’. ‘Urwah berkata, ‘Adapun cita-citaku adalah (menjadi seorang ‘alim) sehingga aku dapat membagi ilmu’. Mus’ab berkata, ‘Keinginanku adalah dapat menguasai wilayah Irak’. Lalu ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata, ‘Xita-citaku adalah aku mendapat ampunan (dari Allah)’. Berkata Abū al-Zinād, ‘Maka mereka semua dapat mencapai cita-citanya, dan semoga Ibnu ‘Umar telah mendapat ampunan (yang ia cita-citakan)’.”
Cita-cita tidak akan dicapai kecuali dengan kerja keras dan kesungguhan. Kisah kesungguhan ‘Urwah bin al-Zubair dituturkan oleh sahabatnya, Qabīṣah bin Żu’aib, ia berkata, “Dahulu di pemerintahan Mu’āwiyah, kami sering menghadiri majelis ilmu di masjid, aku, Mus’ab bin al-Zubair, ‘Urwah bin al-Zubair, Abū Bakr bin ‘Abdirraḥmān, ‘Abd al-Mālik bin al-Marwān, dan beberapa remaja lainnya. Di pagi hari, kami berpencar mencari guru (untuk belajar). Aku sering duduk (belajar) kepada Zaid bin Ṡābit, saat itu ia menjabat sebagai hakim dan mufti penduduk Madinah. Lalu aku dan Abū Bakr bin ‘Abdurraḥmān bermulazamah kepada Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu. Namun kami dikalahkan ‘Urwah bin al-Zubair, karena ia boleh belajar langsung kepada bibinya, Ā’isyah raḍiyallāhu ‘anhā.”[4]
‘Urwah bin al-Zubair unggul atas kawan-kawannya, karena disamping ia berguru dari para sahabat laki-laki, ia juga dapat berguru langsung kepada bibinya, Ā’isyah binti Abī Bakr raḍiyallāhu ‘anhumā, tak tersisa sedikitpun dari ilmu bibinya kecuali telah dikuasai seluruhnya tiga tahun sebelum bibinya wafat.[5]
‘Urwah pernah berkata, “Kadang jika aku ingin mempelajari satu hadīṡ dari seorang sahabat Nabi, aku bersabar menunggunya di depan pintu rumahnya yang sedang beristirahat, hingga ia terjaga dan keluar rumah, barulah aku menanyakan hadīṡ itu padanya.”[6]
Setelah proses studi yang panjang, jadilah ia salah satu dari al-fuqahā’ al-sab’ah.[7] Istilah ini dikenal karena ketujuh ulama ini adalah ulama yang sangat pakar dalam ilmu syar’i sepeninggal para sahabat Nabi. Mereka adalah puncak menara ilmu Islam zaman tābi’īn, sehingga ‘Umar bin ‘Abdul’azīz (khalifah ke-8 Bani Umayah) menjadikan mereka sebagai mustasyārīn (penasihat pemerintahan kekhilafahan).[8]
C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Guru bagai pelita dalam kegelapan setiap zaman dan peradaban. Terangnya cahaya pengajaran seorang guru akan selalu menyinari qalbu muridnya, agar selamat dalam menyusuri lorong gelap penyimpangan pemikiran. Keteladanan akhlak seorang guru selamanya akan menjadi embun penyejuk di tengah kegersangan dan kekeringan moral manusia.
Sebagai seorang tābi’īn, guru-guru ‘Urwah bin al-Zubair adalah para sahabat. Tercatat bahwa ‘Urwah bin al-Zubair berguru dari banyak sahabat Nabi, antara lain Ā’isyah binti Abī Bakr al-Siddīq, Sa’īd bin Zaid, ‘Ālī bin Abī Ṭālib, Sahl bin Abī Haṡmah, Sufyān bin ‘Abdillāh al-Ṡaqafī, al-Ḥasan, al-Ḥusain, Muḥammad bin Maslamah, Abū Hurairah, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, Zaid bin Ṡābit raḍiyallāhu ‘anhum.
Keberhasilan seorang guru dapat dilihat dari kesuksesan murid-muridnya. Setelah ‘Urwah bin al-Zubair mengabdikan diri sebagai pengajar di kota Madinah, lahirlah dari didikannya murid-murid terbaik yang menjadi ulama besar di masa itu. Di antara murid-muridnya adalah putra-putranya sendiri: Hisyam, Muḥammad, Usmān, Yaḥyā, dan ‘Abdullāh. Belajar juga darinya, Muḥammad bin Syihab al-Zuhrī, Ṣafwān bin Muslim, Yazīd bin Abī Habīb, Muḥammad bin al-Munkadir, Ṣalih bin Kaisān, dan lainnya.[9]
Kontribusi ‘Urwah bin al-Zubair dalam Islam sangatlah besar. Dalam mengabadikan sunah Nabi ﷺ -sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an- namanya selalu termasuk dalam mata rantai periwayat yang ṡiqah. Keteladanannya dalam ibadah memotivasi umat agar selalu menghambakan diri kepada Sang Pencipta. Kedermawanan yang dicontohkannya mendorong orang berpunya agar peduli kepada sesama. Teladan dalam kesabarannya, membangun benteng ketabahan dalam hati setiap insan yang menelisik tepi sejarahnya.
D. Apresiasi Ulama terhadapnya
Imām al-Żahabī (w. 748 H) berkata dalam Siyar-nya, “ ‘Urwah bin al-Zubair adalah seorang imam, guru besar kota Madinah, ahli fikih, termasuk dari tujuh pakar fikih Madinah.”[10]
Selanjutnya Imām al-Żahabī menuliskan beberapa pujian ulama terhadap ‘Urwah, sebagai berikut:[11]
- ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azīz berkata, “Aku belum pernah bertemu sesorang yang lebih berilmu dari ‘Urwah bin al-Zubair.”
- Abū al-Zinad berkata, “Pakar fikih penduduk Madinah ada empat; Sa’īd bin al-Musayib, ‘Urwah bin al-Zubair, Qabīsah bin Żu’aib, dan ‘Abdul Mālik bin Marwān.
- Imām al-Zuhrī berkata, “Aku melihat ilmu ‘Urwah bagaikan samudera yang tak akan kering selamanya.”
قَال سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة، عَنِ الزُّهْرِيّ: كَانَ عُرْوَةُ يَتَأَلَّفُ النَّاسَ عَلَى حَدِيْثِهِ[12]
Sufyān bin Uyainah meriwayatkan dari Imām al-Zuhrī, ia berkata, “Dahulu orang-orang jatuh cinta dengan hadīṡ, jika hadis itu disampaikan oleh ‘Urwah bin al-Zubair.”
E. Mutiara-mutiara Hikmahnya
‘Urwah bin al-Zubair dikenal sebagai ahli ibadah. Tak pernah luput, di siang harinya ia selalu mengkhatamkan seperempat Al-Qur’an (7,5 juz) dengan membuka mushaf. Jika malam tiba, qiyāmu al-lail selalu menghiasai kesendiriannya dengan membaca seperempat Al-Qur’an (7,5 juz) dari hafalannya. Total bacaan Al-Qur’annya adalah 15 juz setiap hari, kecuali pada malam sakitnya yang mengharuskan kakinya diamputasi.[13]
Kisah itu berawal saat ‘Urwah bin al-Zubair memenuhi undangan Khalifah al-Walīd bin ‘Abdi al-Malik di Damaskus. Ia membawa bersamanya putra sulungnya yang bernama Muḥammad. Sebelum sampai ke Damaskus, ia diserang penyakit al-āklah, yang mengharuskan kakinya diamputasi. Sesampainya di Damaskus, al-Walīd bin ‘Abdi al-Malik mengatur proses operasinya. Ketika tabib siap memotong kakinya, ia ditawari khamr agar ia tidak merasa sakit saat diamputasi. Namun ‘Urwah enggan meminumnya, dan lebih memilih membaca Al-Qur’an untuk meminimalisir rasa sakitnya. Kata has, has, yang terdengar dari lisannya saat menahan sakitnya.[14]
Setelah ‘Urwah siuman dari pingsannya, dan melihat kakinya sudah terpisah dari tubuhnya, dikabarkan padanya bahwa anaknya yang bernama Muḥammad baru saja meninggal, karena tak sengaja ia masuk ke kandang kuda lalu ia ditendang oleh seekor kuda, hal itu menyebabkan kematiannya.
