A. Nama dan Kelahirannya
Sa’īd bin al-Musayyib dikenal sebagi penghulu para tābi’īn, menantu Abū Hurairah, ahli hadīṡ, termasuk dalam al-fuqahā’ al-sab’ah (tujuh pakar fikih Madīnah), sosok ulama tābi’īn yang berwibawa, ahli ibadah dan terkemuka di berbagai bidang ilmu.
Nama lengkapnya adalah Abū Muhammad Sa’īd bin al-Musayyib bin Hazn bin Abī Wahb bin ‘Amr bin Ᾱ’iż bin ‘Imrān bin Makhzūm bin Yaqaẓah al-Qurasyī al-Makhzūmī.[1]
Ia berasal dari banī Makhzūm. Ayahnya, al-Musayyib, dan kakeknya, Hazn, adalah termasuk dari sahabat Nabi. Kakeknya masuk Islam saat Fatḥu Makkah, dan wafat di perang Yamamah dalam pemerintahan Abū Bakr al-Siddīq.[2] Ayahnya adalah di antara sahabat yang membaiat Nabi ﷺ di Bai’at al-Riḍwān (janji kesetiaan) di tahun 6 H.[3]
Ia lahir di Madinah pada tahun kedua atau keempat setelah Umar bin al-Khaṭṭab raḍiyallāhu ‘anhu didaulat sebagai khalifah.[4] Kepemimpinan Umar bin al-Khaṭab raḍiyallāhu ‘anhu dimulai dari tahun 13 H hingga 23 H. Dari data ini dapat diperkirakan bahwa tahun kelahiran Sa’īd bin al-Muayyib adalah sekitar tahun 15 H.
B. Perkembangan Keilmuannya
Dalam lalu lintas sejarah, sering ditemui bahwa perkembangan ilmu seorang tokoh didukung oleh faktor eksternal dan internal, seperti kondisi sosial masyarakatnya, lingkungan keluarganya, dan kesungguhan pribadinya dalam menimba ilmu.
Perkembangan ilmu Sa’īd bin al-Musayyib sangat didukung oleh faktor-faktor tersebut. Ia lahir di kota Madinah, yang saat itu merupakan ibu kota kekhilafahan Islam. Suasana keilmuan di kota ini sangat kental karena mayoritas senior-senior sahabat Nabi masih mendiami kota ini. Oleh karena itu, wawasan keilmuannya berkembang sejak masa kecilnya di bawah bimbingan para sahabat.
Keberadaan sahabat-sahabat Nabi di kota Madinah bagai mata air ilmu yang tidak ia sia-siakan. Langkah kakinya selalu tergerak untuk menimba ilmu dari mata air yang jernih itu. Imam Malik bin Anas (w. 179 H) meriwayatkan bahwa Sa’īd bin al-Musayyib di masa menuntut ilmu, selalu ber-mulāzamah kepada Sa’d bin Abī Waqqāṣ dan Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhum.[5]
Ketekunan dan kesungguhan Sa’īd bin al-Musayyib dalam menuntut ilmu tidak diragukan lagi. Di manapun sumber ilmu itu berada, ia bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Hal itu diketahui dari penuturan Sa’īd bin al-Musayyib sendiri, ia berkata, “Aku pernah melakukan perjalanan panjang berhari-hari untuk mendapatkan satu buah hadīṡ.”[6]
Dalam hal periwayatan hadīṡ, Sa’īd bin al-Musayyib murni mengambil dari sahabat Nabi atau tabi’īn yang ṡiqah. Oleh karenanya, jika hadīṡ mursal masuk dalam kategori hadīṡ ḍa’īf, maka berbeda dengan hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib. Ahmad bin Hambal (w. 241 H) berkata, “Kumpulan hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib mayoritasnya adalah ṣaḥīḥ.[7] Al-Zahabī (w. 748 H) berkata, Hadīṡ mursal riwayat Sa’īd bin al-Musayyib adalah hujjah.”[8]
Allah ﷻ tidak menyia-nyiakan usaha orang yang mau menggapai derajat kebaikan. Dari kegigihan Sa’īd bin al-Musayyib dalam menuntut ilmu, ia dikaruniai gelar kehormatan sebagai mufti di saat sahabat-sahabat Nabi masih hidup. Ia juga dikenal sebagai “pakar dalam fikih Umar bin al-Khaṭṭāb”. Di masanya, Sa’īd bin al-Musayyib adalah ulama yang paling dalam pengetahuannya tentang fiqih Rasulullah ﷺ, Abū Bakr al-Siddīq, Umar bin al-Khaṭṭāb dan Uṡmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhum.[9]
C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Kemuliaan para tābi’in disebabkan karena Allah ﷻ menakdirkan mereka sempat bertemu langsung dengan sahabat-sahabat Nabi raḍiyallāhu ‘anhum, hidup dalam lingkungan para sahabat, dan dididik dalam tarbiyah mereka.
