Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عن عُبَادَةَ بْنْ الصَّامِتِ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَ النَّاسَ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، وَإِنَّهَا رُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mengabarkan waktu lailatulqadar kepada orang-orang, kemudian terdapat dua orang dari kalangan muslimin yang saling berselisih. Lantas Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya aku keluar hendak mengabarkan (kapan) lailatulqadar kepada kalian, namun aku mendapati perselisihan antara Fulan dan Fulan sehingga ilmu tentang laitatulqadar diangkat kembali, bisa jadi hal itu adalah lebih baik buat kalian, maka carilah lailatulqadar pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima’.”
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dalam kitabnya, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, kitab al-Adab, Bab “Mencela dan Melaknat yang Dilarang”, nomor 6049.
BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADIS:
‘Ubādah bin al-Ṣāmit bin Qais al-Anṣārī al-Khazrajī, kuniyah-nya yaitu Abū al-Walīd, adalah termasuk di antara sahabat yang awal-awal masuk Islam. Beliau ikut bai’ah al-‘aqabah pertama dan kedua bersama Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya. Beliau juga termasuk yang mengumpulkan Al-Qur’an di zaman Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. ‘Ubādah adalah seorang yang kuat, pemberani, dan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Beliau wafat di al-Ramlah dan versi lain mengatakan di Bait al-Maqdis, dalam usia 72 tahun(1).
FAEDAH DAN KESIMPULAN:
- Keutamaan lailatulqadar.
- Waktu tentang kapan terjadinya lailatulqadar pernah diketahui oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam namun akhirnya terangkat dan beliau dilupakan.
- Semangat dan antusias Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan kebenaran dan ilmu kepada umatnya.
- Tercelanya pertengkaran yang terjadi di antara kaum muslimin.
- Sebagian ulama menyebutkan bahwa dua sahabat yang bertengkar ini adalah ‘Abdullāh bin Abī Hadrad dan Ka’ab bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhumā. Hal itu terjadi karena Ka’ab bin Mālik berutang kepada ‘Abdullāh bin Abī Hadrad raḍiyallāhu ‘anhumā(2).
- Ilmu dan berkah dari sesuatu kadang hilang dan terangkat disebabkan pertengkaran dan retaknya ukhuwah di antara kaum muslimin.
- Dampak buruk dari kemaksiatan yang dilakukan oleh sebagian orang, terkadang meluas dan dirasakan oleh seluruh kaum muslimin.
- Musibah kadang membawa hikmah dan kebaikan bagi kita.
- Hikmah dirahasiakannya waktu lailatulqadar secara pasti dan tetap adalah agar kaum muslimin senantiasa berlomba-lomba dan memaksimalkan ibadahnya di semua malam Ramadan utamanya pada sepuluh malam terakhir.
- Lailatulqadar terjadi di malam-malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadan.
- Makna “sembilan, tujuh dan lima” diartikan oleh sebagian ulama, yaitu di malam dua puluh sembilan, dua puluh tujuh dan dua puluh lima. Ulama lain mengartikannya sebagai sembilan malam yang tersisa dari Ramadan, tujuh malam yang tersisa dan lima malam yang tersisa. Atas dasar tafsiran kedua ini maka ada kemungkinan lailatulqadar terjadi di malam genap ketika jumlah bilangan Ramadan cuma 29 hari, wallāhu a’lam(3).
- Pendapat yang rajih tentang lailatulqadar adalah waktunya tidak tetap dan berubah dalam setiap tahunnya. Waktu lailatulqadar yang akan disampaikan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah waktu lailatulqadar di tahun tersebut dan tidak berarti bahwa waktu tersebut berlaku sepanjang tahun, wallāhu a’lam(4).
Footnote:
(1) Lihat: Ma’rifah al-Ṣaḥābah karya Abu Nu’aim (4/1919), al-Isti’āb fī Ma’rifah al-Asḥāb (2/807), Usdu al-Gābah (3/158), Siyār A’lam al-Nubalā’ (2/5) dan al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah (3/505).
(2) Lihat: Fatḥu al-Bārī karya Ibnu Hajar (4/268).
(3) Lihat: al-Muntaqa Syarḥu al-Muwaṭṭa’ karya al-Bājī (2/89), Ṭarhu al-Taṡrīb (4/156), Fatḥu al-Bārī karya Ibnu Hajar (4/268).
(4) Lihat: Fatḥu al-Bārī karya Ibnu Hajar (4/266).