SERIAL BELAJAR MUDAH MUSTHALAH HADIS(1)
HADIS MUDALLAS
Daftar Isi:
Definisinya:
هو أن يروى الراوي عن شيخه الذي لقيـه وسمع منه ما لم يسمعه منه، بصيغة تحتمل السماع كعن، أو قال
Artinya:
“Seorang perawi meriwayatkan dari guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya, namun kali ini ia meriwayatkan (sebuah hadis) yang tidak pernah ia dengar darinya, kemudian ia meriwayatkannya dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan makna mendengar, seperti ‘dari’ atau ‘ia berkata’.”
Contohnya:
Hadis yang disebutkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Daud (no. 5212), al-Tirmizi (no. 2727) dan Ibnu Majah (no. 3703) dari jalur;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ السَّبِيْعِي عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضي الله عنهما قَال: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari al-Bara’ bin ‘Azib raḍiyallāhu ‘anhumā, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah’.”
Abu Ishaq al-Sabi’i adalah Amru bin Abdullah. Beliau adalah seorang yang ṡiqah dan banyak meriwayatkan hadis, namun beliau juga dianggap sebagai periwayat yang mudallis (melakukan praktik tadlīs). Adapun riwayat-riwayat beliau terhadap hadis-hadis dari al-Bara’ bin ‘Azib adalah benar adanya dan bisa ditemukan dalam banyak hadis. Namun, terkhusus untuk hadis ini, beliau meriwayatkannya dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an atau عن), dimana hadis ini tidak ia dengarkan langsung dari al-Bara’ bin ‘Azib, tetapi beliau mendengar hadis tersebut dari Abu Daud al-A’mā (Nufai’ bin al-Hāris), sedangkan orang ini matruk (hadisnya ditinggalkan) dan dituduh berdusta.
Bukti akan hal di atas (bahwa Abu Ishaq dalam hadis ini melakukan tadlis):
Ibnu Abi al-Dunya di dalam kitabnya berjudul al-Ikhwān (hal. 172) meriwayatkan dari jalur; Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abu Ishaq, dari Abu Daud, ia berkata, “Aku masuk menemui al-Bara’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda… (ia menyebutkan hadis di atas)’.”
Di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis tersebut dikenal berasal dari Abu Daud al-A’mā dari al-Bara’ yaitu:
Imam Ahmad rahimahullāhu ta’ālā menyebutkan hadis tersebut di dalam kitab Musnad beliau (4/289) dari jalur;
Malik bin Mighwal, dari Abu Daud … dan seterusnya hingga matan hadis.
Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa hadis Abu Ishaq dari al-Bara’ adalah mudallas.
Contoh lain:
Sebuah hadis yang disebutkan oleh Imam al-Tirmizi di dalam kitab al–Jamī’ beliau (no. 154), dari jalur;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَار، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: أَسْفِرُوا بِالفَجْرِ، فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishāq bin Yasār, dari ‘Âshim bin Umar bin Qatādah, dari Mahmūd bin Labīd dari Rāfi’ bin Khadīj raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu alaihi wa sallam bersabda, ‘Tunggulah sampai langit terang untuk salat fajar, karena hal itu pahalanya lebih besar’.”
Muhammad bin Ishāq bin Yasār adalah periwayat yang ṣadūq (terpercaya), hanya saja ia juga mudallis, bahkan beliau adalah termasuk orang yang banyak men-tadlis-kan riwayat. Beliau telah men-tadlis-kan sanad ini karena sebenarnya ia menerima riwayat ini dari Muhammad bin ‘Ajlān, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad juga menyebutkan riwayat tersebut dengan sanad yang kedua (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazīd, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishāq, ia berkata, ‘Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlān,… kemudian beliau menyebutkan hadis tersebut dengan sanad dan matannya.”
Sehingga, riwayat ini kemudian menjadi bukti bahwa hakikatnya Ishaq mendengarkan hadis ini dari Ibnu ‘Ajlān.
Jenis-Jenis Tadlis
- Tadlis al-Isnād (Menyamarkan Sanad)
Yaitu jenis tadlis yang telah didefinisikan dan dicontohkan pada pembahasan sebelumnya.
- Tadlis al-Syuyūkh (Menyamarkan Guru)
Yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadisnya dengan identitas yang tidak populer baginya, baik dengan namanya, julukan, kuniyah, ataupun nasabnya untuk memberikan gambaran bahwa ia memiliki guru yang banyak atau ia lakukan untuk menyembunyikan derajat gurunya yang lemah (daif) atau majhūl.
