SYARAH MUDAH MATAN AL-BAIQŪNI[1]
BAIT KE-26: HADIS MUDRAJ
Imam al-Baiqūni:
والُمدْرَجَاتُ فِي الحديثِ مَا أَتَتْ … مِنْ بَعْض أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Artinya:
“Mudraj dalam hadis adalah ketika sebagian lafaz rawi bersambung (dengan hadis).”
Definisi:
Al-mudraj[2] adalah hadis yang diketahui bahwa pada sanad atau matannya terdapat tambahan yang bukan berasal dari hadis itu sendiri melainkan dari salah seorang rawi tanpa penjelasan terhadap tambahan tersebut.
Yang menyebabkan terjadinya idrāj dalam hadis ada dua hal:
- Rawi melakukan idrāj dalam rangka menjelaskan kata yang garib, menerangkan yang muskil, menguraikan yang mujmal (global), atau melakukan istidlal dengan matan hadis untuk sebuah hukum syar’i.
- Rawi melakukannya untuk mengelabui, keliru, atau untuk membuatnya asing.[3]
Ada sejumlah kitab yang ditulis menjelaskan hal ini namun belum dicetak[4] kecuali kitab al-Mudraj karya al-Suyūṭi dan al-Tashīl karya Ibn al-Ṣiddīq.
Contoh:
- Mudraj pada sanad
Imam Tirmiẓi[5] meriwayatkan dari jalur Ibn Mahdi dari al-Ṡauri dari Wāṣil al-Aḥdab, Manṣūr, dan al-A’masy dari Abu Wāil dari ‘Amr bin Syuraḥbīl dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd h, beliau berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَيُّ الذًّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ … الحَدِيْث
Artinya:
Saya berkata, “Ya Rasulullah, dosa apa yang paling besar?” Beliau ﷺ bersabda, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu…”
Wāṣil tidak menyebut ‘Amr bin Syaraḥbīl dalam riwayatnya, beliau meriwayatkan dari Abu Wāil dari Ibn Mas’ud secara langsung.[6] Dengan demikian, penyebutan ‘Amr bin Syaraḥbīl adalah idrāj terhadap riwayat Manṣūr dan al-A’masy.[7]
- Mudraj pada matan
Hadis dari Abu Hurairah h secara marfuk,[8]
لِلْعَبْدِ الممْلُوكِ أَجْرَانِ. وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بيَدِهِ؛ لَوْلا الِجهَادُ في سَبِيلِ اللَّهِ والحَجُّ وبِرُّ أُمِّي؛ لَأَحْبَبْتُ أَنْ أمُوْتَ وَأَنَا مَمْلُوْكٌ
Artinya:
Seorang hamba sahaya memiliki dua pahala. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sekiranya bukan karena jihad fi sabīlillāh, haji, dan bakti kepada ibuku, saya sungguh ingin meninggal sebagai seorang hamba sahaya.
Perkataan beliau, “Demi Zat yang jiwaku ada di tangannya… hingga selesai” merupakan perkataan Abu Hurairah h[9] sebab hal tersebut mustahil disebutkan oleh Rasulullah ﷺ karena tidak mungkin beliau mengharapkan perbudakan atas diri beliau dan ibu beliau juga sudah tidak ada lagi untuk beliau berbakti kepadanya.[10]
Footnote:
[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab al-Ta’liqāt al-Aṡariyyah ‘ala al-Manẓūmah al-Baiqūniyyah karya Syekh ‘Ali bin Ḥasan al-Ḥalabi al-Aṡari raḥimahullāh.
[2] Lihat: ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (h. 86) dan Tadrīb al-Rāwi (1/268).
[3] Bandingkan dengan al-Waḍ’ fi al-Ḥadīṡ (1/82).
[4] Kitab paling komprehensif dan paling baik adalah kitab al-Faṣl li al-Waṣl lima Udrija fi al-Naql karya al-Khaṭīb al-Bagdādi.
[5] H.R. al-Tirmiżi (no. 3182) dan juga H.R. al-Bukhāri, (no. 7520) dari jalur al-A’masy dan (no. 6001) dari jalur Manṣūr, dan Muslim (86/141-142) dari jalur Manṣūr dan al-A’masy.
[6] H.R. al-Bukhāri dalam Ṣaḥīḥ-nya (no. 4761) -bandingkan dengan Tuḥfah al-Asyrāf (9311)- al-Tirmiżi (no. 3183), al-Nasāi (no. 4014) dari jalur Wāṣil dari Abu Wāil dari Ibn Mas’ūd. Lihat juga Fatḥ al-Bāri (8/493) dan (12/111).
[7] Lihat: al-Nukat ‘ala Ibn al-Ṣalāḥ (2/608), Fatḥ al-Mugīṡ (1/230), dan Tauḍīḥ al-Afkār (2/53).
[8] Asalnya diriwayatkan oleh al-Bukhāri (no. 2548) dan Muslim (no. 1665).
[9] Sebagaimana dalam riwayat Aḥmad (2/330) dan al-Bukhāri dalam al-Adab al-Mufrad (no. 32).
[10] Lihat Fatḥ al-Bāri (5/176), Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah (2/565), dan Tadrīb al-Rāwi (1/227).