Pertanyaan:
Apakah ada hadis tentang seorang wanita yang diazab di akhirat karena dia memelihara hewan (kucing) lalu dia lalai dari binatang tersebut hingga binatang itu mati?
(Eki di Kendari, Sulawesi Tenggara)
Jawaban:
Hadis tentang seorang wanita yang diazab di akhirat karena dia mengabaikan hewan peliharaannya, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H) pada Bab “Keutamaan Memberi Minum” dan Imam Muslim (w. 261 H) pada Bab “Keharaman Membunuh Kucing”.
Berikut ini kami tuliskan hadis tersebut dengan beberapa faidah yang dapat diambil darinya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لاَ هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلاَ هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ. متفق عليه
Artinya:
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seorang wanita yang diazab karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati, wanita itu masuk neraka karenanya. Kucing itu tidak diberinya makan, tidak diberinya minum, tidak pula dilepaskannya hingga dia bisa memakan hewan yang ada di tanah.” (H.R. al-Bukhari, No. 3482 dan Muslim, No. 2242)
Dalam hadis ini banyak faidah yang dapat diambil, di antaranya adalah:
- Hadis ini menjelaskan bolehnya memelihara hewan dengan syarat selalu memperhatikannya dan tidak mengabaikannya. Hukum memelihara hewan adalah boleh, baik itu dengan cara melepaskannya berkeliaran dalam pengawasan pemelihara maupun dengan cara mengurungnya dalam sangkar/kandang atau mengikatnya dengan rantai/tali. Dalil yang menunjukkan bolehnya memelihara hewan, cukup banyak, seperti unta atau kuda yang dipelihara oleh para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang digunakan saat perang atau mereka sembelih saat dibutuhkan. Demikian pula yang diriwayatkan tentang hewan peliharaan Nabi ﷺ. Beliau memiliki unta yang diberi nama qaswa’, seekor keledai yang diberi nama ya’fur, juga seekor bagal yang diberi nama syahba’.(1) Ada juga dalil yang sering dijadikan sebagai argumen bolehnya memelihara hewan, yaitu kisah adik Anas bin Malik rahiyallahu ‘anhu, yang ber-kuniyah Abu Umair, dia memelihara seekor burung yang diberi nama nughair, sebagaimana berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ قَالَ: أَحْسِبُهُ فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ. متفق عليه
Artinya:
Anas bin Malik meriwayatkan, “Nabi ﷺ adalah manusia yang paling baik akhlaknya, aku (Anas) memiliki saudara laki-laki yang dikenal dengan kuniyah Abu Umair, pada saat itu aku memperkirakan dia masih dalam usia menyusui. Apabila Rasulullah ﷺ datang, biasanya beliau bergurau dengannya sambil berkata, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan nughair?’.” (H.R. al-Bukhari, Bab “Bolehnya Anak Kecil Ber-kuniyah”, No. 6203, dan H.R. Muslim, Bab “Bolehnya Bergurau”, No. 3720)
- Hadis ini menunjukkan bahwa memelihara hewan menjadi terlarang/haram karena sebab-sebab tertentu, di antaranya yaitu:
a. Ada unsur penyiksaan atau kezaliman terhadap hewan dalam masa pemeliharaan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis di atas tentang wanita yang disiksa di dalam neraka karena mengurung hewan peliharaannya lalu mengabaikannya tanpa memberi makan dan minum atau melepaskannya agar bisa mencari makan sendiri. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kucing itu diikat dengan keras, tidak diberi makan dan minum hingga mati kelaparan(2) Hukum memelihara hewan, asalnya adalah boleh, namun hukumnya menjadi haram jika ada unsur penyiksaan dan kezaliman dalam masa pemeliharaan tersebut.
b. Memelihara hewan yang najis hissi (najis secara zatnya) seperti babi dan anjing adalah haram. Dalam satu kaidah fikih dikatakan,
لاَ يَجُوْزُ الاِنْتِفَاعُ باِلنّجِسِ مُطْلَقاً
“Memanfaatkan sesuatu yang najis hukumnya terlarang secara mutlak.”(3)
Kaidah fikih ini berlaku secara umum, namun dikecualikan jika terdapat nash syar’i yang membolehkannya, seperti bolehnya memelihara anjing penjaga ladang/hewan ternak, atau anjing berburu. Sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah ayat 4 dan juga dalam sabda Nabi ﷺ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا يَنْقُصْ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ إِلاّ كَلْبَ حَرْثٍ، أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ
Artinya:
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa memelihara anjing, akan berkurang pahalanya setiap hari satu qirat (satu qirat sama dengan satu gunuh Uhud, pen.), kecuali anjing penjaga ladang atau penjaga hewan ternak.” (H.R. Bukhari No. 3324, Muslim, No. 1574)
c. Memelihara hewan menjadi terlarang jika hewan yang dipelihara adalah hewan yang berbahaya bagi manusia. Misalnya singa, harimau, buaya dan semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya:
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bahaya bagi orang lain.” (H.R. Ibn Majah 2340 dan Ahmad, No. 22778)
d. Memelihara hewan menjadi terlarang jika hewan yang dipelihara dijadikan sebagai sarana untuk perbuatan yang haram. Misalnya memelihara ayam jantan (jago) yang akan digunakan untuk sabung ayam (perjudian). Dalam kaidah fikih disebutkan,
مَا أَفْضَى إِلَى الْحَرَامِ كَانَ حَرَاماً
“Segala sarana menuju yang haram, hukumnya haram.”(4)
- Berbicara tentang kucing, ada pertanyaan yang kadang berkembang di tengah kaum muslimin, yaitu bolehkah jual beli kucing? Perlu dipahami bahwa dalam hadis-hadis yang menjelaskan tentang kucing, ada dua lafal yang digunakan, yaitu هِرَّةٌ(hirrah) dan سِنَّوْرٌ (sinnaur). Hirrah adalah kucing jinak yang hidup di tengah-tengah manusia. Meskipun dia bertaring dan bercakar, tetapi syariat memberikan rukhshah (keringanan hukum) dalam hal kesucian liurnya.(5) Sinnaur adalah kucing hutan yang buas yang memangsa hewan lainnya.(6) Dalam syariat, kucing ini diharamkan untuk diperjualbelikan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ
Artinya:
Abu Zubair berkata, “Aku bertanya kepada Jabir bin Abdillah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing hutan yang buas), dia menjawab, ‘Nabi ﷺ melarang hal itu’.” (H.R. Muslim, No. 1569)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jual beli kucing jinak (bukan kucing buas) hukumnya boleh. Ibnu Rusyd (w. 595 H) menjelaskan bahwa mazhab Maliki berpandangan bahwa hewan yang diizinkan untuk dipelihara, boleh diperjualbelikan. Beliau juga menjelaskan bahwa mayoritas ulama membolehkan hal tersebut.(7)
Footnote:
(1) Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq al-Shan’ani, Bab “Nama Pedang Rasulullah ﷺ”, No. 9661.
(2) Lihat: Shahih Muslim, Bab “Keharaman Menyiksa Kucing dan Semisalnya”, No. 2242.
(3) Lihat: Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyah, kaidah ke 101, hal. 8/978.
(4) Lihat: Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyah, kaidah ke 22, hal. 9/42.
(5) Lihat: Sunan Abi Dawud, No. 75, Sunan al-Tirmizi, No. 92, Sunan al-Nasa’i, No. 68 dan Musnad Ahmad, No. 22636
(6) Lihat: al-Nihayah fi Gharib al-Hadis, 5/258.
(7) Lihat: Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, 3/146,147.