Daftar Isi:
Pertanyaan:
Jika seorang anak yang belum balig mencuri uang temannya dan tidak mengembalikan uang tersebut hingga ia meninggal dunia, apakah perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat nanti? (Amelia Putri Vionillah- Jawa Timur)
Jawaban:
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه، ورواه البخاري معلقا.
Artinya: Dari Ali radhiyallahu ‘anhu Rasulullah ﷺ bersabda, “Pena diangkat (tidak tercatat dosa) dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi (balig), dari orang gila hingga ia berakal.” (HR. Abu Daud, Tirmizī, Ibnu Majah, dan Al-Bukhari meriwayatknnya secara mu’allaq)
Syekh Muhammad Syamsu al-Haq ‘Azīm Abadī menjelaskan makna kalimat shabi (anak kecil) dalam kitab ‘Aunu al-Mabūd, bahwa fase perkembangan anak dalam istilah bahasa Arab sebagai berikut: jika anak masih dalam kandungan maka ia disebut janīn, apabila sudah lahir ia disebut shabi, kalau selesai dari masa susuan ia disebut ghulām, jika berumur tujuh tahun ia disebut yāfi’, antara umur sepuluh hingga lima belas tahun ia disebut hazwar.[1]
Selanjutnya, Syaikh ‘Azīm Abadī mengutip penjelasan Imam al-Suyūthī bahwa pada intinya selama seorang anak belum mencapai umur balig maka ia bisa disebut sebagai shabi.
Dalam hukum Islam, perlakuan hukum terhadap pelanggaran syar’i yang dilakukan oleh shabi (anak yang belum balig) berbeda dengan orang yang sudah balig (mukallaf). Salah satu dalil yang menegaskan hal itu adalah hadis di atas.
Maksud pena diangkat dari orang tidur, anak kecil dan orang gila, pada hadis di atas adalah tidak dituliskan bagi mereka dosa atas pelanggaran yang mereka lakukan.[1] Hal itu disebabkan karena tindakan pelanggarannya terjadi dengan tidak disadari oleh akal sehat, sedangkan akal merupakan salah satu syarat seseorang dinyatakan sebagai mukallaf.
Dalam kasus pencurian, jika pelakunya adalah orang yang mukallaf (balig dan berakal), maka hukumnya ada dua:
Pertama: ia menanggung dosa atas tindakan pencuriannya,
Kedua: ia wajib mengembalikan/ganti rugi atas harta curiannya kepada pemiliknya/ahli warisnya.
Adapun jika pelaku pencurian itu adalah anak kecil yang belum balig maka hukumnya hanya satu, yaitu: ia wajib mengembalikan/ganti rugi atas harta curiannya kepada pemiliknya/ahli warisnya. Alasannya karena pencurian masuk dalam kategori itlāf (merampas, merusak, menghancurkan).
Hukum ini disebutkan oleh Imam Ibnu al-Munzir dalam karyanya al-Ijmā’, lalu dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam karyanya al-Majmū’ Syarhu al-Muhazab, dan Ibnu Qudamah dalam karyanya al-Mughnī:
وَأَجْمَعُوْا أَنَّ جِنَايَاتِ الصِّبْيَانِ لاَزِمَهٌ فِي أَمْوَالِهِمْ
Maknanya: Menjadi kesepakatan para ulama bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh anak kecil wajib baginya (mengembalikan/ganti rugi) dari harta-harta mereka.[2]
Terlepas dari pembahasan hukum anak melakukan tindakan pencurian, perlu kiranya untuk diingatkan bagi orang tua agar selalu memberikan teladan, pendidikan, contoh kebaikan bagi anak-anaknya walaupun masih balita, karena mereka terlahir dalam kesucian, bagaikan kertas putih tanpa goresan dosa.
Baik buruknya tindakan yang mereka lakukan, tergantung pada pengaruh lingkungan di mana mereka berada, dan lingkungan pertama mereka adalah keluarga. Goresan kebaikan yang diukir oleh orang tua, akan menjadi cahaya dalam hidup anaknya, sebaliknya goresan keburukan yang ia dapatkan dari orang tua akan meracuni alam pikirnya sehingga menjadi kebiasaan dalam hidupnya.
Wallahu a’lam
Footnote:
[1] Aunu al-Ma’būd syarah Sunan Abi Daud (cet. 2, Daru al-Kutub Ilmiah, Bairut, 1415 H) h. 12, jilid 48
[2] Al-Ijma’ li Ibni al-Munzir, Cet. 1, Dār al-Muslim, h. 60, al-Majmū Syarhu al-Muhazab, Cet. Dār al-Fikr, 7/39, al-Mughnī, Cet. Maktabah al-Qahirah, 3/243