Daftar Isi:
Keempat: Hadisnya Tidak Syadz
Syaadz secara bahasa bermakna al-infiraad atau al-fard, yang berarti menyendiri, atau menyelisihi pandangan mayoritas. Dalam teori dan praktiknya, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis syadz dan hadis munkar. Bagi mereka, hadis syadz dan hadis munkar adalah sama. Bila dalam suatu hadis ada cacat dari jenis syadz atau munkar ini maka hadis itu mustahil bisa dinyatakan sahih, bahkan tidak bisa menguatkan atau dikuatkan oleh hadis lain untuk menjadi hadis hasan ligairihi.
Hadis syadz atau hadis munkar ini terbagi dalam tiga jenis. Masing-masing jenis ini boleh dikatakan syadz atau munkar; yaitu:
Jenis Pertama:
مُخَالَفَةُ الرَّاوِي (سَوَاءٌ كَانَ ثِقَةً أَوْ ضَعِيْفًا) لِمَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ
(Penyelisihan riwayat seorang perawi, baik ia tsiqah maupun dha’if, terhadap perawi yang lebih tsiqah dari dirinya).
Jenis Kedua:
مُخَالَفَةُ الرَّاوِي (سَوَاءٌ كَانَ ثِقَةً أَوْ ضَعِيْفًا) لِأَكْثَرِ عَدَدًا مِنْهُ
(Penyelisihan riwayat seorang perawi, baik ia tsiqah atau dha’if, terhadap riwayat para perawi yang lebih banyak jumlahnya dari dirinya).
Jenis Ketiga:
تَفَرُّدُ الرَّاوِي الَّذِيْ لَا يُحْتَمَلُ تَفَرُّدُهُ (سَوَاءٌ كَانَ ثِقَةً أَوْ ضَعِيْفًا) وَلَوْ لَمْ تَقَعِ الْمُخَالَفَةُ
(Bersendirinya seorang perawi -yang tidak bisa diterima riwayatnya- bila menyendiri dalam menyampaikan suatu riwayat, baik ia tsiqah atau dha’if, meskipun ia tidak menyelisihi rawi-rawi lainnya).
Itulah tiga jenis hadis syadz atau munkar dalam ucapan para ulama klasik rahimahumullah. Ketiga jenis ini merupakan jenis hadis dha’if jiddan atau lemah sekali, tidak bisa menguatkan hadis lain dan tidak bisa dikuatkan.
Catatan:
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah membedakan antara definisi hadis syadz dan hadis munkar dengan menyatakan bahwa:
- Hadis syadz adalah penyelisihan riwayat seorang perawi tsiqah terhadap riwayat para perawi yang lebih tsiqah atau lebih banyak jumlahnya dari dirinya.
- Hadis munkar adalah penyelisihan riwayat seorang perawi dha’if terhadap riwayat para rawi yang lebih tsiqah atau lebih banyak jumlahnya dari dirinya.
Namun definisi Ibnu Hajar di atas tidak sesuai dengan praktik dan definisi yang dipopulerkan oleh para ulama hadis sebelum beliau, sehingga yang lebih utama bagi kita ialah tetap terikat dengan definisi para ulama sebelum beliau.
Demikian, sengaja tidak diberikan contoh hadis-hadis dari jenis syadz atau munkar ini, karena dalam jenis-jenis hadis dha’if akan dijelaskan makna syadz ini secara lebih detail beserta contohnya, insyaAllah. Yang penting dalam bahasan ini bisa dipahami bahwa bila suatu hadis berstatus syadz atau munkar, maka hadis tersebut dha’if jiddan, tidak bisa dijadikan hujah, serta tidak bisa dikuatkan oleh hadis lain, dan tidak pula bisa menguatkan hadis lain.Wallahu a’lam.
Kelima: Tidak Memiliki ‘Illah (Cacat yang Samar)
Syarat hadis shahih kelima adalah hadis tersebut tidak memiliki ‘illah (cacat yang samar). ‘Illah dalam ilmu hadis didefinisikan sebagai:
سَبَبٌ خَفِيٍّ يَقْدَحُ فِيْ صِحَّةِ الْحَدِيْثِ مَعَ أَنَّ ظَاهِرَهُ السَّلَامَةُ مِنْهَا
(Faktor samar yang membuat kesahihan suatu hadis menjadi cacat, padahal secara yang tampak hadis tersebut terbebaskan dari cacat tersebut).
Dari sini kita bisa membagi bahwa faktor dha’if-nya suatu hadis itu ada dua jenis:
- Faktor yang tampak jelas. Misalnya, dha’if-nya salah satu perawi, atau terputusnya sanad hadis secara jelas. Ini adalah faktor yang jelas karena bisa diketahui dengan sekadar merujuk pada buku-buku al-Jarh wa at-Ta’dil
- Faktor yang samar atau ‘illah khafiyyah. Nah, faktor kedua inilah yang dimaksudkan dalam syarat hadis kelima ini. Boleh jadi semua perawi hadisnya tsiqah, dan sanadnya muttashil, sehingga banyak pengkaji langsung mensahihkan hadis tersebut, namun ternyata ada ‘illah khafiyyah atau cacat yang samar yang terdapat dalam hadis tersebut yang memang tidak bisa diketahui kecuali oleh para peneliti hadis yang paham tentang ilmu ‘illah atau bahasan cacat hadis yang samar ini.
‘Illah khafiyyah atau cacat yang samar ini tidak ada dalam hadis-hadis perawi yang dha’if, karena hadis yang perawinya ada yang dha’if langsung diketahui sisi cacatnya secara jelas. Tapi, ‘illah ini biasanya terdapat dalam hadis para perawi yang tsiqah, atau ia berupa kesalahan para perawi tsiqah dalam meriwayatkan hadis.
Persoalan ‘illah ini akan dibahas secara lebih detail beserta jenis dan contoh-contohnya dalam bahasan hadis Mu’allal, insyaAllah. Yang terpenting di sini bisa dipahami bahwa persoalan ‘illah ini adalah cacat yang samar pada hadis dan bila cacat yang samar ini didapatkan dalam suatu hadis, maka hadis tersebut akan dinilai dha’if jiddan meskipun syarat-syarat hadis sahih yang empat lainnya sudah terpenuhi secara sempurna.