ORIENTASI HIDUP, DUNIA ATAU AKHIRAT?

5326
ORIENTASI HIDUP DUNIA ATAU AKHIRAT
ORIENTASI HIDUP DUNIA ATAU AKHIRAT
Perkiraan waktu baca: 4 menit

PERTANYAAN:

Adakah hadis yang menjelaskan bahwa, “Barang siapa yang orientasi hidupnya hanya untuk dunia, maka dia akan mendapat apa yang dia inginkan dan tidak mendapat bagian di akhirat?”

Bagaimana dengan orang yang tujuan ibadahnya untuk mendapat dunia, seperti beribadah dengan tujuan rezekinya lancar sehingga ia mudah membeli kebutuhannya. Apakah hal ini dibolehkan? Apakah orangnya tidak mendapat bagian di akhirat?

(Khairul Anwar, Banyuwangi-Jawa Timur)

JAWABAN:

Hadis yang dimaksud dalam pertanyaan ini redaksinya seperti berikut:

عن زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ، جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ

Artinya: Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa berorientasi dengan akhirat, maka Allah akan jadikan kesempurnaan untuknya, kekayaan ada dalam hatinya, dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina. Barang siapa mengharap kehidupan dunia, maka Allah akan menjauhkan dunia darinya, menjadikan kefakiran berada di depan matanya, dan ia tidak akan mendapatkan dunia kecuali apa yang telah dituliskan untuknya.”

Daftar Isi:

Takhrīj dan kualitas hadis:

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (No. 21590), Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Mājah (No. 4105), al-Dārimī dalam Sunan Al-Dārimī (No. 343), Ibnu Hibbān dalam Shahīh-nya (No. 680), dan Al-Baihaqī dalam Syu’ab al-mān (No. 9858).

Hadis ini dinilai sahih oleh Syekh al-Albānī dalam karyanya Silsilah al-Ahādīṡ al-Shahīhah (Cet. Dār al-Ma’ārif, jilid. 1, hal. 761), juga dinyatakan sahih oleh Syekh Syu’aib al-Arna’ut dalam tahkiknya terhadap Musnad Ahmad (Cet. al-Risālah, jilid. 35, Hal. 467).

Baca juga:  DOA SEBELUM MAKAN

Fawāid hadis:

  1. Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ menjelaskan dua kecenderungan hidup yang ada dalam jiwa manusia, yaitu pertama: kecenderungan yang terarah untuk mencapai kebahagiaan akhirat, kedua: kecenderungan yang arahnya hanya untuk menggapai kenikmatan dunia.
  2. Ketika orientasi hidup seseorang adalah kebahagiaan akhirat, maka itulah awal keberhasilan baginya, karena Allah ﷻ berjanji akan menyempurnakan kehidupannya, mengaruniakan kekayaan dalam hatinya, tidak tenggelam dalam gemerlapnya dunia. Sebaliknya, jika orientasi hidup seseorang bertujuan hanya untuk mengejar kenikmatan dunia, maka kesusahan yang akan didapatinya, kefakiran selalu menghantuinya, sebesar apapun usahanya, dia hanya akan mendapatkan dari dunia apa yang telah ditakdirkan baginya. Oleh karena itu, Allah ﷻ berfirman dalam QS. al-‘Ankabut/29: 64,

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت: 64)

Artinya: dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanya senda gurau dan permainan, dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.

  1. Orang yang tujuan ibadahnya untuk mendapat dunia, tema ini bisa dibagi dalam tiga kondisi:

a.  Seseorang beribadah dengan niat ikhlas menggapai rida Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, lalu ada efek kebaikan dunia yang didapatkannya, maka ini tidak mengurangi pahalanya sedikit pun.