Lisan yang selalu terjaga dengan zikir pada Allah ﷻ tidak akan berucap kecuali yang diridai Allah ﷻ. Saat itu ‘Urwah berkata,
لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (الكهف: 62)
Artinya:
“Sungguh kita telah merasa letih, karena perjalanan kita ini.”
‘Urwah lalu mengangkat tangannya, dengan segala kerendahan hati ia berdoa, sebagaimana riwayat berikut ini:
لَمَّا أُصِيْبَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ بِرِجْلِهِ وَ بِابْنِهِ مُحَمَّدٍ قَالَ: (اللَّهُمَّ كَانُوْا سَبْعَةٌ فَأَخَذْتَ وَاحِدًا وَ أَبْقَيْتَ سِتَّةً، وَ كُنَّ أَرْبَعًا فَأَخَذْتَ وَاحِدَةً وَ أَبْقَيْتَ ثَلاَثاً، فَأيمنَكَ لَئِنْ كُنْتَ أَخَذْتَ لَقَدْ أَبْقَيْتَ وَ إِنْ كُنْتَ ابْتَلَيْتَ لَقَدْ عَفَيْتَ(.[15]
Maknanya:
Ketika ‘Urwah bin al-Zubair ditimpa musibah pada kakinya dan kematian anaknya yang bernama Muḥammad, ia berdoa, “Ya, Allah, anakku ada tujuh orang, Engkau hanya mengambil satu darinya, sedang Engkau masih menyisakan enam bagiku, dahulu anggota tubuhku empat, Engkau hanya mengambil satu darinya, sedang Engkau masih menyisakan tiga bagiku, sungguh jika Engkau mengambil (dariku semuanya), itu hanya sedikit dari banyaknya pemberian-Mu, dan jika Engkau memberi cobaan (sakit padaku) sungguh besar nikmat kesehatan yang selama ini Engkau anugerahkan (untukku).”
Keteladanan ‘Urwah dalam kesabaran adalah contoh yang sangat agung. Kesabaran yang dicontohkan ‘Urwah bin al-Zubair adalah tingkat kesabaran tertinggi, karena ia menerima ketetapan Allah dengan memuji Allah ﷻ atas segala ketetapan-Nya.
Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan, jika musim panen kurma tiba, ia selalu membuka pintu kebunnya, memanggil orang-orang mencicipinya dan membekali mereka kurma agar bisa dibawa pulang ke rumah mereka.[16] Setiap kali ia memasuki kebunnya, ia selalu membaca firman Allah ﷻ,
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ …(الكهف: 39)
Artinya:
“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak kau ucapkan ‘Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali (pertolngan) Allah.” (Q.S. al-Kahfi: 39)
F. Wafatnya
‘Urwah bin al-Zubair adalah menara hidayah bagi kaum muslimin. Masa hidupnya dibaktikan untuk sunah Nabi ﷺ, menjadi guru, dai yang menyeru kepada kebaikan. Seluruh detik-detik umurnya diisi dengan bakti, keteladanan, dan ketakwaan kepada Allah ﷻ.
قَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ: كَانَ أَبِي يَصُوْمُ الدَّهْرَ وَ مَاتَ صَائِمًا [17]
Hisyām bin ‘Urwah berkata, “Ayahku selalu berpuasa sepanjang tahun, hingga ia wafat dalam keadaan berpuasa.”
Di kampung tempat mukimnya bernama Far’un, tidak jauh dari kota Madinah, dalam kondisi berpuasa, ‘Urwah bin al-Zubair dipanggil oleh Allah ﷻ pada tahun 94 H di usianya yang ke 71 tahun. Tahun 94 H dikenal dengan tahunnya para fuqahā’, karena banyak para fuqahā yang wafat di tahun itu.[18]
Semoga Allah merahmatinya dan memudahkan kita mengikuti langkahnya.
