SERIAL PENJELASAN RINGKAS HADIS TENTANG PUASA(1)
Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ. متفق عليه
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu melakukan iktikaf pada sepuluh terakhir dari Bulan Ramadan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari, no. 2025 dan Muslim dalam kitabnya, Shahih Muslim, no. 1171.
BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADIS:
Silakan baca melalui link berikut: https://markazsunnah.com/abdullah-bin-umar-teladan-para-pencinta-sunah/
SYARAH HADIS:
Hadis ini menunjukkan keutamaan dari iktikaf dan berdiam diri di dalam masjid -terlebih lagi pada sepuluh terakhir dari Bulan Ramadan- karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu beriktikaf pada sepuluh terakhir dari Bulan Ramadan hingga beliau wafat. Setiap amalan yang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam lakukan sebagai bentuk ketaatan dan ibadah, maka amalan itu hukumnya sunah bagi kita.
Iktikaf tidak sah kecuali masjid jemaah (masjid yang ditunaikan salat berjemaah di dalamnya) dan tidak disyaratkan ditunaikan salat Jumat di masjid tersebut, namun jika memungkinkan baginya untuk beriktikaf di masjid yang ditunaikan Salat Jumat di dalamnya maka itu lebih baik karena sebagian ulama mensyaratkan hal itu.
Mayoritas ulama menganjurkan seseorang yang beriktikaf untuk mulai memasuki masjid (tempat iktikafnya) menjelang matahari terbenam pada hari ke-21 Ramadan berdasarkan hadis Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadisnya,
مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
“Siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka beriktikaflah pada sepuluh malam terakhir.”(2)
Hal ini dikuatkan bahwa sesungguhnya tujuan dari iktikaf itu adalah mencari malam Lailatul Qadar, dan terjadinya Lailatul Qadar lebih memungkinkan di malam-malam ganjil sepuluh terakhir Ramadan, dan malam ganjil pertama adalah malam ke-21 Ramadan.
Beriktikaf di dalam masjid pada sepuluh terakhir Ramadan memiliki faedah yang sangat besar karena sesungguhnya iktikaf adalah pengasingan diri sementara dari segala kesibukan dunia untuk dapat bermunajat sepenuhnya kepada Allah ta’ala.
Sebagaimana orang yang beriktikaf memfokuskan dirinya untuk beribadah kepada Allah di dalam masjid, maka dilarang baginya untuk mencumbui istrinya dengan jimak (bersetubuh), berciuman, dan sebagainya. Begitu juga dilarang baginya untuk keluar dari masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak misalnya mandi wajib (junub karena mimpi basah), kencing dan buang air besar jika di masjid itu tidak ada toilet/kamar mandi serta untuk mencari makanan jika tidak ada seseorang yang membawakannya.
Aisyah radhiallahu anha istri Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفا، وفي رواية: إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan apabila beliau sedang beriktikaf.” Di riwayat lain, “Kecuali untuk menunaikan hajat manusiawi.(3)”
Adapun keluar masjid dalam bentuk ketaatan maka tidak wajib baginya seperti menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah dan sebagainya, maka tidak boleh dia lakukan, kecuali dia mensyaratkan untuk mengulang lagi dari awal iktikafnya (berdasarkan salah satu dari dua pendapat), wallahualam.
Orang yang beriktikaf hendaknya memaksimalkan dirinya dengan tujuan-tujuan iktikaf itu, hendaknya mengisi waktunya dengan salat, membaca al-Qur’an, zikir, dan berbagai amalan-amalan saleh, dan hendaknya memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dan membaca buku-buku agama dan bermanfaat seperti tauhid, tafsir, hadis, dan lain-lain. Tidak mengapa untuk berbicara dan berbincang-bincang sedikit demi maslahat kepada keluarga dan orang lain berdasarkan hadis Shafiyyah binti Huyay radhiallahu anha istri Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي
Artinya: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang melaksanakan iktikaf aku datang menemui beliau di malam hari lalu aku berbincang-bincang sejenak dengan beliau, kemudian aku berdiri hendak pulang, beliau juga ikut berdiri bersama aku untuk mengantarkan aku.(4)”
Wallahualam.
Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu rasa takut terhadap-Mu di waktu sendiri dan terang-terangan, kalimatul hak di waktu marah dan rida, sikap pertengahan di waktu kurang dan cukup. Ya Allah, kami meminta kepada-Mu kebahagiaan yang tak berakhir, penyejuk hati yang tak terputus. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kenikmatan melihat wajah-Mu Yang Maha Mulia dan ampunilah segala dosa-dosa kami, orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin. Amin.
Footnote:
(1) Disadur dari kitab Mukhtashar Ahāditsi al– Ṣiyām, karya Syekh Abdullah bin Sālih al-Fauzān hafizhahullah dengan sedikit perubahan dan tambahan seperlunya.
(2) H.R. Bukhari (no. 2018) dan Muslim (no. 1167).
(3) H.R. Bukhari (no. 2029) dan Muslim (no. 297), tambahan lafaznya dalam periwayatan Imam Muslim.
(4) H.R. Bukhari (no. 2035) dan Muslim (no. 2175).