Guru-guru Sa’īd bin al-Musayyib banyak dari kalangan sahabat senior, seperti Uṡmān bin al-‘Affān, ‘Alī bin Abī Ṭālib, Zaid bin Ṡābit, Abū Mūsā al-Asy’arī, Sa’d bin Abī Waqāṣ, Abū Hurairah, Abdullah bin ‘Abbās, Muhammad bin Maslamah, Ummu al-Mukminīn Aisyah, Ummu Salamah dan yang lainnya.
Dari didikan Sa’īd bin al-Musayyib, lahirlah murid-murid yang menjadi ulama besar di zaman mereka, seperti Usāmah bin Zaid al-laiṡī, Ismā’īl bin Umayyah, Abdurrahmān bin al-Harmalah, Alī bin Jud’ān, Amr bin Syu’aib, Amr bin Dinār, Muhammad bin Syihāb al-Zuhrī, Ibnu al-Munkadir, Yahya bin Sa’īd al-Anṣarī, Bukair bin al-Asyaj dan yang lainnya.
Kontribusi Sa’īd bin al-Musayyib dalam mengkhidmat hadīṡ-hadīṡ Rasulullah ﷺ dan membimbing umat sangat besar. Dalam berbagai literatur hadīṡ, namanya kerap tergabung dalam rantai sanad periwayatan, sehingga namanya abadi di lembar-lembar al–kutub al-tis’ah. Sumbangsihnya dalam perkembangan dunia hadīṡ bagai perniagaan yang sukar ditakar, pengorbanannya dalam menghidupkan sunnah bagai berlian tak ternilai.
Sebagai contoh, diriwayatkan dari Ibnu Abī al-Zinād bahwa ketika Sa’īd bin al-Musayyib terbaring sakit, al-Muṭālib bin Hanṭab datang bertanya tentang hadīṡ padanya, ia pun berkata kepada orang disekitarnya, “Dudukkanlah aku, aku tidak ingin mengajar hadīṡ dalam kondisi berbaring, karena hadīṡ Rasulullah ﷺ itu sangat agung.”[10]
D. Apresiasi Ulama Terhadapnya
Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Sa’īd bin al-Musayyib pernah berfatwa dalam satu permasalahan. Ketika fatwanya didengar oleh Abdullāh bin ‘Umar, Abdullah bin Umar takjub dan mengakui kedalaman ilmunya, lalu berkata, “Demi Allah, dia (Sa’īd bin al-Musayyib) adalah tokoh ulama yang berhak menyampaikan fatwa.”[11] Abdullāh bin ‘Umar juga pernah berkata, “Jika Rasulullah ﷺ melihatnya (Sa’īd bin al-Musayyib), niscaya beliau akan bangga padanya.”[12]
Alī bin al-Madīnī berkata, “Aku tidak mengenal tokoh tābi’īn yang paling luas ilmunya melebihi Sa’id bin al-Musayyib, menurutku dialah sosok tabi’in yang paling mulia.”[13]
Muhammad bin Syihab al-Zuhrī berkata, “Aku belajar kepada Sa’īd bin al-Musayyib selama tujuh tahun, aku memprediksi tidak ada ulama yang lebih tinggi ilmunya darinya.”[14] Qudamah bin Musa berkata, “Sa’īd bin al-Musayyib telah diizinkan berfatwa ketika banyak sahabat Nabi masih hidup.”[15]
Imam Malik berkata, “Tidaklah Umar bin Abdu al-Azīz memutuskan satu perkara -ketika ia menjadi gubernur Madinah- kecuali ia lebih dulu meminta saran dan masukan Sa’īd bin al-Musayyib.”[16]
E. Ibadahnya, Waraknya dan Keahliannya dalam Takwil Mimpi
Di masanya, Sa’īd bin al-Musayyib bukan hanya dikenal dengan kedalaman ilmunya, melainkan juga sebagai ahli ibadah yang luar biasa. Ia adalah contoh ulama yang hakiki, ilmu dan amalnya berjalan selaras, perkataan dan perbuatannya selalu seimbang, zuhud terhadap dunia namun sangat “loba” terhadap akhirat.
Sa’īd bin al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah tertinggal salat berjemaah sejak 40 tahun lalu.”[17] Burd, pembantu Sa’īd bin al-Musayyib, berkata, “Sejak 40 tahun, tidaklah mu’ażin mengumandangkan ażan kecuali Sa’īd bin al-Musayyib telah berada di masjid.”[18]