Contoh:
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunan beliau (no. 2196) dari jalur;
أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ، مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: طَلَّقَ عَبْدُ يَزِيدَ أَبُو رُكَانَةَ، وَإِخْوَتِهِ أُمَّ رُكَانَةَ، وَنَكَحَ امْرَأَةً مِنْ مُزَيْنَةَ … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij telah memberitakan kepadaku, sebagian dari Bani Abu Rāfi’, pembantu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas raḍiyallāhu ‘anhumā, ia berkata, “Abdu Yazīd (Abu Rukānah dan saudara-saudaranya) menalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzaynah….” beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga sekaligus dalam satu waktu.
Ibnu Juraij ini memiliki nama lengkap yaitu Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Beliau adalah seorang yang ṡiqah namun ia juga dinilai sebagai mudallis. Meskipun beliau menjelaskan bahwa ia telah mendengar dari gurunya langsung, hanya saja ia telah men-tadlis-kan namanya dengan merahasiakannya karena kondisi gurunya, beliau berkata, “Sebagian dari bani Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku.”
Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi kita tidak akan menyebutkan seluruh pendapat tersebut di sini.
Fakta yang benar adalah bahwa guru Ibnu Juraij pada hadis ini yaitu Muhammad bin Ubaidullah bin Abu Rāfi’. Beliau adalah periwayat yang matruk (ditinggalkan). Imam Bukhari mengungkapkan penilaian beliau terhadap periwayat ini dengan berkata “munkarul hadis” (hadis yang ia riwayatkan bersifat mungkar). Ibnu Ma’īn berkata, “Tidak ada apa-apanya.” Sedangkan Abu Hatim berkata, “Hadisnya sangat mungkar dan ditinggalkan.”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya secara terang-terangan pada riwayat al-Hākim di dalam kitab al-Mustadrak karya beliau (2/491), ia berkata, “Dari Muhammad bin Ubaidullah bin Abu Rāfi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbās.”
- Tadlis Bilād (Menyamarkan Negeri atau Daerah)
Jenis tadlis yang ketiga ini hampir sama dengan jenis tadlis sebelumnya (tadlis syuyukh).
Gambarannya:
Ketika seorang ahli hadis berkata, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”, padahal makna dari kata “al-Bukhari” yang ia maksud adalah orang yang menguapi orang lain (arti bukhari secara bahasa, pen.) namun orang menyangka yang dimaksud adalah Imam Bukhari. Bagitu juga seperti yang dikatakan oleh seorang perawi dari Baghdad, “Telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai”, istilah ini biasanya dimaksud daerah Asia Tengah seperti Uzbekistan dan sekitarnya namun yang beliau maksud adalah sungai Dajlah, atau ketika perawi dari Mesir mengatakan, “Ia (syekhnya) memperdengarkan hadis ini di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarāfah (kota di Mesir) bukan Andalus negeri Spanyol sebagaimana disangka.
- Tadlis ‘Aṭf
Yaitu ketika seorang ahli hadis mengatakan, “Fulan dan fulan menceritakan kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama dan tidak pernah mendengar hadis tersebut dari orang yang kedua.
Contohnya:
Hadis yang disebutkan oleh al-Hākim di dalam kitabnya ‘Ulūm al-Hadīṡ (hal. 131):
Bahwa beberapa murid Husyaim (salah seorang periwayat yang dinilai telah melakukan tadlis) pada suatu hari mereka berkumpul dengan bertekad tidak akan mengambil hadis yang di-tadlis-kan oleh sang guru. Kemudian Husyaim memahami maksud murid-muridnya dan ingin menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadis yang disebutkannya:
Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai memperdengarkannya kepada murid-muridnya, dikatakan kepada mereka, “Apakah aku telah men-tadlis-kan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak.” Husyaim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan tadi. Seharusnya aku mengatakan, ‘Huṣain menceritakan kepadaku, adapun Mughirah maka aku tidak dengar apa-apa darinya’.”
- Tadlis al–Sukut
Yaitu ketika seorang ahli hadis berkata, “Haddaṡanā (telah menceritakan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar)” lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia belum pernah mendengar hadis tersebut darinya.
Contohnya:
Sebuah hadis yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam kitabnya al-Kāmil fi al-Dhu’afa:
Dari Umar bin Ubaid al-Ṭanāfisi, bahwasanya ia pernah berkata, “Haddaṡanā (telah menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā.
- Tadlis al-Taswiyah
Tadlis jenis ini merupakan bentuk tadlis paling tercela.
Gambarannya:
Ketika seorang ahli hadis menghilangkan rawi yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedaifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadis tampak diriwayatkan oleh para periwayat yang ṡiqah dari periwayat yang ṡiqah pula.
