‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata, “Aku masih memiliki qada (utang) puasa Ramadan, tetapi aku belum mampu membayarnya kecuali jika tiba Bulan Syakban.” Muttafaqun ‘alaihi.[1]
Hadis di atas menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berpuasa pada Bulan Ramadan dikarenakan uzur maka wajib baginya untuk mengqada puasanya (pent: mengganti), akan tetapi (qada puasa) tidak mesti dilakukan dengan segera, melainkan waktu untuk mengqadanya fleksibel. Sehingga, boleh bagi seseorang yang memiliki utang puasa untuk menundanya hingga Bulan Syakban, sebagaimana yang dilakukan ‘Aisyah radiallahu ‘anha. Jika sekiranya penundaan qada tidak diperbolehkan maka tentu ‘Aisyah radiallahu ‘anha tidak melakukan dan merutinkannya, sebab apa yang beliau lakukan itu dilihat langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari perbuatannya.
Walaupun demikian, menyegerakan qada lebih utama daripada menundanya. Karena (yang dapat dipahami secara) zahir dari perbuatan ‘Aisyah itu adalah (bahwa beliau sebenarnya) lebih memprioritaskan penyegeraan (qada puasa), karena alasannya menunda adalah karena beliau tidak mampu (menyegerakannya), dan andai saja beliau mampu, maka beliau tidak akan menundanya hingga Syakban tiba.
Di samping itu, menyegerakan qada puasa Ramadan lebih cepat membebaskan diri dari tanggungan utang puasa (baraah zimmah), juga sebagai bentuk kehati-hatian dalam beragama, karena boleh jadi seseorang lupa utang puasanya, terlebih jika utang puasanya hanya beberapa hari saja.
Selain itu, menyegerakan qada puasa juga termasuk dalam keumuman dalil yang menganjurkan untuk bersegera dalam berbuat amal kebaikan. Allah berfirman,
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
Artinya: “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” Q.S. Ali Imran: 133
Juga firman-Nya:
اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ
Artinya: “Mereka itu bersegera dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” Q.S. al-Mukminun: 61
Dalam pelaksanaan qada, tidak wajib dilakukan secara berurutan melainkan boleh dilakukan secara terpisah (tidak berurut), sebagaimana firman Allah SWT:
- فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
Artinya: “Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” Q.S. al-Baqarah: 184
Juga sejalan dengan perkataan Ibnu Abbas, “Tidak mengapa untuk dipisah (yaitu qada puasa).”[2]
Akan tetapi, melaksanakan qada secara berurutan lebih utama sebagai bentuk penyegeraan dalam pelaksanaan kewajiban dan agar keluar dari ranah khilaf antara yang mewajibkan pelaksanaan qada secara berurutan. Selain itu, (dengan dilaksanakan secara berurutan) akan lebih terasa bersemangat daripada jika dilaksanakan secara terpisah, apakah lagi jika jumlah harinya terbilang banyak.
Juga perlu diketahui bahwa waktu untuk mengqada puasa adalah sepanjang tahun, sebagaimana keumuman ayat di atas, kecuali hari Idulfitri dan Iduladha serta hari-hari tasyrik, maka tidak diperbolehkan untuk mengqada pada hari-hari itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa tidak diperbolehkan menunda qada puasa hingga tiba Ramadan berikutnya, karena ‘Aisyah menjadikan Bulan Syakban sebagai batas untuk mengqada puasanya. Akan tetapi, jika ia terpaksa menundanya (disebabkan sakit yang berkesinambungan, atau safar dan uzur syari lainnya) hingga tiba Ramadan berikutnya, maka tak ada dosa baginya, karena Allah SWT berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” Q.S. al-Baqarah: 286
Sehingga ia dapat mengqada kembali puasanya selepas Ramadan berikutnya.
Namun, jika seseorang menunda qada puasanya disebabkan kelalaian dan tanpa uzur syar’i hingga tiba Ramadan berikutnya, maka baginya hanya segera mengqada puasanya selepas Ramadan yang kedua (di antara pendapat ulama), tanpa harus memberi makan, sebagaimana keumuman firman Allah,
فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
“(Wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” Q.S. al-Baqarah: 184
Di samping itu, wajib baginya untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kelalainnya.
Dalam permasalahan ini, beberapa sahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Abu Hurairah memfatwakan bahwa selain qada puasa ia juga harus memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ia tinggalkan pada Bulan Ramadan. Boleh jadi fatwa ini lahir dari ijtihad mereka untuk memberi efek jera bagi mereka yang lalai terhadap suatu kewajiban dengan mewajibkan mereka memberi makan.
Sebagaimana yang diriwayatkan al-Daruqtniy bahwa Abu Hurairah berkata (kepada seseorang yang menunda qada puasanya hingga Ramadan berikutnya), “Ia berpuasa bersama kaum muslimin, sebagaimana ia juga harus berpuasa di hari-hari yang ia tinggalkan serta ia memberi makan setiap harinya fakir miskin (sejumlah hari yang ia tinggalkan).”[3]
Dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas semakna dengan perkataan Abu Hurairah di atas.
Dengan demikian, berpegang dengan fatwa ini adalah sebuah sikap yang perlu dihormati -minimal jika ia meyakini dalam pengamalannya sebagai sesuatu yang sunah- karena ia termasuk dalam kategori menutupi kekurangan suatu amalan dengan bersedekah, dan sedekah adalah amalan yang dianjurkan. Wallahualam.
Footnote:
[1] HR.Bukhari: 1950 dan Muslim: 1146.
[2] Diriwayatkan Bukhari secara muallaq: 4/188, dan Abdu al-Razzaq secara maushul (4/243), begitupun Ibnu Abi Syaibah (3/ 33-34), dan al-Daruqutny (2/192), dan sanadnya sahih. Dalam perkara ini juga beberapa atsar sahabat yang menguatkannya.
[3] Sunan ad Daruqutni (2/197), beliau berkata, “Sanadnya sahih, sebagaimana atsar Ibnu Abbas sanadnya juga sahih (2/197).”