REDAKSI HADIS:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang yang kuat bukanlah orang jago dalam bergulat dan berkelahi, namun orang yang kuat adalah orang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah.’” HR. Bukhari (6114) dan Muslim (2609).
Daftar Isi:
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari jalur Imam Malik, dari Ibnu Syihab Al-Zuhri, dari Said bin al-Musayyab dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Semua perawi dari hadis ini merupakan imam dalam bidang hadis yang berasal dari kota Madinah al-Nabawiyah.
PENJELASAN HADIS:
Tugas Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam adalah menjelaskan syariat, banyak perkara-perkara yang merebak di tengah masyarakat bahkan digandrungi oleh mereka, yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menurut perspektif syariat, tentunya penjelasan ini menambah antusias sahabat untuk menyimak penjelasan tersebut dan mengamalkannya. Di antara contohnya adalah istilah orang yang kuat atau orang yang pemberani yang ditengah masyarakat sangat indentik dengan orang yang jago dalam bergulat dan berkelahi dan selalu menang dalam bertarung, namun Rasulullah menjelaskan istilah tersebut dalam perspektif syariat, yaitu orang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ
“Orang yang kuat bukanlah orang jago dalam bergulat dan berkelahi.”
Yang dimaksud dengan lafaz al-ṣura’atu adalah orang yang selalu menang dalam berkelahi dan bergulat, jadi lafaz ini adalah ṣigah mubalagah, yaitu bentuk kalimat yang menunjukkan sesuatu yang berlebihan dan banyak. Berbeda maknanya jika lafaznya adalah al-ṣur‘atu (dengan huruf ra’ sukun), lafaz ini bermakna sebaliknya dari lafaz yang pertama, yaitu orang yang selalu kalah dalam berkelahi dan bergulat.[1] Ini menunjukkan sisi keunikan Bahasa Arab.
Sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Namun orang yang kuat adalah orang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah.”
Dalam Bahasa Arab kalimat di atas dikenal dengan uslub (metode) qaṣr atau haṣr,[2] yaitu menetapkan suatu hukum dan menafikan hukum yang lain, lafaz yang digunakan adalah innama, lafaz ini dikenal dengan adatu al-haṣr, menurut Ibnu Daqiq lafaz ini berfungsi untuk
إثبات الحكم في المذكور ونفيه عما عداه
“Menetapkan hukum yang dijelaskan, dan menafikan yang selainnya.”[3]
Makna dari redaksi hadis di atas adalah bahwa orang yang kuat secara syariat (yang terpuji) bukan yang selalu menang dalam bertarung dan tidak terkalahkan dalam perkelahian, namun orang yang kuat adalah yang dapat mengendalikan dirinya dan menahan emosinya ketika marah. Dalam hadis ini, seakan amarah merupakan musuh bagi seseorang, jadi memperturutkan dan melampiaskan amarah dengan ucapan dan perbuatan adalah tanda bagi kekalahan dan kelemahan seseorang dalam menghadapi dirinya, sedangkan upaya mengendalikan dirinya dan menahan amarah sehingga tidak melampiaskannya dengan ucapan dan perbuatan yang sembrono menunjukkan kekuatan orang tersebut.[4] Sebab, biasanya emosi dan amarah dapat mengendalikan seseorang hingga menutup akal sehatnya, akibatnya ucapan dan perbuatannya berpotensi untuk brutal dan membawa kepada maksiat.
FIKIH HADIS:
- Kekuatan yang sejati dan terpuji menurut syariat adalah menahan emosi dan mengendalikan diri ketika emosi datang, bahkan orang yang mampu mengendalikan diri ketika emosi lebih tinggi kedudukannya secara syariat daripada orang yang jago dalam berkelahi dan bertarung sehingga ia tidak terkalahkan.
- Hadis ini menunjukkan bahwa mujahadatu al-nafs (jihad mengalahkan nafs) lebih berat ketimbang berkelahi mengalahkan orang.
- Hadis ini menjelaskan tentang solusi bagi orang yang tersulut kemarahannya, yaitu dengan menahan amarahnya dan tidak melampiaskannya dengan ucapan dan perbuatan, sebab orang yang marah ketika berbicara dan berbuat sangat berpotensi untuk terjatuh ke dalam maksiat, berpotensi untuk mengeluarkan kata-kata celaan dan kalimat kotor ketika berucap, dan berpotensi untuk bersikap kasar dengan memukul ketika berbuat.
- Orang yang dapat mengendalikan emosinya dan menahan amarahnya adalah orang mendapatkan kedudukan tinggi di hadapan Allah, bahkan hal tersebut merupakan bagian dari sifat orang yang bertakwa, Allah azza wajalla berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kalian, dan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat baik.” QS. Ali Imran: 133-134.
5. Hadis ini secara implisit menunjukkan bahwa menahan emosi dan amarah sangat berat, bahkan lebih berat daripada upaya untuk menang dalam berkelahi. Sebab, sejatinya seseorang apabila telah terjajah oleh emosi, apalagi jika sampai membuncah kemarahannya, maka seakan dunia begitu sempit baginya, tiada cita-cita tertinggi baginya kecuali meluapkan emosinya dengan mengucapkan sumpah serapah dan cacian, bahkan kalau bisa, tentu ia berhasrat untuk menelan mentah-mentah orang yang menjadi obyek kemarahannya tersebut.
6. Hadis ini menjelaskan bahwa kekuatan bukan terletak pada kekuatan badan, tapi pada kekuatan akalnya yang dapat mengendalikan emosi dan amarahnya.[5]
7. Hadis ini mengajarkan untuk menganggap marah sebagai musuh yang harus ditundukkan dan dikendalikan, sebab marah diikuti dan dilampiaskan dapat membawa dampak yang sangat buruk.
Footnote:
[1] Adabu al-Kātib, hal. 332, mengutip dari Minhatu al-Allām (10/198).
[2] Minhatu al-Allām (10/198).
[3] Ihkāmu al-Ahkām (1/11).
[4] Minhatu al-Allām (10/199).
[5] Al-Ifsah, karya Ibnu al-Hubairah (6/89).