Dari Abd al-Mun’im bin Idris, dari ayahnya, meriwayatka bahwa Sa’īd bin al-Musayyib terbiasa salat Subuh dengan wudu (yang belum batal) dari salat Isyanya sejak 50 tahun lalu.[19] Sa’īd bin al-Musayyib juga pernah berkata, “Sejak 50 tahun, aku tidak pernah tertinggal takbir pertama (dalam salat berjemaah), aku juga tak pernah melihat punggung orang yang sedang salat di depanku (karena ia selalu berada di ṣaf paling depan).[20]
Abdurrahman bin Harmalah pernah bertanya kepada Burd, pembantu Sa’īd bin al-Musayyib, “Bagaimana salat malam tuanmu di rumah?” Ia menjawab:, “Ia selalu mendirikan salat, setiap malam ia tidak pernah meninggalkan membaca surah Ṣad, (karena keutamaan ayat sajadah di dalamnya, pen).”[21]
Yazid bin Hazim berkata, “Sa’īd bin al-Musayyib dikenal gemar menyinambungkan puasa, jika matahari terbenam, maka keluarganya membawakan baginya satu gelas air di masjid untuk ia berbuka.”[22] Dari Abdurrahman bin Harmalah juga, meriwayatkan bahwa Sa’īd bin al-Musayyib pernah berkata, “Aku telah melakukan haji 40 kali.”[23]
Imran bin Abdillah berkata, “Sa’īd bin al-Musayyib tidak pernah menerima sedikitpun pemberian, satu dinar atau pun satu dirham, baik itu dari orang biasa atau penguasa.”[24] Kebutuhan hidupnya ia dapatkan dari berdagang minyak. Ia pernah berkata, “Tidak baik orang yang tidak berusaha mendapatkan harta halal, karena dengan harta itu ia dapat menafkahi keluarganya dan tidak menghinakan dirinya dengan meminta-minta pada orang lain.”[25]
Muhammad bin Umar berkata, “Sa’īd bin al-Musayyib memiliki keahlian dalam takwil mimpi, ia mempelajarnya dari Asmā’ binti Abī Bakr, dan Asmā’ mempelajarinya dari ayahnya.”[26]
Umar bin Habīb bin Qalī’ meriwayatkan bahwa suatu hari seorang utusan dari Abdullah bin al-Zubair meminta Sa’īd bin al-Musayyib untuk menakwil mimpi Abdullah bin al-Zubair. Dalam mimpinya, ia melihat seakan ia menangkap Abdu al-Malik bin Marwān, lalu ia menjatuhkannya ke tanah dan menindihnya dengan empat tiang. Sa’īd bin al-Musayyib lalu menjawab, “Jika mimpinya benar, takwilnya adalah Abdu al-Malik bin Marwān akan membunuhnya, dan akan ada empat dari keturunan Abdu al-Malik bin Marwān yang menjadi penggantinya,” kemudian hal itu benar terjadi.[27]
F. Wafatnya
Setelah Sa’īd bin al-Musayib berkhidmat untuk hadīṡ-hadīṡ Rasulullah ﷺ, mengajarkan hukum-hukum fikih, membimbing umat kepada jalan yang sesuai manhaj Rasulullah ﷺ, Sa’īd bin al-Musayib mengalami kebutaan pada sebelah pandangannya di masa senjanya.[28]
Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan tahun wafat Sa’īd bin al-Musayyib. Namun yang paling valid menurut al-Zahabī (w. 748 H) dan Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H), ia wafat di usia sekitar 79 tahun, yaitu pada tahun 94 H, tahun yang dikenal dalam literasi sejarah sebagai tahun wafatnya para fuqahā’, karena saking banyaknya ahli fikih yang wafat di tahun itu.[29]
Footnote:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), vol. 4, h. 217.
[2] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (cet. 1, Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), vol. 5, h. 591.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Sahābah, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1415 H), vol. 6, h. 96. Ibnu Khilkan dalam karyanya: Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, menyebutkan ada dua artikulasi (cara ucap) nama Musayyib, pertama dalam logat penduduk Kufah: dengan memfathahkan “ya“, yaitu Musayyab, kedua dalam logat penduduk Madinah: dengan mengkasrahkan ‘ya’ yaitu Musayyib.
[4] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, vol. 11, h. 67.
[5] Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, (cet. 2, Mu’assasah al-Risālah, Bairut, 1401 H/1981 M), vol. 1, h. 470.
[6] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 222.
[7] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 222.
[8] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 221.
[9] Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, vol. 1, h. 471.
[10] Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, vol. 1, h. 470.
[11] Abū Yusuf Ya’qūb bin Sufyan al-Fārisī, al-Ma’rifah wa al-Tārīkh, vol. 1, h. 469.
[12] Abu al-Falah Abdu al-Hay bin Ahmad al-‘Akrī, Syażarāt al-Zahab fī Akhbār man Zahab, (cet. 1, Dār Ibni Kaṡīr, Damaskus, 1406 H/ 1986 M), vol. 1, h. 370.
[13] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 222.
[14] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, Tahzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, , vol. 11, h. 70.
[15] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 224.
[16] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 224.
[17] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, (cet. 3, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1409 H), vol. 2, h. 162
[18] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 163.
[19] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 163.
[20] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 163.
[21] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 164.
[22] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 163.
[23] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 4, h. 222.
[24] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 167.
[25] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, vol. 2, h. 173.
[26] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1410 H/ 1990 M), vol. 5,h. 93.
[27] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, vol. 5,h. 93.
[28] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, vol. 4, h. 237.
[29] Ibnu Khilkān, Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (cet. 1, Dār al-Shādir, Bairut, 1971 M) vol.2, h. 378. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Tażkirat al-Huffāz, (cet. Dār l-Kutub al-Ilmiyah, Libanon, 1419 H/ 1998 M), vol. 1, h. 45. Lihat juga: Ibnu Hajar al-Asqalānī, Tahżīb al-Tahżīb, (cet. 1, Dairatu al-Ma’arif, India, 1326 H), vol. 4, h. 86.