Ketiga: Perawinya Memiliki Dhabt yang Sempurna
Perawi hadis shahih li dzatihi harus taamm al–dhabt (memiliki dhabt yang sempurna). Taam al–dhabt artinya kekuatan penjagaan hadis yang ia terima dari guru-gurunya harus kuat dan sempurna. Ia bisa salah atau lupa dalam meriwayatkan hadis lantaran ia juga manusia biasa, tetapi persentase kesalahan tersebut sangat sedikit.
Para ulama hadis membagi jenis dhabt (penjagaan hadis) ini dalam dua jenis:
- Dhabt al-Shadr.
Yaitu hafalan hadis di luar kepala. Maknanya adalah seorang perawi menguatkan hafalan hadis yang ia riwayatkan sehingga ia bisa mengucapkan hadis itu kapan saja tanpa melihat buku atau tanpa muraja’ah hafalan terlebih dahulu.
- Dhabt al-Kitab.
Yaitu hafalan atau penjagaan hadis melalui buku. Maknanya adalah seorang perawi yang menulis hadis dalam bukunya, ia menjaga tulisan hadisnya tersebut agar tidak dirubah atau terhapus, sejak ia menuliskan hadis itu dari lisan gurunya sampai ia meriwayatkan hadis itu lewat bacaan tulisannya itu kepada murid-muridnya.
Perawi yang tidak kuat hafalannya, tetapi buku catatan hadisnya terjaga, maka ia bisa diterima hadisnya jika meriwayatkan hadis itu melalui bacaan bukunya. Jika melalui hafalannya, maka hadisnya dianggap lemah, karena hafalannya lemah. Contoh perawi seperti ini adalah al-Laits bin Abi Sulaim.
Namun demikian, bila ada perawi yang tidak menjaga buku catatan hadisnya sehingga dirubah oleh orang lain seperti warraaq atau sekretarisnya, atau anaknya, maka riwayat perawi tersebut akan ditinggalkan karena buku catatan hadis yang diriwayatkan darinya sudah dirubah sehingga tidak lagi diketahui mana hadis Nabi dan mana yang bukan. Perawi seperti ini contohnya adalah Sufyan bin Waki’ al-Ruasiy. Meskipun ia shaduq, tetapi karena sekretarisnya merubah-rubah catatan buku hadisnya, maka riwayat Sufyan bin Waki’ ini didaifkan.
Demikian pula bila seorang perawi memiliki buku salinan hadis dari sebuah buku hadis (al-kitab al-ashl), lalu ia tidak mencocokkan buku salinannya tersebut dengan buku aslinya untuk tujuan pentashihan tulisan, maka para ulama hadis tidak menerima riwayat dari buku salinannya tersebut, kecuali dengan beberapa syarat, yaitu:
- Buku salinan hadis itu disalin dari buku hadis yang diakui (ashlun mu’tamad);
- Penyalin catatan hadis itu profesional (mutqin) dalam menyalin;
- Ketika meriwayatkan hadis dari buku salinan itu, perawi hendaknya menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa ia belum mencocokkan hadisnya tersebut dengan buku aslinya. Poin terakhir ini, bila tidak dipahami, maka tidak ada problem, karena ia adalah salah satu kajian ilmu hadis yang sudah jarang dipraktikkan. Hanya saja, kita bisa mengambil satu manfaat bahwa ahli hadis sangat detail dan hati-hati, sampai-sampai salinan buku hadis yang belum dicocokkan kembali dengan buku aslinya tidak dapat diterima kecuali dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Bila hafalan luar kepala atau dhabt al–shadr pada seorang perawi lemah, maka ada lima kemungkinan bagi perawi tersebut, yaitu:
- Fuhsy al-Galath.
Yaitu kesalahan riwayat hadisnya terlalu banyak bila dibanding dengan kebenarannya. Perawi jenis ini dinamakan “Fahisyul-Galat“.
- Syiddah al-Gaflah.
Yaitu banyak lalai dan tidak kuat hafalannya sehingga tidak bisa membedakan antara yang benar dan salah dalam riwayat hadisnya. Perawi jenis ini dinamakan “Syadidul-Gaflah“.
- Katsrah al-Wahm.
Yaitu banyak meriwayatkan hadis dengan keragu-raguan dan mereka-reka riwayat tersebut. Perawi jenis ini dinamakan “Katsirul-Wahm“.
- Katsrah al-Mukhalafah.
Yaitu riwayat hadisnya banyak menyelisihi riwayat hadis para tsiqah pada riwayat hadis yang sama. Perawi jenis ini dinamakan “Katsirul-Mukhalafah“.
- Suu’ul-Hifzhi.
Yaitu kekuatan hafalannya tidak jelas, 50 % kuat dan 50 % lemah. Perawi jenis ini dinamakan “Sayyi’ul-Hifzhi“.
Lima istilah ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan “Hadis Dha’if”, insya Allah. (Lihat: Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil: 28)
Tentunya dalam praktik pencarian ‘adaalah dan dhabt para perawi ini, kita akan mendapati adanya perawi yang tidak diketahui derajat atau sifat ‘adalah-nya, entah karena namanya tidak disebutkan, atau perawinya tidak diketahui identitasnya, atau sebab lainnya. Perawi yang tidak diketahui sifat ‘adaalah-nya disebut sebagai perawi majhul. Perawi majhul ini terbagi dalam empat jenis:
- Majhul al-‘Ain.
Yaitu perawi yang hanya memiliki satu murid yang meriwayatkan darinya dan ia belum ditentukan derajatnya.
- Majhul al-Hal atau al-Mastur.
Yaitu perawi yang memiliki dua murid atau lebih tapi derajatnya belum ditentukan.
- Mubham.
Yaitu perawi yang tidak disebutkan namanya dalam sanad hadis.
- Muhmal.
Yaitu perawi yang namanya hanya disebutkan dengan satu suku kata sehingga berimbas pada ketidakjelasan identitasnya.
Persoalan “majhul” ini akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan selanjutnya, insya Allah.