SYARAH MUDAH MATAN AL-BAIQŪNI[1]
Imam al-Baiqūni:
وَالمنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا … تَعْدِيلُهُ لَا يَحْمِلُ التَّفَرُّدَا
Artinya:
“Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mampu bersendiri.”
Definisi:
Penulis manẓūmah -raḥimahullāh– dalam menjelaskan hadis munkar memandang bahwa ia adalah hadis yang dalam periwayatannya terdapat seorang rawi yang bersendirian yang faḥusya galaṭuh (banyak kekeliruannya), kaṡurat gaflatuh (banyak kelalaiannya), atau jelas kefasikannya tanpa kedustaan. Ini adalah pendapat ulama yang tidak mempersyaratkan penyelisihan hadis munkar terhadap riwayat para rawi ṡiqah.[2] Akan tetapi, definisi yang muktamad menurut kebanyakan muhaddiṡ -terlebih lagi muta’akhirīn– adalah bahwa hadis munkar diriwayatkan oleh rawi daif yang menyelisihi rawi ṡiqah.[3]
Imam al-Ṣuyūṭi berkata,[4]
المنْكَرُ الذِّي رَوَى غَيْرُ الِثقَهْ … مُخَالِفًا فِي نُخْبَةٍ قَدْ حَقَّقَهْ
Artinya:
“Hadis munkar adalah yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak ṡiqah yang menyelisihi -sebagaimana dijelaskan dalam Nukhbah.[5]-”
Contoh:
Ibn Abi Ḥatim[6] meriwayatkan dari jalur Ḥubayyib –ia adalah saudara Ḥamzah bin Ḥubaib al-Zayyāt al-Muqri’– dari Abu Isḥāq dari al-‘Aizār bin Ḥuraiṡ dari Ibn ‘Abbās dari Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam beliau bersabda,
مَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَحَجَّ وَصَامَ، وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ…
Artinya:
“Siapa yang mendirikan salat, menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan menghormati tamu, dia akan masuk surga….”
Hadis ini dihukumi oleh Abu Ḥātim sebagai hadis munkar sebab selain Ḥubayyib para rawi ṡiqah meriwayatkannya dari Abu Isḥāq secara maukuf dan itulah yang dikenal.
Kata غَدَا di dalam manẓūmah bermakna menjadi.[7]
Imam al-Baiqūni:
مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ … وَأَجْمَعُوا لِضَعْفِهِ فَهْوَ كَرَدْ
Artinya:
“Hadis matrūk adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang dan ulama sepakat atas kelemahannya, maka ia seperti tertolak.”
Hadis matrūk lebih lumayan dibandingkan hadis palsu sebagaimana yang akan dijelaskan.
Definisi
Al-matrūk[8] adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang sangat daif di mana sebab kelemahannya adalah ia tertuduh berdusta dalam hadis, banyak galat (keliru)nya, atau sangat lalai.
Contoh:
Hadis[9] ‘Amr bin Syimr al-Ju’fi al-Kūfi al-Syī’i dari Jābir dari Abu al-Ṭufail dari ‘Ali dan ‘Ammār keduanya berkata, “Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam membaca qunut pada waktu subuh dan bertakbir pada Hari Arafah sejak Salat Subuh dan berhenti pada Salat Asar pada hari terakhir hari tasyrik.”
Al-Nasāi, al-Dāraquṭni, dan selain keduanya berkata tentang ‘Amr bin Syimr, “Hadisnya matrūk.”[10]
Kata كَرَدْ dalam manẓūmah dengan kaf berharakat fatah dan dal bertasydid bermakna “Seakan ia tertolak, tidak diterima.”[11]
Imam al-Baiqūni:
وَالكَذِبُ المخْتَلَقُ المصْنُوعُ … عَلَى النَّبِي فَذلِكَ الموْضُوعُ
Artinya:
“Kebohongan yang di buat-buat atas nabi itu adalah hadis mauḍū’.”
