Daftar Isi:
Definisi Hadis Sahih
هو المسند المتصل إسناده، بنقل العدل الضابط، عن العدل الضابط، إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة
Hadis sahih merupakan hadis musnad, sanadnya bersambung, berdasarkan dari penukilan seorang periwayat yang adil dan ḍābiṭ yang juga diriwayatkan dari periwayat lain yang adil dan ḍābiṭ hingga akhir sanad, tanpa adanya kejanggalan dan kecacatan.[1]
Sebagai bentuk penyederhanaan untuk para penuntut ilmu, dapat dikatakan bahwa hadis sahih ialah hadis yang terhimpun padanya syarat-syarat berikut:
- hadis yang musnad;
- sanadnya bersambung;
- para periwayatnya merupakan bagian dari orang-orang yang adil dan ḍābiṭ;
- tidak janggal;
- tidak cacat;
Penjelasan Makna
“Ia adalah hadis yang musnad” bermakna bahwa hadis tersebut dinisbatkan kepada Nabi ṣalllallāhu ‘alayhi wa sallam yang disertai dengan sanad. Adapun sanad, maka defenisinya telah dibahas sebelumnya.
“Sanadnya bersambung” bermakna bahwa setiap periwayat yang terdapat dalam jalur periwayatan benar-benar telah mendengar hadis tersebut dari gurunya.
“Para periwayatnya merupakan bagian dari orang-orang yang adil dan ḍābiṭ” bermakna bahwa setiap periwayat yang terdapat dalam jalur periwayatannya adalah orang yang adil dan ḍābiṭ.
Kemudian, apakah makna dari kata “al-‘adalah” dan “al-ḍābiṭ”?
Al-‘adalah merupakan sifat yang senantiasa menuntun seseorang agar selalu memegang teguh sifat takwa dan muruah (kewibaannya), serta menjauhi perbuatan buruk, baik berupa syirik, kefasikan maupun bidah.[2]
Al-ḍabṭ (ketelitian) yaitu kondisi ketika seorang periwayat menghafal sebuah hadis dari gurunya dan memahaminya dengan baik, lalu menyampaikan riwayat dari gurunya tersebut kepada orang lain, sama persis dengan apa yang diperdengarkan oleh gurunya kepadanya.
Al-ḍabṭ terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama, ḍabṭ al-ṣadr, yaitu ketika seorang periwayat mampu mengikat apa yang telah didengar (menghafal dan memahaminya dengan sempurna) yang tercermin dari kemampuannya menghadirkan kembali dengan sangat sempurna, apa yang telah didengarkan dari gurunya.[3]
Kedua, ḍabṭ al-kitab, yaitu penjagaannya terhadap buku yang dipakai menuliskan hadis-hadis dan khabar-khabar dari seorang gurunya atau sekelompok gurunya dari kesalahan dengan cara mengkomparasikan bukunya dengan buku milik guru yang diambil hadis darinya, atau dengan cara mencocokkannya dengan kitab hadis sahih yang muktamad, kemudian mampu menjaganya dari tangan-tangan yang ingin memasukkan hadis-hadisnya ke dalam buku selain miliknya.
“Tidak janggal atau syaż”, syaż secara etimologi bermakna ‘yang menyendiri’. Sedangkan secara terminologi berarti hadis yang perawinya menyelisihi periwayat lain yang lebih ṡiqah dan yang memiliki keutamaan lebih dibanding dirinya. Akan ada pembahasan lebih detail tentang syaż, insyaAllah ta’ālā.
“Tidak cacat” bermakna bahwa dalam hadis tidak terdapat cacat samar yang dapat merusak kesahihan hadis. Akan pada pembahasan lebih rinci tentang masalah kecacatan ini, insyaAllah ta’ālā.
Contoh Hadis Sahih:
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī di dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya (jilid 4, hal. 18), pada kitab Al-Jihād wa al-Sayr, Bab “Mā Ya’ūżu min al-Jubn”,
قال : حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata, ‘Aku mendengar ayahku berkata’, ‘Aku mendengar Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata’, ‘Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam berdoa’, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunanan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari azab di neraka’.”
Hadis ini telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, yaitu:
- Sanadnya bersambung hingga ke Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam;
- Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhir sanad
Anas bin Malik adalah seorang sahabat, telah mendengarkan hadis dari Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam. Sulaiman bin Ṭarkhan, ayah Mu’tamir, telah menyatakan menerima hadis dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru Imam Bukhārī yang bernama Musaddad, menyatakan telah mendengar dari Mu’tamir, dan Imam Bukhārī juga menyatakan telah mendengar hadis ini dari guru beliau.
- Telah terpenuhi syarat al-‘adalah dan al-ḍabṭ pada para periwayat di dalam sanad, mulai dari sahabat, yaitu Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu hingga orang yang mengeluarkan hadis tersebut, yakni Imam Bukhārī raḥimahullāh. Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu termasuk salah seorang sahabat Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dan semua shahabat dinilai memiliki sifat al-‘adalah;
- Sulaiman bin Ṭarkhan, ayah Mu’tamir, adalah ṡiqah dan ahli ibadah;
- Anak dari Sulaiman, Mu’tamir, adalah seorang yang ṡiqah;
- Musaddad bin Musarhad adalah seorang yang ṡiqah dan ḥāfiẓ;
- Imam Bukhari yang menulis kitab al-Ṣaḥīḥ adalah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, dinilai sebagai jabal al-ḥifẓ (gunungnya hafalan), yaitu ungkapan yang menunjukkan kekuatan hafalannya, dan amīrul mukminīn fi al-ḥadīṡ (penghulu dari para ahli hadis).
- Hadis ini tidak janggal atau syaż; dan
- Hadis ini tidak cacat.
Oleh karena itu, hadis ini telah menghimpun dengan sempurna syarat-syarat sahnya hadis sehingga pantaslah jika Imam Bukhārī meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Ṣaḥīḥ miliknya.
Footnote:
[1] Muqaddimah Ibn Ṣalāh. Hal. 11.
[2] Nuzhah al-Naẓr. Hal. 51 (Berdasarkan syarah karya Syekh Amru Abdul Mun’īm).
[3] Ibid, dengan sedikit perubahan.