أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ، قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ هم وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Para malaikat Allah meletakkan sayap-sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu, seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang berada di kedalaman lautan, seluruhnya memintakan ampun bagi penuntut ilmu. Dan sesungguhnya perumpamaan keutamaan seorang alim dengan ahli ibadah ibarat keutamaan bulan purnama dengan bintang-bintang di langit. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan setiap nabi tidak mewariskan dinar dan dirham melainkan ilmu pengetahuan, siapa yang mengambil ilmu itu maka dia telah mengambil bagian yang banyak.[1]
⁕⁕⁕
Adalah dusta jika seseorang mengatakan bahwa dia tak memiliki pilihan lain dalam hidupnya, karena sesungguhnya hidup ini adalah pilihan. Memilih antara apa yang baik atau buruk, memilih antara apa yang benar atau salah. Terkadang memang seseorang dihadapkan pada sebuah masalah yang seakan-akan tidak ada pilihan kedua kecuali semakin memperumit keadaannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa jauh sebelum masalah itu muncul maka ia sejatinya telah dihadapkan pada dua pilihan, sehingga masalah yang mengkungkung dirinya tidak lain adalah imbas dari pilihan yang telah ia ambil sebelumnya, maka ketahuilah risikonya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hal tersebut di dalam firman-Nya,
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا. إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah air kafur. Yaitu mata air dalam surga yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.”[2]
Pilihan yang Allah sebutkan dalam ayat di atas adalah sepenting-pentingnya urusan dalam kehidupan seseorang. Ialah pilihan untuk syukur atau kufur, iman atau inkar, percaya atau mendustakan. Masing-masing pilihan telah Allah sediakan tempat dan balasannya kelak di akhirat. Syukur, iman, dan percaya akan dibalas dengan kenikmatan yang sempurna dan kekal, sedangkan kufur, ingkar, dan pendustaan akan dibalas dengan azab yang pedih dan kekal selamanya.
Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis Abu Darda di atas hendak menjelaskan satu di antara pilihan hidup yang akan mengantar seseorang menuju surga Allah subhanahu wa ta’ala, ialah jalan menuntut ilmu. Ia bukanlah jalan yang mudah, bukan pula jalan yang disukai kebanyakan orang, karena itu Allah telah menyiapkan kemuliaan yang sangat tinggi bagi mereka para penuntut ilmu.
Penuntut ilmu sejatinya tengah berjalan di atas rel perjalanan menuju surga, meskipun berat, hal itulah yang menjadikan para malaikat memuliakannya. Al-Khatthabi rahimahullah mengatakan bahwa diletakkannya sayap para malaikat bermakna sikap tawaduk mereka sebagai bentuk pemuliaan atas hak dan pengagungan terhadap ilmu yang dimiliki penuntut ilmu, atau bermakna para malaikat berhenti terbang dan turun untuk ikut menghadiri majelis ilmu -dan ada pendapat lainnya-.[3] Beliau juga menjelaskan bahwa permohonan ampunan untuk penuntut ilmu dari para makhluk Allah hingga ikan yang berada di kedalaman lautan disebabkan karena melalui lisan para ulama maka seluruh makhluk mengambil manfaat dan hikmah darinya berupa penjelasan tentang hewan dan tumbuhan yang halal atau haram untuk dikonsumsi, anjuran untuk menjaga mereka, dan maslahat yang lainnya. Karena itu Allah mengilhamkan istigfar bagi makhluk-Nya untuk memohonkan ampunan kepada para ulama.[4]
Di dalam hadis ini pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan yang agung bagi penuntut ilmu dengan seorang ahli ibadah, bahwa antara keutamaan mereka berdua ibarat bulan purnama yang sempurna dengan bintang-bintang yang ada di langit. Mengapa? Sebab, seorang alim dapat memberikan manfaat ilmunya kepada hamba-hamba Allah lainnya, sedangkan ahli ibadah tak dapat melakukan hal yang sama, sebagaimana bulan yang dapat menerangi malam yang gelap gulita, sedangkan bintang tidak demikian adanya. Pelajaran lainnya dari permisalan ini adalah jika seseorang memandang ke langit di malam bulan purnama, maka hampir-hampir keindahan bulan menutupi kerlap-kerlip bintang yang ada di sekitarnya. Demikian pula seorang alim yang mengajarkan ilmunya di tengah-tengah banyaknya ahli ibadah kepada Allah.
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang keadaan dua orang, salah satunya adalah ahli ibadah dan yang lain adalah seorang alim, maka beliau bersabda,
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ.
“Perumpamaan keutamaan seorang alim dengan ahli ibadah ibarat keutamaanku atas kalian.”[5]
Maka siapakah diantara kita yang hendak memilih keutamaan yang sangat agung tersebut? Meniti perjalanan di atas jalan surga sebagai para pewaris Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Footnote:
[1] HR. Abu Dawud nomor 3641 dan Ibnu Majah nomor 223, disahihkan Syekh al-Albani dalam Shahih Jami’ Shagir nomor 6297.
[2] QS. Al-Insan ayat 2-6.
[3] Ma’alim Sunan 4/183.
[4] Ma’alim Sunan 4/183.
[5] HR. At-Tirmidzi nomor 2685, disahihkan Syekh al-Albani dalam Shahih Jami’ Shagir nomor 4213.