POTRET PENGAGUNGAN ULAMA SALAF TERHADAP SUNAH (BAGIAN 1)

472
POTRET PENGAGUNGAN ULAMA SALAF TERHADAP SUNAH BAGIAN I
POTRET PENGAGUNGAN ULAMA SALAF TERHADAP SUNAH BAGIAN I
Perkiraan waktu baca: 5 menit

Mukadimah

إنّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده و رسوله

قال تعالى : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(2)

قال تعالى : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi, sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu.(3)

قال تعالى : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu, dan mengampuni dosa-dosamu, dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia mendapat kemenangan yang besar.(4)

إنّ أصدق الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرّ الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكلّ ضلالة في النار

Artinya: Sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya kepada  umat manusia untuk menjelaskan tentang agama yang Allah turunkan kepada mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya, dan membawa mereka kepada jalan yang lurus, serta mewajibkan bagi manusia untuk menaatinya, mencintainya, memuliakannya, dan mengagungkannya.

Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman,  taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan (taatilah) ululamri (para pemegang kekuasaan).”(5)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak (sempurna) iman salah seorang diantara kalian, hingga mencintai saya melebihi cintanya kepada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia(6).

Dan sesungguhnya generasi yang telah meniti jalan ini dan layak untuk menjadi qudwah bagi kita adalah generasi para sahabat radhiyallahu anhum. Mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai dan menaati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka adalah generasi yang menjadikan sunah Nabi dan petunjuknya melebihi segalanya di dunia ini, perkataan Nabi bagi mereka adalah yang terdepan, dan mereka mendahulukannya dari seluruh perkataan manusia siapapun juga.

Baca juga:  FADILAT MEMPELAJARI HADIS DAN PARA AHLI HADIS

Mereka adalah penjaga dan pembela sunah Nabi, apabila mereka melihat seseorang menyelisihi sunah atau mengolok-olok sebagian darinya –disengaja maupun tidak disengaja- maka mereka akan mencelanya, menghardiknya bahkan memboikotnya, mereka tidak akan berbicara dengannya dan enggan memberikan tempat kepadanya, bahkan terkadang mereka memukulnya atau membunuhnya sebagai hukuman (ta’zir) atau karena murtad.

Dengan cara itulah mereka bisa membentengi sunah dari makar musuh-musuh Islam. Mereka adalah penegak pilar nasehat bagi Allah dan Rasul-Nya serta bagi seluruh kaum muslimin, kemudian datang setelah mereka generasi tabiiin, yang meniti metode serupa dalam membentengi sunah Nabi.

Hingga tibalah kita pada suatu masa, di mana manusia telah jauh berlalu dari masa keemasan di atas, telah merebak fenomena degradasi keimanan, telah tersebar maksiat dan kemunafikan, dan sifat warak telah terboikot, telah jamak kelancangan manusia untuk berbicara tentang agama (tanpa ilmu). Manusia pun berbicara berdasarkan hawa nafsunya dan mengucapkan kalimat yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya.

Dan zaman ini adalah zaman fitnah. Kita menyaksikan banyak keanehan dan keajaiban, melihat banyak pelanggaran besar yang tidak boleh didiamkan. Dan di antara keanehan dan pelanggaran besar yang banyak kita saksikan adalah tersebarnya fenomena pelecehan terhadap sunah, merebaknya sikap mengolok-olok warisan Nabi Muhammad, munculnya kelancangan untuk menyelisihi sunah dengan akal semata, menandinginya dengan hawa nafsu dan adat-istiadat buatan manusia. Misalnya, fenomena mengolok-olok jenggot, mencela orang yang tidak isbal, penolakan terhadap hijab bagi wanita muslimah, membenci siwak, dan mencela salat yang menghadap sutrah (pembatas) dan sunah-sunah yang lainnya.

Adalah hal yang lumrah pada zaman ini, jika telinga kita mendengarkan lisan-lisan zalim mencela sunah-sunah di atas dengan keji, atau bahkan melecehkan dan memperolok-olok orang yang menghiasi dirinya dengan sunah-sunah tersebut, dan mereka menghabiskan waktu serta kesempatan untuk menertawakan dan mengejek orang yang menghidupkan sunah-sunah Nabi. Sungguh sangat layak jika perbuatan-perbuatan mereka dimasukkan ke dalam golongan yang diancam oleh Rasulullah dalam sabdanya,

وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat karena kebenciannya kepada Allah, dan dia meremehkan perkataan tersebut, dan ternyata –pada hari kiamat- kalimat tersebut menjadi penyebab masuknya dia ke dalam Jahanam.”(7)

Dan ironisnya, mayoritas umat manusia pada zaman ini lupa atau berpura-pura  lupa terhadap sebuah urusan yang sangat penting, yaitu bahwa mengolok-olok agama merupakan perbuatan kufur, baik perbuatan tersebut dilakukan atas dasar gurauan semata, atau dia dilakukan dengan penuh keseriusan. Sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan hal yang bisa mengeluarkan pelakunya dari lingkup agama Islam.