Definisi:
Al-mauḍū’[12] adalah hadis palsu/dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam baik secara sengaja maupun karena keliru.[13]
Contoh:
Contohnya adalah sebagian hadis yang diada-adakan lantaran fanatisme terhadap mazhab-mazhab seperti hadis “Pelita umatku adalah Abu Ḥanīfah”[14] yang dibuat-buat oleh sebagian pengikut fanatik Ḥanafiyyah. Demikian pula hadis “’Ali adalah manusia terbaik, siapa yang ragu akan beliau maka ia kafir…”[15] yang dibuat-buat sebagian orang Rāfiḍah. Demikian pula berbagai kedustaan dan bualan yang memiliki faktor-faktor yang diketahui oleh para ulama.[16]
Di antara kaidah umum yang dengannya hadis mauḍū’ dapat diketahui antara lain:
- Perkataan tersebut tidak sama dengan perkataan para nabi;
- Perkataan tersebut lebih mirip perkataan tabib atau kaum tarekat;
- Perkataan tersebut batil sehingga kebatilan tersebut menunjukkan bahwa ia bukan dari Rasulullah ṣallallāhu‘alaihiwasallam;
- Perkataan tersebut menyelisihi ayat al-Qur’an yang ṣarīḥ (terang);[17]
- Perkataan tersebut bernilai rendah dan menjadi bahan olok-olokan; dan lain-lain.[18]
PENUTUP
Imam al-Baiqūni:
وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ الْمَكْنُونِ … سَمَّيْتُهَا مَنْظُومَةَ البَيْقُوني
فَوْقَ الثَّلاثيَن بأرْبَعٍ أتَتْ … أقْسَامُهَا تَمَّتْ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ
Artinya:
“Manẓūmah ini seperti mutiara yang terjaga, saya menamainya Manẓūmah al-Baiqūni, yang terdiri atas tiga puluh empat (bait), pembagiannya selesai dan ditutup dengan kebaikan.”
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab al-Ta’liqāt al-Aṡariyyah ‘ala al-Manẓūmah al-Baiqūniyyah karyra Syekh ‘Ali bin Ḥasan al-Ḥalabi al-Aṡari raḥimahullāh.
[2] Rujuk: Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ (h. 72).
[3] Al-Nukat ‘ala Ibn al-Ṣalāḥ (2/459), Fatḥ al-Mugīṡ (1/190), dan Tauḍīḥ al-Afkār (2/5).
[4] Alfiyah al-Ṣuyūṭi fi ‘Ilm al-Ḥadīṡ (h. 39) dengan syarah al-‘Allāmah Aḥmad Syākir.
[5] Yang beliau maksud adalah Nukhbah al-Fikr karya Ibn Ḥajar al-‘Āsqalāni. Lihat h. 52 dari kitab tersebut, juga al-Nukat ‘ala Nuzhah al-Naẓr (h. 122) karya Syekh al-Ḥalabi raḥimahullāh.
[6] ‘Ilal al-Ḥadīṡ (2/182)
[7] Tāj al-‘Arūs (10/263).
[8] Lihat: Muqaddimah Ṣaḥīḥ Muslim (1/56), al-Nukat ‘ala Nuzhah al-Naẓr (h. 122), dan Tadrīb al-Rāwi (1/240).
[9] H.R. al-Dāraquṭni (2/49) dan Lihat: Naṣb al-Rāyah (1/344).
[10] Untuk mengetahui biografinya silakan rujuk: Mīzān al-I’tidāl (3/268), Lisān al-Mīzān (4/366), dan al-Kasyf al-Ḥaṡīṡ ‘an Man Rumiy bi Wad’ al-Ḥadīṡ (571) karya Sibt Ibn al-‘Ajami.
[11] Al-Ṣiḥāḥ (2/473).
[12] Lihat: ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (89) dan Tadrīb al-Rāwi (1/274).
[13] Al-Waḍ’ fi al-Ḥadīṡ (1/100) kemudian penulis berkata, “Sebagian ulama membedakan antara yang melakukannya secara sengaja dengan yang tidak. Yang dinisbatkan kepada Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam berupa dusta dengan sengaja mereka namai mauḍū’, adapun yang dinisbatkan kepada beliau secara keliru mereka sebut batil.
[14] Rujuk: Tanzīh al-Syarī’ah al-Marfū’ah karya al-Ḥāfiẓ Ibn ‘Arrāq (2/30 dst.) dan Tażkirah al-Mauḍū’āt (111).
[15] Lihat: al-Mauḍū’āt (1/348), al-Fawāid al-Majmū’ah (348), dan al-Lāli’ al-Maṣnū’ah (1/170).
[16] Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hadis mauḍū’ dan sebab-sebab pemalsuan hadis silakan rujuk: al-Waḍ’ fi al-Ḥadīṡ (1/216) karya Dr. ‘Umar Fallātah, beliau mengumpulkan di dalam kitab tersebut materi ilmiah yang amat penting dan bermanfaat, semoga Allah azza wajalla membalas beliau dengan sebaik-baik balasan.
[17] Disebutkan “yang ṣarīḥ (terang)” untuk menjelaskan bahwa penyelisihan terhadap ayat yang multitafsir atau memiliki sisi lain dalam hal pemaknaan tidak menjadi ciri hadis mauḍū’.
[18] Imam Ibn al-Qayyim raḥimahullāh menyebutkan semuanya dalam kitabnya al-Manār al-Munīf fi al-Ṣaḥiḥ wa al-Ḍa’īf (h. 50-102) dan beliau juga menyebutkan selain sebab di atas sebanyak lima belas poin, silakan rujuk sebab pembahasan tersebut penting.