يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. al-Tahrim: 8)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ الْمُؤْمِنِ، مِنْ رَجُلٍ فِي أَرْضٍ دَوِّيَّةٍ مَهْلِكَةٍ، مَعَهُ رَاحِلَتُهُ، عَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ وَقَدْ ذَهَبَتْ، فَطَلَبَهَا حَتَّى أَدْرَكَهُ الْعَطَشُ، ثُمَّ قَالَ: أَرْجِعُ إِلَى مَكَانِيَ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ، فَأَنَامُ حَتَّى أَمُوتَ، فَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى سَاعِدِهِ لِيَمُوتَ، فَاسْتَيْقَظَ وَعِنْدَهُ رَاحِلَتُهُ وَعَلَيْهَا زَادُهُ وَطَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَاللهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ مِنْ هَذَا بِرَاحِلَتِهِ وَزَادِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh Allah lebih berbahagia dibandingkan seseorang yang berada di gurun yang tandus bersama untanya, padanya terdapat makanan dan minumannya, lalu ia tertidur. Ketika terbangun, untanya telah pergi meninggalkannya. Ia mencarinya hingga kehausan, lalu ia berkata, ‘Lebih baik aku kembali ke tempatku semula, lalu tidur sembari menanti kematianku’. Ia kembali dan tidur dengan meletakkan kepalanya di atas lengannya menunggu kematian tiba. Hingga ia terbangun dan mendapati unta, makanan dan minumannya Kembali. Allah lebih berbahagia dengan tobatnya seorang mukmin daripada kebahagiaan orang itu dengan unta dan bekalnya’.”[1]
⁕⁕⁕
Hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Kadang kita mendapatkan karunia yang tak terkira nilainya, dan tidak jarang pula kita tersandung oleh aral rintangan di tengah jalan. Memang seperti itulah kehidupan dunia, karunia dan ujian dating silih berganti tanpa henti sebagai ujian penilaian kualitas iman dan takwa hingga seorang hamba menghembuskan napas terakhirnya. Allah subḥānahu wa ta’ālā berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”[2]
Selain ujian eksternal yang diberikan oleh Allah, seorang hamba juga diuji dengan faktor internal atau jiwa yang dimiliki, sebab Allah subḥānahu wa ta’ālā telah menanamkan jalan ketakwaan dan kefasikan dalam diri setiap manusia. Allah berfirman,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”[3]
Oleh karenanya, beruntunglah orang yang menyucikannya dan sangat merugi orang yang mengotori jiwanya dengan dosa dan kedurhakaan kepada Allah yang telah mengaruniakan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Namun apakah hanya seperti itu kehidupan seseorang? Apakah hidup untuk memperturutkan hawa nafsu semata? Apakah hidup untuk memaksimalkan potensi guna mendapatkan bagian dunia sebanyak-banyaknya, karena telah putus asa dari kehidupan akhirat yang jauh lebih mulia dan bahagia dibanding pangkat, kehormatan, mahkota, dan harta kerajaan dunia? Jawabannya tentu tidak.
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengetahui beratnya beban hidup para pelaku dosa dan maksiat. Beliau merasa iba kepada mereka yang terbelenggu oleh siksa perbuatan syirik, bid’ah, khurafat, dusta, zina, khamar, korupsi, judi dan dosa-dosa yang lainnya. Karena itu, sebelum mereka menutup hati dan mata dari jalan hidayah, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang kebahagiaan dan keridaan Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā terhadap tobat seorang hamba.
Beliau memisalkan bahwa seorang yang terdampar di tanah antah berantah yang tandus tak ada apa-apa di sana sejauh mata memandang. Ia beristirahat bersama unta dan perbekalannya. Ketika sedang beristirahat, ia lupa untuk mengikat kendaraannya hingga ia tak sadar kalau untanya telah pergi. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke sana ke mari mencari unta dan perbekalannya hingga ia kehausan namun tak kunjung membuahkan hasil. Ia pun pasrah dan telah siap menghadapi kematiannya di tempat yang tak ia kenal seorang diri. Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah sebuah keajaiban. Dalam keadaan pasrah akan takdirnya, sayup-sayup matanya ia buka dari tidur matinya dan nampak di hadapan kedua bola matanya, untanya kembali datang kepadanya dan bersamanya perbekalan yang ia miliki.
Kebahagiaan apa yang dapat dapat mengalahkan kebahagiaan seseorang yang selamat dari kematian? Ialah keridaan Allah terhadap tobat seorang hamba. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائَبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertobat dari dosa bagaikan orang yang tak memiliki dosa.”[4]
Seperti apa tobat yang diridai oleh Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā?
Syeikh Ibnu Baz raḥimahullāh menjelaskan bahwa tobat yang diridai oleh Allah ṣubḥānahu wa ta’ālā dan yang akan menghapus dosa apapun adalah tobat yang nasuha, yang tulus kepada-Nya. Allah berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[5]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”[6]
Adapun syarat-syarat tobat nasuha, ada tiga. Pertama, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan dengan penyesalan yang tulus. Kedua, berhenti dari perbuatan dosa tersebut dan meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, kecil ataupun besar. Ketiga, bertekad kuat untuk tidak kembali terjerumus ke dalam dosa yang sama di waktu mendatang. Sedangkan jika dosa tersebut berkaitan dengan hak seseorang yang belum ditunaikan atau diambil dengan cara yang haram maka wajib hukumnya untuk dikembalikan dan diselesaikan sebagai bentuk kesempurnaan tobat dengan ketiga syarat sebelumnya.[7]
Footnote:
[1] H.R. Muslim nomor 2744.
[2] Q.S. al-Anbiya ayat 35.
[3] Q.S. al-Syams ayat 7-8.
[4] H.R. Ibnu Majah nomor 4250, dihasankan oleh Syekh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ Jāmi’ Ṣagīr nomor 3008.
[5] Q.S. al-Nur ayat 31.
[6] Q.S. al-Tahrim ayat 8.
[7] Majmū’ Fatāwā, 28/446.