BAIT KE-25: HADIS MUḌṬARIB

187
BAIT KE HADIS MUḌṬARIB
Perkiraan waktu baca: 2 menit

SYARAH MUDAH MATAN AL-BAIQŪNI[1]
BAIT KE-25: HADIS MUḌṬARIB

Imam al-Baiqūni:

وذُو اخْتِلافِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ … مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ

Artinya:
“Hadis yang memiliki perbedaan sanad atau matan disebut muḍṭarib menurut ahli hadis.”

Definisi:

Al-muḍṭarib[2] adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau lebih dengan periwayatan yang berbeda-beda yang kekuatannya sama dan tidak mungkin ditarjih atau dikompromikan. Perbedaan ini menunjukkan ketiadaan kedabitan rawinya. Padahal, syarat diterimanya sebuah hadis adalah seorang rawi harus dabit sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Umumnya iḍṭirab terjadi pada sanad meskipun kadang terjadi juga pada matan.[3]

Contoh:

  1. Hadis yang sanadnya muḍṭarib. Contohnya adalah hadis Abu Hurairah t,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؛ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا، فَلْيَخُطَّ بَيْنَ يَدَيْهِ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ[4]

Artinya:
“Apabila salah seorang di antara kalian salat maka hendaknya ia menjadikan sesuatu (sutrah) di hadapannya. Jika tidak mendapatkan sesuatu, hendaknya ia menegakkan tongkat. Jika tidak memiliki tongkat, hendaknya ia membuat garis di hadapannya, maka yang berlalu di hadapannya tidak akan memudaratkannya.”

Hadis ini diperselisihkan tentang salah seorang rawinya yaitu Ismā’īl bin Umayyah dengan perselisihan yang banyak. Dikatakan hadis ini darinya, dari Abu ‘Amr bin Muḥammad bin Ḥuraiṡ, dari kakeknya Ḥuraiṡ, dari Abu Hurairah t. Adapula yang mengatakan darinya, dari Abu ‘Amr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥuraiṡ, dari kakenya Ḥuraiṡ bin Sulaim, dari Abu Hurairah t, dan seterusnya hingga mencapai sepuluh versi. Oleh karena itu, sejumlah hafiz seperti seperti al-Nawawi dan Ibn ‘Abd al-Hādi dan selain mereka dari kalangan ulama mutaakhkhirūn menghukumi hadis ini sebagai hadis yang sanadnya muḍṭarib.[5]

  1. Hadis yang matannya muḍṭarib. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmiżi,[6] dari Syarīk, dari Abu Ḥamzah, dari al-Sya’bi, dari Fāṭimah binti Qais bahwa beliau berkata,
Baca juga:  BAIT KE-13: HADIS MU’AN’AN DAN MUBHAM

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الزَّكَاةِ فَقَالَ إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ

Artinya:
“Rasulullah ﷺ ditanya tentang zakat maka beliau bersabda, “Sesungguhnya pada harta terdapat kewajiban selain zakat.”

Ibn Mājah[7] meriwayatkan hadis tersebut dengan lafaz,

لَيْسَ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ[8]

Artinya:
“Tidak ada pada harta kewajiban selain zakat.”

Al-Ḥāfiẓ al-‘Irāqi berkata,

فَهَذَا اضْطِرَابٌ لَا يَحْتَمِلُ التَّأْوِيلَ

Artinya:
“Ini adalah iḍṭirab yang tidak mungkin ditakwil.”

 


Footnote:

[1] Diterjemahkan dan disadur dari kitab al-Ta’liqāt al-Aariyyah ‘ala al-Manẓūmah al-Baiqūniyyah karya Syekh ‘Ali bin Ḥasan al-Ḥalabi al-Aṡari raḥimahullāh.

[2] Lihat: al-Tadrīb (1/262) dan ‘Ulum al-Ḥadīṡ (h. 84). Dalam kitab Syekh ‘Ali al-Ḥalabi yang berjudul Burhān al-Syara’ fi Iṡbāt al-Mass wa al-Shar’ (171-173) terdapat penjelasan yang baik seputar hadis muḍṭarib.

[3] Tadrīb al-Rāwi (1/262).

[4] H.R. Aḥmad (2/249), Abu Dāwūd (no. 690), Ibn Mājah (no. 923), Ibn Khuzaimah (no. 811), al-Baihaqi (2/271), Ibn Ḥibbān (no. 2361) dari jalur Sufyān bin ‘Uyainah, dari Ismā’īl bin Umayyah, dari Abu Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥuraiṡ, dari kakeknya dari Abu Hurairah. Masih ada banyak versi lain yang muḍṭarib, apalagi Muḥammad bin ‘Amr dan kakeknya tidak dikenal. Lihat: al-Talkhīṣ al-Ḥabīr (1/268), Syarḥ al-Musnad (7386), Naṣb al-Rāyah (2/80), dan ‘Ilal Ibn Abi Ḥātim (no. 534). Adapun hadis-hadis tentang sutrah juga diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang sahih. Lihat: Misykāh al-Maṣābīḥ (1/241), Ṣifah Ṣalāh al-Nabi ﷺ (h. 72) karya al-Albāni. Yang tidak kuat dalam riwayat di atas adalah perintah untuk membuat garis dan meletakkan tongkat, wallahualam. Syekh Muḥammad bin Rizq al-Ṭarahūni memiliki kitab khusus dengan judul Aḥkām al-Sutrah, sebuah kitab yang berbobot dan bermanfaat, silakan rujuk.

Baca juga:  HADIS SAHIH

[5] Rujuk: Fatḥ al-Mugīṡ bi Syarḥ Alfiyah al-Ḥadīṡ (1/222) karya al-Ḥāfiẓ al-Sakhawi.

[6] H.R. al-Tirmiżi (no. 659), al-Dāraquṭni (2/125), al-Ṭabari (2/57), al-Dārimi (1/385), Ibn ‘Adi (4/1328), dan al-Ṭabarāni dalam al-Kābīr (no. 42023). Syarīk adalah rawi yang buruk hafalannya dan Abu Ḥamzah daif.

[7] H.R. Ibn Mājah (no. 1789). Hadis ini juga lemah seperti hadis sebelumnya karena isnadnya sama. Lihat al-Talkhīṣ al-Ḥabīr (2/160) dan Itḥāf al-Sādah al-Muttaqīn (4/105).

[8] Al-Tabṣirah wa al-Tażkirah (1/245).

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments