وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, akan tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.” (Q.S. Yunus: 13)
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ
Dari Sahl bin Sa’ad raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Berhati-hatilah dari dosa-dosa yang dianggap remeh karena permisalan dosa-dosa yang dianggap remeh itu ibarat suatu kafilah safar yang bermalam di sebuah lembah, setiap orang mengumpulkan sebuah kayu bakar hingga mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya jika ia dihisab’.”[1]
⁕⁕⁕
Menganggap remeh sesuatu dapat menjadi ibadah atau bencana. Seseorang yang menganggap remeh ibadahnya di hadapan Allah adalah salah satu jalan tazkiyah nafs guna menghindari penyakit ujub atau bangga terhadap amalan salihnya, sekaligus sebagai motivasi untuk semakin memperbaiki ibadah, baik terhadap kualitas maupun kuantitasnya. Namun jika tidak berhati-hati dalam menata kalbu, seseorang dapat terjatuh dalam sebuah dosa apabila ia menganggap remeh sebuah ibadah dengan meninggalkannya. Kedua hal ini mirip namun hakikatnya berbeda. Jauh lebih berbahaya dari itu, apabila ia menganggap remeh sebuah dosa sekecil apapun itu.
Benar bahwa Allah subḥānahu wa ta’ālā adalah Maha Kasih, Maha Penyayang dan Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”[2]
Akan tetapi, bukankah Allah juga yang telah menggambarkan dengan sangat jelas tentang penyesalan para pelaku dosa dan maksiat dalam firman-Nya,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya’, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun juga.”[3]
Oleh karenanya, Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memperingatkan kita untuk berhati-hati dari dosa-dosa yang dianggap remeh oleh sebagian besar manusia.
Apa itu dosa yang dianggap remeh oleh manusia?
Al-Munawi raḥimahullāh menjelaskan bahwa dosa yang dianggap remeh adalah dosa-dosa kecil yang terus dilakukan seseorang dan ia tak bertaubat darinya. Sedangkan dosa besar tak diberikan permisalan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam karena sedikitnya dari kalangan sahabat yang terjatuh di dalamnya.[4] Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا، هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan-amalan yang kalian anggap lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan kami (para sahabat) menganggapnya sebagai pembawa kebinasaan di masa Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.”[5]
Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memisalkan dosa kecil dengan sebuah kayu bakar, yang tak memiliki manfaat yang banyak untuk menyalakan api dan digunakan memasak. Namun ketika dikumpulkan, barulah memberikan manfaat yang berarti. Imam al-Ghazali raḥimahullāh berkata, “Kesalahan kecil dapat menjadi sebuah dosa besar dengan dua hal: menganggapnya remeh dan terus menerus mengerjakannya. Tiap kali sebuah dosa dianggap besar niscaya ia akan kecil di sisi Allah, dan jika dosa dianggap kecil niscaya ia akan besar di sisi Allah. Hal ini karena anggapan besarnya sebuah dosa lahir dari bencinya hati seseorang kepada perbuatan tersebut, sedangkan anggapan kecilnya sebuah dosa lahir dari senangnya hati seseorang kepada perbuatan tersebut. Oleh karena itu, ia pantas untuk diazab karena hati hendaknya diisi dengan cahaya iman dan ketaatan, bukan dengan gelapnya dosa dan kemaksiatan.”[6]
Footnote:
[1] H.R. Ahmad nomor 22808, disahihkan Syaikh al-Albānī dalam Silsilah Ṣaḥīḥah nomor 389.
[2] Q.S. al-Nisa ayat 48.
[3] Q.S. al-Kahfi ayat 49.
[4] Faiḍul Qadīr, 3/127.
[5] Ṣaḥīḥ Bukhārī nomor 6492.
[6] Faiḍul Qadīr, 3/127.