Footnote:
[1] Yahyā bin Syaraf al-Nawawī, Tahżīb al-Asmā’ wa al-Lugāt, (Cet. Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah,), jilid 1, hal. 331.
[2] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Mu’assasah al-Risālah, Bairūt, 1405 H/1985 M), Jilid. 4, hal. 421.
[3] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Ḥilyatu al-āuliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiyā’ (Cet. Bairūt: Dār al-Kitāb al-Arabī 1974) jilid. 1, hal. 309.
[4] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 424.
[5] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Bairūt: Muassasah al-risālah, 1980 M), jilid 20, hal. 17.
[6] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 424.
[7] Mereka adalah Sa’īd bin al-Musayib (w. 94 H), Urwah bin al-Zubair (w. 94 H), al-Qāsim bin Muḥammad bin Abī Bakr al-Siddīq (w. 108 H), Khārijah bin Zaid bin Ṡābit (w. 100 H), ‘Ubaidullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Utbah bin Mas’ūd (98 H), Sulaimān bin Yasār (w. 107 H), adapun yang ke tujuh, ada tiga nama yang diperselisihkan, yaitu: Abū Salamah bin ‘Abdirraḥmān bin ‘Auf (w. 94 H), Sālim bin ‘Abdillāh bin ‘Umar bin al-Khaṭṭāb (w. 106 H) dan Abū Bakr bin ‘Abdirraḥmān bin al-Hāriṡ bin Hisyām al-Makhzūmī (w. 94 H).
[8] Abdurrahmān Ra’fat Bāsyā, Ṣuwar min Hayāt Tabi’īn, (Cet. 15, Dār al-Adab al-Islāmī, 1997 M) hal. 42.
[9] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Tażkiratul Ḥufaz, (cet. 1, Bairūt:Dār al-kutub al-ilmiah, 1998 M), jilid 1, hal. 50.
[10] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 421.
[11] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 425.
[12] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Bairūt: Mu’assasah al-Risālah, 1980 M), jilid 20, hal. 16.
[13] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 426.
[14] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 430.
[15] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq (cet. Dār al-fikr, 1995 M), jilid. 40, hal. 265.
[16] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, Jilid. 4, hal. 426.
[17] Muḥammad bin Aḥmad bin Uṡmān al-Żahabī, Tazkiratul Huffaz, jilid 1, hal. 50.
[18] Ibnu Khilkān, Aafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (cet. Bairūt: Dār Ṣadir ), jilid. 3, hal. 258.
Semoga Allah Merahmati kami dan Musa
Ust yth. Saya minta Ustdz dengan pertolongan Allah agar anak2 adam diajari ini;
Matan tuhfatul athfal
https://mutoon.one/#%D8%AA%D8%AD%D9%81%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B7%D9%81%D8%A7%D9%84
Bisa buat senam juga enak daripada pakai musik kan haram.
Juga khususon buat ust ibnu takwi semoga Allah Membimbing beliau agar menyusun buku tafsir mad’u dakwah org indonesia seperti yang telah disampaikan beliau pada pertemuan perdana kajian buku arbain nisaiyah, yakni menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ilmu; yakni yang tingkat kebenarannya 100% benar. Kumpulkan seluruh riwayat qiroah yang ada, lalu jadilah the next abdullah bin abbas; turjumatulqur’an. karena makna yang Allah inginkan untuk qiroah ini beda dengan qiroah itu, maka hadis maksudnya sunnah maksudnya ahsanalhuda: huda muhammad shollallohu alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang wanita aurot itu untuk menafsirkan qiroah
وقَرن
Adapun yang tentang izin ke luar rumah untuk menafsirkan qiroah
وقِرن
Juga ayat
ألا بذكر الله ..
Ajarin juga di situ dzikir keluar rumah apa aja biar tenang, nggak sesat nyesatkan dst..
