HADIS KESEBELAS: ADAB-ADAB IFTAR

556
HADIS KESEBELAS ADAB ADAB IFTAR
HADIS KESEBELAS ADAB ADAB IFTAR
Perkiraan waktu baca: 4 menit

SERIAL PENJELASAN RINGKAS HADIS TENTANG PUASA(1)

Daftar Isi:

REDAKSI HADIS:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر. متفق عليه

Dari Sahl bin Saad radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Manusia (umat Islam) senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

TAKHRIJ HADIS:

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari, no. 1957 dan Muslim dalam kitabnya, Shahih Muslim, no. 1098.

 BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADIS(2):

Nama lengkap beliau adalah Sahl bin Saad bin Malik al-Anshari al-Khazraji al-Sa’idi. Sebelumnya nama beliau adalah Hazn (kesedihan) lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberinya nama Sahl (kemudahan). Kuniyah-nya adalah Abu al-Abbas dan ada yang mengatakan Abu Yahya. Usia Sahl baru mencapai 15 tahun pada saat Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat. Sahl wafat pada tahun 88 H dalam usia 96 tahun, versi lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 91 H dalam usia 100 tahun. Beliau adalah sahabat terakhir yang wafat di kota Madinah.

PENJELASAN HADIS SECARA GLOBAL:

Hadis ini menunjukkan salah satu adab dari adab-adab berbuka puasa, yaitu menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktunya. Makna dari menyegerakan di sini yaitu berbuka puasa ketika bulatan matahari telah terbenam dan hilang di ufuk. Menyegerakan berbuka memiliki kebaikan yang sangat besar dan merupakan petunjuk Rasulullah serta beramal dengan sunahnya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyegerakan berbuka.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ -وَهُوَ صَائِمٌ-، فَلَمَّا غَرَبَتْ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ الْقَوْمِ: يَا فُلَانُ قُمْ فَاجْدَحْ لَنَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ! قَالَ: انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَوْ أَمْسَيْتَ! قَالَ: انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا، قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا، قَالَ: انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا. فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ثُمَّ قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمْ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Baca juga:  BAB TENTANG MEMBERSIHKAN NAJIS DAN BENDA NAJIS: BOLEHKAH MENGUBAH KHAMAR MENJADI CUKA?

Abdullah bin Abu Awfa radhiyallah ‘anhu berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallah dalam suatu perjalanan dan beliau berpuasa. Ketika matahari terbenam, beliau berkata kepada sebagian rombongan, ‘Wahai fulan, bangun dan siapkanlah minuman buat kami’. Orang yang disuruh itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga malam’. Beliau berkata, ‘Turunlah dan siapkan minuman buat kami’. Orang itu berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga malam’. Beliau berkata lagi, ‘Turunlah dan siapkan minuman buat kami’. Orang itu berkata lagi, ‘Sekarang masih siang’. Beliau kembali berkata, ‘Turunlah dan siapkan minuman buat kami’. Akhirnya orang itu turun lalu menyiapkan minuman buat mereka. Setelah minum, Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda, ‘Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana maka orang yang puasa sudah boleh berbuka’.“(3)

Beberapa dalil menunjukkan bahwa menyegerakan berbuka adalah salah satu akhlak dari para Nabi, yaitu:

  • Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda radhiyallahu anhu, “Tiga hal dari akhlak kenabian: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shala.” (4) Dalam menyegerakan berbuka, ada kemudahan bagi manusia dan menjauhkan diri dari sifat ghuluw atau berlebih-lebihan di dalam agama. Para sahabat Rasulullah radhiyallahu anhum ajma’in telah mengikuti akhlak yang mulia ini.
  • Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan, “Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu berbuka puasa ketika bulatan matahari telah hilang.”(5)
  • Amr bin Maimun al-Audi rahimahullah menyebutkan, “Sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah (mereka) yang paling cepat dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam makan sahur.”(6)

Barangsiapa yang berbuka dan mengira bahwa matahari telah terbenam (padahal hakikatnya matahari belum terbenam) maka puasanya tidak batal karena dimaafkan, sebagaimana orang yang minum dan makan dalam keadaan lupa (puasanya sah dan tidak batal). Hendaknya dia menyempurnakan puasanya hingga matahari telah terbenam. Orang yang lupa dan orang bersalah memiliki satu hukum yang sama, Allah Taala berfirman,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Baca juga:  HADIS KEDUA: SAUM DAN BEBERAPA HUKUMNYA

