SERIAL PENJELASAN RINGKAS HADIS TENTANG PUASA(1)
Daftar Isi:
REDAKSI HADIS:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ، أَوْ شَرِبَ؛ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang lupa dan dia berpuasa kemudian dia makan atau minum, hendaknya dia menyempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allahlah yang memberinya makan dan minum’.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari, no. 1933 dan Muslim dalam kitabnya, Shahih Muslim, no. 1155.
BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADIS:
Lihat: https://markazsunnah.com/perawi-islam-abu-hurairah/
PENJELASAN HADIS SECARA GLOBAL:
Hadis ini menjelaskan bahwa barang siapa yang makan dan minum dalam keadaan lupa maka puasanya tetap sempurna tanpa ada kekurangan karena dia melakukan hal tersebut tanpa ada maksud dan keinginan tertentu, bahkan itu merupakan rezki yang diberikan oleh Allah kepadanya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyandarkan “memberi makan dan minum” kepada Allah azza wa jalla. Dalam salah satu riwayat hadis disebutkan,
فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
“Hal itu semata-mata rezeki yang Allah antarkan kepadanya.” (H.R. al-Daraquthni, 2/178)
Olehnya, ketika segala perilaku disandarkan kepada Allah azza wa jalla, maka seorang hamba tidak akan dihukum dengannya. Hal ini karena perilaku tersebut dilarang tatkala dikerjakan dengan sengaja. Adapun ketika perilaku tersebut dikerjakan bukan karena kenginan kita maka hal tersebut tidak menjadi beban taklif bagi seorang hamba. Hadis ini juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara makan dan minum dengan kadar yang sedikit atau banyak sebagaimana keumuman lafaz hadis.
Demikian pula, tidak ada qada bagi pelakunya karena dia diperintahkan untuk menyempurnakan puasanya. Ketika dia menyempurnakannya, dia dikatakan telah berpuasa. Hal ini menunjukkan bahwa dia berpuasa dengan puasa yang sesungguhnya.
Sebagian ulama mengkiaskan makan dan minum dengan seluruh hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana dalam hadis Abu Salamah bin Abdirrahman, dari sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
“Barang siapa yang berbuka di bulan Ramadan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qada baginya begitupun juga tidak ada kafarat.” (H.R. Ibnu Hibban, 8/ 287 dan al-Hakim, 1/ 430)(2)
Adapun penyebutan makan dan minum dalam hadis ini, hanya dilihat dari kebanyakan yang terjadi pada manusia dan tidak dipahami bahwa hukum ini khusus berlaku pada makan dan minum saja sehingga hal itu tidak bisa dijadikan dalil untuk menafikan hukum pada sesuatu selain dari keduanya.
Hukum ini merupakan satu di antara kaidah umum, sebagaimana dalam firman Allah azza wajalla,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Tuhan kami, jangan Engkau hukum kami jikalau kami lupa atau salah.”
Telah datang kabar dalam hadis sahih bahwa Allah azza wa jalla mengabulkan permintaan tersebut dengan berfirman, “Sungguh Saya telah lakukan.” Dalam riwayat yang lain, Allah berfirman, “Iya.”(3) Ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, kemudahan atas hamba-Nya, serta cara Allah menghilangkan kesusahan dan kepayahan bagi hamba-hamba-Nya.
Barang siapa yang mendapati saudaranya makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaknya dia mengingatkannya karena hal ini merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar. Makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadan merupakan kemungkaran, dan orang yang lupa itu dianggap beruzur sehingga wajib untuk diingatkan seketika itu.
Barang siapa mandi, berkumur-kumur, atau istinsyaq’ kemudian air masuk ke tenggerokannya tanpa sengaja maka puasanya tidak batal. Begitu pula, jika masuk lalat, debu, atau lainnya di tenggerokan tanpa sengaja maka puasanya tidak batal karena hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari, dan juga bukan merupakan kehendak dan keinginannya, dia seperti orang yang lupa. Wallahu a’lam.
Yaa Allah, berikanlah kami taufik terhadap apa yang Engkau ridai, jauhilah kami dari kemaksiatan, dan jadikanlah kami hamba-hamba–Mu yang saleh, golongan yang selamat, dan ampunilah kami dan kedua orang tua kami dan juga seluruh kaum muslimin.
Footnote:
(1) Dari kitab Mukhtashar Ahāditsi al- Ṣiyām, karya Syekh Abdullah bin Sālih al-Fauzān hafizhahullah.
(2) Imam al-Hakim menyatakan hadis ini sahih sesuai syarat Imam Muslim dan disetujui oleh al-Dzahabi serta disahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram, lihat: Minhah al-‘Allam (5/ 50).
(3) Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 125 dan 126) secara maukuf dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, lafaz kedua dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, akan tetapi hadis ini hukumnya marfuk karena seperti ini tidak mungkin dikatakan dengan logika, wallahu a’lam.