Contohnya seorang mujahid yang ikhlas berjihad di jalan Allah ﷻ, lalu dia mendapatkan ganimah (harta rampasan perang), maka ini tidak mempengaruhi kualitas pahala jihadnya,[1] berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: تَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَنْ جَاهَدَ فِي سَبِيلِهِ، لاَ يُخْرِجُهُ إِلَّا الجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ، وَتَصْدِيقُ كَلِمَاتِهِ بِأَنْ يُدْخِلَهُ الجَنَّةَ، أَوْ يَرْجِعَهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ، مَعَ مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ) رَوَاهُ البُخَارِي وَ مُسْلِمٌ

Artinya: dari Abū Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah menjamin bagi siapa yang berjihad di jalan-Nya, tidaklah ia berangkat selain benar-benar untuk berjihad di jalan-Nya, dan membenarkan kalimat-Nya, bahwa Allah akan memasukkannya dalam surga, atau Allah akan mengembalikannya ke tempat tinggalnya beserta apa yang diperolehnya berupa pahala dan ganimah. (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Baca juga:  APA ITU AL-MUWATHTHA?

Contoh lain: seseorang berhaji, dengan niat ikhlas untuk mendapatkan pahala akhiraat, lalu dia memanfaatkan momen hajinya untuk berdagang, maka ini tidak mencederai pahala hajinya,[2] berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 198,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ . . . (البقرة: 198)

Artinya: bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu . . .

Karunia di sini maksudnya adalah keuntungan berdagang saat haji.

b.  Seseorang beribadah yang niat menggapai pahala akhiratnya sama dan berbanding lurus dengan niatnya mendapatkan kebaikan dunia, maka orang ini tetap mendapatkan pahala, namun kualitas pahalanya tidak sama dengan yang murni keikhlasannya sebagaimana pada poin pertama di atas.[3] Contohnya seorang yang berpuasa dengan niat mendapat pahala akhirat, namun juga bertujuan untuk menurunkan berat badan, atau orang yang giat berinfak, niatnya bukan saja untuk mendapat pahala, namun dia juga bermaksud agar rezekinya lancar sehingga dia mudah membeli kebutuhan-kebutuhan duniawinya.

c.  Seseorang beribadah yang niat mencari dunianya lebih tinggi daripada niatnya menggapai pahala akhirat, maka dia tidak akan mendapat pahala sedikit pun, bahkan sikap ini merupakan perbuatan tercela dan terlarang dalam agama. Contohnya seorang yang berjihad, tujuannya hanya untuk mendapat pujian dan sanjungan orang lain, agar ia dikenal sebagai pemberani dan sebagai pahlawan, maka orang seperti ini tidak akan mendapat pahala sedikitpun dari jihadnya berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ، مَالَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: )لَا شَيْءَ لَهُ( فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَا شَيْءَ لَهُ» ثُمَّ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ) رَوَاهُ النَّسَائِي

Baca juga:  HUKUM BERBOHONG SAAT BERCANDA

Artinya: Dari Abu Umāmah Al-Bāhilī radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ lalu bertanya, ‘Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang berjihad, ia mengharapkan pahala dan sanjungan (pujian), apakah yang ia dapatkan?’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Lalu orang itu mengulangi (pertanyaannya) tiga kali, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, ‘Dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali jika dilakukan dengan ikhlas dan mengharap rida-Nya.’” (HR. al-Nasā’ī)

Contoh lain, orang yang berhijrah dengan tujuan hanya untuk menikahi seorang wanita yang didambakannya, atau untuk meraup keuntungan dunia semata, maka dia hanya akan mendapatkan apa yang dia inginkan dari perkara dunia[4] berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

(…وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ) رَوَاهُ البُخَارِي وَ مُسْلِمٌ

Artinya: dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari dan Musllim)

 


Footnote:

[1] Lihat: Abdullah bin Shālih al-Fauzān, Minhatu al-‘Allām fī Syarhi Bulūgh al-Marām, (Cet. Dār Ibnul Jauzī, 1431 H), vol. 9, hal. 25.

[2] Lihat: Muhammad bin Ismā’īl al-Shan’ānī, Subulu al-Salām syarhu Bulūgh al-Marām, (cet. Dār al-hadīṡ), vol. 2, hal. 463

[3] Lihat: Muhammad bin Ismā’īl al-Shan’ānī, Subulu al-Salām syarhu Bulūgh al-Marām, (cet. Dār al-hadīṡ), vol. 2, hal. 463

[4] Lihat: Muhammad bin Shalih al-Uṡaimin, Syarh al-Arba’īn al-Nawwiyah, (Cet. Dār Surayya, 1425 H), hal. 17.

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Muh Hassanal

MasyaAllah barakallahufiik ustadz