“Ya Rabb kami, jangan Engkau hukum kami jika kami lupa dan kami bersalah.” (Q.S. al-Baqarah, ayat 286)

Seorang yang berpuasa seyogianya memanfaatkan waktu menjelang berbuka puasa dan memperbanyak berdoa di waktu tersebut karena waktu berbuka puasa adalah waktu mustajabnya doa. Hendaknya ia tidak meninggalkan sunah ini untuk memohon setiap hajat kita, hajat apa pun itu.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga doa yang tidak tertolak: doa pemimpin yang adil, doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan doa orang yang terzalimi.”(7)

Juga disebutkan dalam hadis lainnya:

عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضي الله عنهما قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya doa orang yang berpuasa ketika berbuka tidaklah tertolak.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Saya mendengar Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma berdoa ketika berbuka puasa,

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ  الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampunkan aku’.”(8)

Salah satu bacaan yang disunahkan ketika berbuka puasa adalah sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘laihi wasallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Dzahaba azh-zhama-u wabtallat al-‘uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah (telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan, dan pahala telah ditetapkan insya Allah).”(9) Wallahu A’lam.

Ya Allah, karuniakan kami ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, dan rezeki yang tayib.

Ya Allah, jawablah doa-doa kami, perkenankan segala harapan kami dan ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin. Aamiin.


Footnote:

Baca juga:  HADIS KE-16 AL-ARBAIN: JANGAN MARAH!

(1) Disadur dari kitab Mukhtashar Ahāditsi al- Ṣiyām, karya Syekh Abdullah bin Sālih al-Fauzān hafizhahullah dengan sedikit perubahan dan tambahan seperlunya.

(2) Lihat: al-Isti’ab karya Ibn Abdilbarr (2/ 664), Usdu al-Ghabah karya Ibn al-Atsir (2/ 575) dan al-Ishabah karya Ibnu Hajar al-Asqalani (3/ 167).

(3) H.R. Bukhari, no. 1965 dan Muslim, no. 1101.

(4) H.R. al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir sebagaimana yang disebutkan dalam Majma’ al-Zawaid (2/ 105). Beliau (al-Haitsami) berkata, “Hadis ini diriwayatkan secara marfuk dan maukuf dari perkataan Abu al-Darda dan riwayat maukuf sahih. Adapun riwayat marfuk terdapat beberapa rawi yang aku belum dapatkan biografinya.” Riwayat marfuk juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibban (5/ 67-68).

(5) Fathu al-Bari (4/ 196).

(6) Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (4/ 226), Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/ 199) mengatakan, “Isnadnya sahih.”

(7) H.R. Tirmidzi (no. 3598), Ibnu Majah (no. 1752) dan hadis ini memiliki beberapa syawahid (bukti penguat) di antaranya dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash radhiyallahu anhuma.

(8) H.R. Ibnu Majah (no. 1753), al-Hakim (1/ 422) dan Ibnu al-Sunni (no. 481). Al-Bushiri berkata, “Sanad hadis ini sahih.” Lihat: Mishbah al-Zujajah (hal. 254). Hukum hadis ini sebagai sahih perlu dikaji. Al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib (2/ 89) menyatakannya sebagai hadis lemah. Hadis-hadis terkait masalah ini semua ada perbincangan pada sanadnya, akan tetapi dengan banyaknya jalur periwayatan maka boleh jadi derajat hadisnya bisa terangkat, apatah lagi keberadaan beberapa atsar dari salaf yang menguatkannya. Lihat: Tafsir Ibn Katsir (2/ 66-67), Tanbih al-Qari’ karya Syekh Abdullah al-Duwaiys (hal. 78 dan 79) dan Zawaid al-Sunan al-Arba’ah ala al-Shahihain fi al-Shiyam (1/ 239).

(9) H.R. Abu Daud (no. 2357), al-Baihaqi (4/ 239), al-Hakim (1/ 422), Ibnu al-Sunni (no. 478) dan al-Daraquthni (2/ 185), beliau berkata, “Husain bin Waqid bersendiri dalam meriwayatkan hadis ini dan sanadnya hasan.” Husain adalah seorang yang tsiqah namun memiliki beberapa kekeliruan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Taqrib.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments