لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka akan selamat dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. Ali-‘Imran: 188)
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي ضَرَّةً، فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
Dari Asma binti Abi Bakar raḍiyallāhu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya seorang wanita datang menjumpai Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saya memiliki seorang madu, apakah berdosa apabila di hadapan maduku, saya berlagak kenyang karena nafkah suami yang tidak pernah ia berikan kepadaku?” Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berlagak kenyang dengan apa yang tak ia dapatkan ibarat seseorang yang memakai dua pakaian dusta.”[1]
⁕⁕⁕
Sifat hasad, iri hati dan cemburu adalah penyakit kronis yang dapat menimpa siapapun juga, tak kenal tua atau muda, pria atau wanita. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat beliau secara umum tentang bahayanya penyakit hasad dengan bersabda,
لاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling hasad, janganlah saling membelakangi, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.”[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa hasad adalah penyakit dominan yang sangat sedikit dari manusia dapat terbebas darinya. Oleh karena itu, dalam sebuah ungkapan disebutkan “Tak ada jasad yang selamat dari hasad, orang yang tercela adalah yang menampakkan hasadnya sedang orang yang mulia adalah yang menyembunyikannya.”[3]
Sifat hasad, iri hati dan cemburu akan melahirkan berbagai macam dosa dan kemaksiatan, seperti prasangka buruk, gibah, namīmah, fitnah, dendam, aniaya, dusta, permusuhan bahkan pembunuhan sekalipun. Olehnya, sangat pantas jika penyakit hasad digolongkan sebagai salah satu pangkal segala dosa. Ketika rasa cemburu dan iri hati seorang wanita kepada madunya membuat ia berlagak kenyang di hadapannya namun dengan dasar dusta bahwa ia mendapatkan nafkah yang lebih banyak dari suami mereka, maka tatkala ditanya perihal tersebut, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melabelinya sebagai sebuah dosa. Mengapa demikian? Ibnu Batthal rahimahullāh menjelaskan bahwa perilaku tersebut tergolong sebuah dosa karena ia dapat membuat perasaan saudarinya tersakiti.[4] Demikian pula dengan pria yang berlagak mendapatkan nikmat yang sebenarnya tidak pernah dimilikinya dengan tujuan membanggakan dirinya dan menyakiti perasaan saudaranya, hal itu termasuk sebuah dosa.
Mengapa pula Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memisalkannya dengan seseorang yang memakai dua pakaian dusta? Sebab, wanita tersebut telah berdusta sebanyak dua kali, yaitu mendustai dirinya bahwa ia mendapatkan nafkah yang lebih banyak, sekaligus telah mendustai madunya dengan hal tersebut.
Adapun permisalannya dengan pakaian dusta, al-Khatthabi rahimahullāh menjelaskan, “Permisalan dengan dua pakaian dusta atas perilaku buruk tersebut memiliki dua makna. Pertama, bahwa ungkapan pakaian adalah sebuah perumpamaan yang terkadang digunakan oleh kaum Arab untuk menggambarkan tentang keadaan seseorang, sehingga orang yang berperilaku tersebut sama saja kedudukannya dengan orang yang berdusta. Kedua, bahwa beberapa kaum Arab dahulu senang berpenampilan dan berhias dengan pakaian yang bagus dan mencolok hingga suku-suku Arab mengenali mereka. Tatkala suku-suku Arab itu ingin menghadirkan seorang saksi palsu dalam sebuah peristiwa atau kasus, mereka akan meminta fulan dan fulan untuk menjadi saksi palsu sebab tidak akan ada yang meragukan kesaksiannya karena popularitasnya dengan penampilan dan hiasan pakaian indah mereka.”[5]
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka akan selamat dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”[6]
Footnote:
[1] H.R. Bukhari nomor 5219 dan Muslim nomor 2130.
[2] H.R. Bukhari nomor 6076 dan Muslim nomor 2558.
[3] Majmū’ al-Fatāwā, 10/124-125.
[4] Syarah Ṣahīh Bukhārī, 7/346-347.
[5] Ma’ālim Sunan, 4/135.
[6] Q.S. Ali-‘Imran ayat 188.