Bentuk tadlis yang seperti ini adalah yang paling tercela karena di dalamnya ada unsur khianat dan menutup dari hakikat sebenarnya.
Adapun periwayat yang dinilai telah melakukan tadlis jenis ini adalah al-Walīd bin Muslim dan Baqiyyah bin al-Walīd.
Hukum riwayat seorang periwayat mudallis dengan lafaz ‘an’anah (عن):
Secara umum, riwayat seorang periwayat yang banyak melakukan tadlis jika meriwayatkan hadis dengan cara mu’an’anah (‘an/عن) adalah tertolak jika ia tidak menyebutkan bahwa ia pernah mendengar hadis tersebut secara langsung. Adapun jika ia pernah mendengarnya secara langsung maka riwayatnya diterima.
Adapun periwayat mudallis yang jumlah tadlis-nya terbilang sedikit, juga yang tidak melakukan tadlis kecuali terhadap periwayat yang ṡiqah, maka hadis ‘an’anah yang ia riwayatkan dikategorikan sebagai hadis yang diriwayatkan dengan bentuk sama’ (mendengarkan langsung), kecuali jika ia terbukti secara jelas telah melakukan tadlis pada hadis tertentu dan hal itu dibuktikan setelah mengumpulkan jalur-jalur yang ia miliki serta memeriksanya.
Tingkatan para periwayat mudallis(2):
Para periwayat yang dikategorikan sebagai mudallis memiliki tingkatan khusus berdasarkan kuantitas tadlis mereka serta tingkat hafalan dan itqān mereka. Terdapat lima tingkatan, yaitu:
- Mereka yang dikategorikan sebagai periwayat mudallis yang sangat jarang melakukan tadlis, seperti Yahya bin Said al-Anṣārī.
2.Periwayat yang tadlis-nya diterima oleh para imam dan hadisnya masih dicantumkan di dalam kitab-kitab sahih karena kedudukannya sebagai seorang imam, dan di sisi lain memiliki jumlah tadlis yang sdikit dari kesuluruhan hadis yang ia riwayatkan. Seperti Sufyan bin Said al-Ṡaurī, atau periwayat yang tidak melakukan tadlis kecuali terhadap periwayat ṡiqah, seperti Sufyan bin ‘Uyainah.
- Para periwayat yang tidak diambil riwayatnya oleh sebagian besar imam, maka riwayat mereka dengan sigat ‘an’anah ditolak oleh mereka. Begitu juga tidak dijadikan hujah oleh mereka kecuali ada bukti bahwa ia pernah mendengarnya secara langsung. Ada juga yang hadisnya diterima meskipun ia riwayatkan dengan sigat ‘an’anah selama tidak ada bukti bahwa ia telah melakukan tadlis terhadap hadis-hadis tertentu, seperti Qatādah bin Diamah al Sadusi(3), dan Abu Isḥāq al-Sabi’i.
- Mereka yang telah disepakati oleh para ulama bahwa riwayatnya tidak boleh dijadikan hujah jika tidak terdapat bukti bahwa ia pernah mendengar hadis tersebut secara langsung. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah tadlis mereka serta riwayat mereka yang diambil dari periwayat-periwayat lemah dan majhul. Seperti Muhammad bin Ishāq bin Yasār, dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij.
- Periwayat yang dikategorikan lemah karena sebab yang lain, di samping karena tadlis yang ia lakukan, di mana penilaian terhadap mereka berisi penilaian buruk (tajrih) dan dianggap lemah, maka hadis yang diriwayatkan oleh periwayat semacam ini tertolak secara umum, meskipun mereka mendengar hadis tersebut secara langsung, seperti Abu Janab al-Kalbi, dan Abu Said al-Baqqāl.
Perbedaan Antara Tadlīs dengan Irsāl Khafi
Di sini sangat penting untuk membedakan antara tadlis dan irsal khafi dikarenakan adanya kemiripan pada sisi “tidak mendengar hadis dari orang yang disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya.” Di mana perbedaan itu terletak pada hukum ‘an‘anah (periwayatan hadis dengan lafazh عن) dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Pada masalah ini, sebagian ulama memperluasnya, sehingga mereka menyebut tadlis sebagai irsal khafi, namun yang utama adalah dengan membedakan keduanya.
Adapun Irsal Khafi, yaitu seorang ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman dengannya tetapi ia tidak pernah bertemu dengannya, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Kemudian ia meriwayatkan hadis itu dengan ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia seakan-akan telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari (عن)” atau “ia berkata (قال)”.
Contohnya:
Riwayat Sulaiman bin Mihran al-A’masy, dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu.