Trus bantuin aku ngamalin ayat-ayat ini juga ya ustdz2 sini kan pandai nulis;
﴿وَٱذۡكُرۡ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ مَرۡیَمَ إِذِ ٱنتَبَذَتۡ مِنۡ أَهۡلِهَا مَكَانࣰا شَرۡقِیࣰّا﴾ [مريم ١٦]
﴿وَٱذۡكُرۡ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ إِبۡرَ ٰهِیمَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّیقࣰا نَّبِیًّا﴾ [مريم ٤١]
﴿وَٱذۡكُرۡ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ مُوسَىٰۤۚ إِنَّهُۥ كَانَ مُخۡلَصࣰا وَكَانَ رَسُولࣰا نَّبِیࣰّا﴾ [مريم ٥١]
﴿وَٱذۡكُرۡ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ إِسۡمَـٰعِیلَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلۡوَعۡدِ وَكَانَ رَسُولࣰا نَّبِیࣰّا﴾ [مريم ٥٤]
﴿وَٱذۡكُرۡ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ إِدۡرِیسَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّیقࣰا نَّبِیࣰّا﴾ [مريم ٥٦]
http://tafsir.app/ (aplikasi tsb aku riwayatin dari guruku/sahabatku El-Grobogany juga).
Nanti jika Allah Menghendaki akan kupaksa jiwa ini untuk baca.
Hati2 untuk jaga orang lain agar dibimbing Allah utk tidak mengikuti kesalahan kita adalah dengan….tobat sebelum kematian. Wa Allahu A’lam.
Ustadz aku benci sama perbuatannya bapakku. Aku pengen pergi dari dia trus ngebrukkin dia dengan uang yang buanyak biar dia puass sama yang dia pengen. Tapi jangan harap aku bisa dia andelin (andalkan) sebagai tameng dia dari Neraka di akhirat.
Arrohimin tau apa yang kita pikirkan?
عَنِ الزُّهْرِيّ: كَانَ عُرْوَةُ يَتَأَلَّفُ النَّاسَ عَلَى حَدِيْثِهِ
dari Imām al-Zuhrī, ia berkata, “Dahulu orang-orang jatuh cinta dengan hadīṡ, jika hadis itu disampaikan oleh ‘Urwah bin al-Zubair.”
Dahulu Urwah menjadi sebab melunaknya hati An-Nas atas (penyampaian) hadisnya.
O Allah our Lord O Allah our God
We miss you so much..
Ya Allah Ya Rabb kami Ya Allah Tuhan kami
Kasihanilah orang-orang yang dimabuk kerinduan, kuatkanlah hati-hati mereka; dan lunakkanlah hati-(jadikanlah jatuh cinta) hati orang-orang yang dirindukannya agar mau membalas cinta mereka.
Serta ajarilah pula orang-orang yang tidak tahu cara membalas cinta mereka.
آمين والصلاة والسلام على رسول الله وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Tentang kita; maknanya:
1. Orang pertama (aku,saya) & kedua (kamu, kalian), ini Bahasa Indonesia yang baku.Tapi terkadang bermakna seperti isim dhomir Nahnu ketika diterjemahkan oleh mesin penerjemah google, padahal maksudnya kami tapi kesalahan ini dapat menambah erat kaum mukminin.
2. Orang pertama (aku,saya) ini Bahasa Indonesia yang tidak baku biasa digunakan untuk bicara kepada orang yang lebih tua atau saya dan teman-teman yang ikut dengar pembicaraan kepada orang kedua yang lain.
3. Orang kedua, ini berdasarkan hipotesis ketika berinteraksi dengan orang-orang makasar yang tak tahu bahwa yang diajak bicara orang jawa dan informasi ini yang telah dibenarkan oleh Ustadzah Ulfa Hafidzah Makassar yang memesona bukan mempesona serta memaku bukan mempaku.
Maaf tidak jadi ikut musabaqoh karena belum salat istikhoroh, tapi pertanyaannya cukup menghibur. Terima kasih. Thanks. Suwun. Nuhun. Danke. Obrigado. Dankie. Gratias. Gracias. Met dank.
شكرا وجزاكم الله خيرا و جزاهم الله عنا خيرا