عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ أن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ. رواه مسلم
Abu Umamah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafaat bagi pembacanya.”[1]
Hadis ini adalah dalil keutamaan membaca Al-Qur’an dan besarnya pahala yang didapatkan dari Allah subhanahu wa ta’ala, di mana ia akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat untuk masuk ke dalam surga.
An-Nawwas bin Sam’an berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Al-Qur’an akan didatangkan pada hari kiamat bersama pembacanya yang senantiasa mengamalkannya, kemudian surah al-Baqarah dan Ali Imran akan berada di depan.’ Rasulullah memberikan permisalan dari keduanya dan saya tidak pernah melupakannya. Rasulullah bersabda, ‘Seakan-akan keduanya dua awan besar atau dua bayangan hitam di antara keduanya terdapat cahaya, atau seakan keduanya dua rombongan burung berbaris-baris. Kedua surah tersebtu akan menjadi pembela bagi pembacanya.”[2]
Oleh karena itu, hendaknya bagi orang yang berpuasa untuk memperbanyak membaca al-Qur’an pada hari-hari yang berberkah ini dan juga malam-malamnya yang mulia. Itu karena memperbanyak membaca al-Qur’an di Bulan Ramadan memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Di antaranya untuk meraih kehormatan waktu pada bulan ini yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an. Membaca al-Qur’an di malam-malam pada Bulan Ramadan juga memiliki keutamaan, karena di malam hari kesibukan telah tiada, berkumpulnya semangat, hati dan lisan juga terlibat dalam tadabur. Wallahulmusta’an!
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, “Adapun larangan membaca al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus, adapun pada waktu-waktu yang utama seperti Bulan Ramadan, terkhusus pada malam-malam yang dinanti di dalamnya lailatulqadr atau di tempat yang mulai seperti di Makkah bagi yang mendatanginya dan dia bukan penduduk Makkah, maka disunahkan untuk memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan keutamaan waktu dan tempat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”[3]
Dan bagi pembaca al-Qur’an agar beradab dengan adab yang semestinya, di antaranya:
- Mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah ta’ala,
- Membaca dalam keadaan suci, dan
- Bersiwak
Karena itu semua termasuk dalam mengagungkan Kalamullah azza wajalla.
Hendaknya dia juga melafazkan ketika membaca al-Qur’an, dan bagi siapa yang mencukupi dengan sekadar melihat maka tidaklah disebut sebagai pembaca al-Qur’an, serta tidak akan mendapatkan pahala dari tilawahnya.[4] Hendaknya dia juga menadaburi apa yang dia baca karena inilah maksud utama.[5]
- Di antara adab ketika bertilawah adalah hendaknya pembaca al-Qur’an sujud ketika melewati ayat sajadah dalam keadaan berwudu di waktu apapun itu.
- Hendaknya dia tidak mengeraskan suaranya jika suaranya tersebut mengganggu orang sekelilingnya, sebagaimana yang disebutkan dari Abi Sa’id al-Khudry radhiallahu anhu dia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang beritikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan al-Qur’an mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda, ‘Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rab Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian dari kalian mengeraskan bacaan al-Qur’an terhadap yang lain.’ atau beliau mengatakan, ‘dalam shalat.’”[6] Wallahualam.
Ya Allah jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hati kami, cahaya bagi dada kami, pelipur kesedihan kami, penghilang bagi kesusahan kami, dan sebagai petunjuk bagi kami menuju kepada-Mu dan juga kepada surga yang dipenuhi kenikmatan. Ya Allah ingatkanlah apa-apa yang kami lupa darinya, ajarkanlah kami apa yang kami tidak ketahui, dan limpahkanlah rezeki kepada kami untuk membacanya dalam bentuk cinta dan keridaan-Mu, dan ampunilah kami serta kedua orang tua kami dan juga kepada setiap kaum muslimin.
Footnote:
[1] Shahih Muslim hal. 804.
[2] HR. Muslim (805), adapun perkataanya (شرق) dengan memfatahkan dan juga mensukunkan inilah yang terkenal dan maknanya adalah cahaya, dan (الحزقان) dengan mengkasrahkan al-ya’ al-muhmalah dan mesukunkan al-zay adapun mufradnya (حزق) yaitu jamaah. Adapun maknanya: kawanan atau kelompok dari burung, dan dalam riwayat lain dari Imam Muslim (فرقان) namun maknanya sama.
[3] Lathaiful Ma’arif hal: 201-202.
[4] Lihatl al-Tamhid karya Ibn Abdil Barr (11/46), Fatwa Ibn Baz (24/381).
[5] Lihat al-Tazakkur fi Afdhali al-Azkar karya al-Qurtubi hal. (109).
[6] HR Abu Daud (1332), dan al-Nasa’i dalam kitabnya al-Kubra (7/288-289), Ahmad (18/392-393), juga memiliki penguat dari hadis al-Bayadhi radhiallahu anhu, diriwayatkan oleh Malik (1/80), dan juga dengan jalan yang sama al-Nasa’i di dalam kitabnya al-Kubra (7/288), Ahmad (31/363), dan berkata Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya al-Tamhid (23/309), “Hadis al-Bayadi dan hadis Abi Sa’id keduanya tsabit dan sahih, wallahualam. Juga memiliki penguat dari hadis Ibnu Umar radhiallahu anhu, diriwayatkan oleh Ahmad (8/523).