Al-A’masy pernah bertemu dengan Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, namun ia tidak pernah mendengar satu hadis pun darinya. Yang benar adalah bahwa al-A’masy meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik yang ia dengar dari Yazīd al-Raqqāsy dan Abān bin Abi Ayyasy, dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu.
Ali bin al-Madinī berkata, “Al-A’masy tidak pernah meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu sebab ia hanya pernah melihat Anas ketika sedang bercelak dan ketika sedang salat, namun Ia menerima riwayat dari Yazid al-Raqqasy dan Aban dari Anas.
Oleh karenanya, riwayatnya dari Anas bin Malik dianggap mursal, dan bukan mudallas, meskipun al-A’masy dikatakan sebagai seorang mudallis dalam periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar dari mereka.
Yang serupa dengan contoh di atas adalah al-Hasan al-Basri, ia melihat Uṡmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu dan mendengar khotbah beliau tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja al-Hasan al-Basri sama sekali tidak mendengar hadis yang bersanad dari Uṡmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu sehingga riwayat al-Hasan al-Basri dari Uṡmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu dianggap mursal, wallāhu a’lam.
Kesimpulannya, bahwa perbedaan antara tadlis dan irsal khafi yaitu terletak pada cara mendengarnya seorang muhaddiṡ dari gurunya, yang ia riwayatkan hadis darinya.
Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka riwayat seperti ini dikategorikan sebagai tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau ia pernah bertemu dengannya, namun ia tidak mendengar hadis darinya, maka hadis yang ia riwayatkan dari guru ini dinamakan mursal. Wallāhu ta’ālā a’lam.
Faedah dari mengetahui perbedaan antara tadlis dan irsal:
Secara umum seorang periwayat yang disifati sebagai seorang mudallis, maka hadis yang ia riwayatkan dengan cara ‘an’anah (عن) tertolak, hingga ia memberikan penjelasan bahwa ia telah menerima hadis dengan mendengarnya secara langsung dari seorang guru. Adapun secara detail, sudah dijelaskan pada pembahasan tingkatan periwayat mudallis. Sementara perawi yang dikatakan riwayatnya mursal dan tidak disifati sebagai mudallis maka riwayat hadisnya dengan periwayatan ‘an’anah tertolak, hingga terbukti bahwa ia pernah meriwayatkan hadis dari guru ini secara langsung, meksipun hanya sekali. Jika hal ini telah terbukti meskipun sekali saja, maka riwayat ‘an‘anah–nya dapat diterima setelah itu.
Cara mengetahui periwayat-periwayat yang diklaim sebagai mudallis:
Bagi yang ingin mengetahui para periwayat yang diklaim sebagai mudallis, tingkatan mereka dari sisi tadlis-nya, bisa merujuk ke kitab-kitab yang membahas perihal tadlis dan nama-nama mereka.
Di antara kitab-kitab yang membahas masalah ini dan telah dicetak, yaitu:
- Al-Tabyīn li Asmā al-Mudallisīn, karya Burhanuddin al-Halabī.
- Ta’rif Ahli al-Taqdīs Bimarātib al-Maushūfīn bi al-Tadlīs, karya al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar al-Asqalānī.
- Jāmi’ al-Tahshīl fi Ahkām al-Marāsīl, karya al-Ḥāfiẓ Salahuddin al-‘Alāi, beliau membahas tentang tema tadlis dan para periwayat mudallis.
- Iṭāf Ẑawī al-Rusūkh bi Man Rama bi al-Tadlīs min al-Syuyūkh, karya Fadhīlah al-Syekh Hammād Bin Muhammad al-Anshāri.
Buku yang terakhir ini memiliki banyak manfaat, di dalamnya terkumpul materi-materi yang terdapat pada dua buku utama sebelumnya ditambah dengan buku risalah al-Suyūtī tentang nama-nama periwayat mudallis.
Footnote:
(1) Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Taysīr Ulūm al-Hadīts lil Mubtadiīn” karya Syekh Amru Abdul Mun’im Salim hafiẓahullāh.
(2) Lihat: Ta’rīf Ahli al-Taqdīs bi Marātib al-Mauṣūfīn bi al-Tadlīs, hal. 23, karya al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar, dan Iṭāf Ẑawī al-Rusūkh bi Man Rumiya bi al-Tadlīs min al-Syuyūkh, hal 10, karya al-‘Allāmah al-Syekh Hammād bin Muhammad al-Anṣāri.
(3) Terdapat perbedaan dalam hal ini, silakan lihat penjelasannya dalam buku “al-Ajwibah al-Wāfirah ‘ala al-As-ilah al-Wāfidah” karya Syekh Amru bin Abdul Mun’im Salim.