وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sungguh akan Kami memberikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji’ūn’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Baqarah: 155-157)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ المُؤْمِنِ كَمَثَلِ الخَامَةِ مِنَ الزَّرْعِ، مِنْ حَيْثُ أَتَتْهَا الرِّيحُ كَفَأَتْهَا، فَإِذَا اعْتَدَلَتْ تَكَفَّأُ بِالْبَلاَءِ، وَالفَاجِرُ كَالأَرْزَةِ، صَمَّاءَ مُعْتَدِلَةً، حَتَّى يَقْصِمَهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Perumpamaan seorang mukmin seperti tanaman yang diterpa angin ke kanan dan ke kiri, senantiasa mengalami cobaan. Sedangkan permisalan orang munafik dan kafir seperti pohon aras yang tegak dan kokoh tak pernah digoyangkan angin hingga Allah membinasakannya jika Dia berkehendak’.”[1]
⁕⁕⁕
Bukan rahasia lagi bahwa sebuah ujian akan menjadi pilihan pertama untuk mengidentifikasi kemampuan seseorang dalam bidang apapun. Melalui ujian itu, seseorang akan menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Jika ada yang bertanya, ”Mengapa Allah menciptakan kehidupan dunia ini?” Jawabannya adalah sebagai tempat ujian.
Manusia adalah makhluk yang telah ditakdirkan oleh Allah menjadi khalifah dengan tanggung jawab pemurnian ibadah kepada-Nya, pemakmuran dan pendayagunaan segala sesuatu yang ada di dunia. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”[2]
Ujian tersebut bermacam-macam bentuknya, dan siapapun akan menerimanya sebagai bagian dari sunnatullāh. Namun hadis di atas memberikan pelajaran penting bahwa ujian yang datang dari Allah sangat bergantung pada keadaan setiap manusia. Keadaan mereka yang akan menjadi barometer jenis dan tingkat kesulitan ujian dari Allah Ta’ālā. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى قَدْرِ دِينِهِ، ذَاكَ فَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ
“Seseorang akan diuji berdasarkan keimanannya. Jika imannya kuat maka ia akan diuji sebatas kekuatan imannya, dan jika imannya lemah maka ia akan diuji pula sekadar imannya.”[3]
Pelajaran lainnya adalah bahwa seorang mukmin akan senantiasa dilanda ujian dan cobaan ibarat sebuah tanaman yang tak henti diterpa angin ke kanan dan ke kiri. Sebaliknya, seorang munafik atau kafir takkan mengalami hal yang sama. Namun sekali ia tertimpa bala bencana, hal itu dapat menjadi sebab kebinasaannya jika Allah berkehendak.
Ujian yang terus melanda seorang mukmin sejatinya adalah bagian dari bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Hanya saja, Dia tak menyingkap tabir hikmah cobaan-cobaan tersebut, tetapi untuk melihat siapa di antara mereka yang memilih untuk bersabar dengannya. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً، فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
“Tak ada sesuatupun yang menimpa seorang mukmin sampai duri yang menusuknya melainkan Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala atau menghapuskan dosanya.”[4]
Bahkan dalam lanjutan hadis riwayat Ahmad sebelumnya disebutkan, “Dan seorang hamba senantiasa tertimpa musibah dan cobaan sampai ia berjalan di muka bumi tanpa menanggung satupun dosa kepada-Nya”.
Lebih dari itu, kebaikan mana lagi yang lebih mulia dibandingkan berdiri di hadapan pintu rahmat Allah memohon karunia dan belas kasih-Nya? Menampakkan penghambaan yang totalitas dan rasa butuh kita terhadap pertolongan-Nya, menundukkan seluruh ego dan kecongkakan serta menyobek semua topeng keduniaan yang selama ini dikenakan, bahwa sejujurnya kita adalah makhluk yang hina lemah tak berdaya kekuatan. Sedangkan Dia Allah satu-satunya Zat yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Maha Kaya yang tak membutuhkan apapun, Maha Kuat yang berkuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak atas apapun. Allah berfirman,
الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ. وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ. وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ. وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ
“Dialah Allah yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi hidayah kepadaku. Dan Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit maka Dialah yang menyembuhkanku, dan yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali.”[5]
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya apabila Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata, ‘Jadilah, maka terjadilah ia’.”[6]
Footnote:
[1] H.R. Bukhari nomor 5644 dan Muslim nomor 2809.
[2] Q.S. al-Balad ayat 4.
[3] H.R. Ahmad nomor 1555 dengan sanad yang hasan.
[4] H.R. Muslim nomor 2572.
[5] Q.S. al-Syu’ara ayat 78-81.
[6] Q.S. Yasin ayat 82.