Baca juga:  POLEMIK SEPUTAR HADIS AHAD (BAGIAN III)

Ibnu Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah mengatakan, “Barang siapa mencela Allah maka dia telah kafir, baik dia melakukannya dengan main-main ataupun serius, demikian pula bagi yang mengolok-olok Allah subhanahu wa ta’alaatau mengolok-olok ayat-ayat-Nya atau mengolok-olok Rasul-Rasul-Nya ataupun kitab-kitab-Nya.”(8)

Oleh karena itu, berangkat dari fenomena di atas, kami pun bertekad untuk menulis artikel ini, sebagai kontribusi dalam rangka memperingatkan umat dari fenomena yang sangat menyedihkan ini, dan memberikan peringatan kepada umat atas bahayanya, serta menjelaskan sikap seorang muslim sejati kepada pelaku-pelakunya. Dalam artikel ini, kami akan mengutip ayat-ayat, hadis-hadis dan atsar-atsar (perkataan para ulama) terkait urgensi pengagungan kita terhadap sunah, dan menjelaskan hukuman yang akan diterima bagi para pembangkang dan pengolok sunah ketika di dunia, dan akan menjelaskan pula tentang sikap para ulama salaf terhadap pelaku dari kemaksiatan di atas.

Dalam artikel ini, kami hanya akan menukil nas-nas syariat (Al-Qur’an dan sunah),(9) dan melengkapinya dengan komentar-komentar dari para ulama salaf. Hal ini sudah cukup, Insya Allah, untuk menjelaskan sebuah kebenaran yang terpendam dan menyingkap hidayah yang terhalang, terkhusus bagi hati-hati yang terbuka untuk menerima kebaikan dan hidayah. Adapun komentar-komentar dari kami pribadi, sangatlah sedikit dibandingkan nas-nas yang kami sebutkan di atas, dan kami memohon kepada Allah agar artikel ini bisa memberikan manfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.

Adapun makna kalimat assunnah yang banyak menghiasi artikel ini, kami mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sunah dalam artikel ini bukanlah sinonim dari kalimat mandub dan mustahab(10) yang sangat masyhur dalam istilah fikih, yaitu antonim dari kalimat makruh. Dan bukan pula yang kami maksud dengan kalimat sunah adalah antonim dari Al-Qur’an, sebagaimana kalimat yang sering dikatakan: dalil dari kitab (Al-Qur’an) adalah begini, dan dalil dari  sunah (hadis) adalah begini. Namun yang kami maksud dengan sunah dalam artikel ini adalah metode dan petunjuk, atau petunjuk Nabi shallahu ‘alaihi wasallam dan jalannya. Kalimat sunah dalam artikel ini sangat umum, mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan sunah (mustahab), dan mencakup masalah-masalah akidah, masalah-masalah ibadah, ataupun masalah muamalah dan suluk (tingkah laku).

Ulama salaf mengatakan bahwa yang dimaksud dengan assunnah adalah mengamalkan kitab (Al-Qur’an) dan sunah (hadis), dan ber-qudwah dengan para salaf yang saleh, dan mengikuti atsar (perkataan-perkataan para ulama salaf).(11)

Baca juga:  KEDUDUKAN HADIS MENURUT AL-QUR'AN

Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah (wafat tahun 535 H) mengatakan bahwa para pakar bahasa Arab mengatakan yang dimaksud dengan sunah adalah jalan dan metode hidup.  Jika ada yang mengatakan fulan berada di atas sunah atau seorang ahlus sunnah maka maksudnya perbuatan dan perkataannya sesuai dengan wahyu (Al-Qur’an dan sunah) dan al-atsar, karena seseorang tidak disebut ahlus sunnah jika dia menyelisihi Allah dan Rasul-Nya(12).

Ibnu Rajab al-Hambaliy rahimahullah (wafat tahun 795 H) berkata, “Dan yang dimaksud dengan sunah adalah jalan yang ditempuh, maka kalimat tersebut mencakup berpegang teguh dengan yang yang diwariskan Rasulullah dan para Khulafa-ur Rasyidin dalam masalah akidah dan masalah amalan serta perkataan. Inilah makna sunah yang sempurna.” Oleh karena itu, para ulama salaf yang terdahulu tidaklah menyebut kata sunah kecuali maknanya mencakup seluruh yang kami jelaskan. Dan makna sunah yang kami jelaskan tadi juga diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, Abu Abdurahman al-Auza’iy, dan Fudhail bin Iyadh rahimahumullah.(13)

Bersambung….


Footnote:

(1) Karya: Fadhilatus Syaikh Dr. Abdul Qoyyum al-Suhaibaniy hafizhahullah, diterjemahkan oleh ustaz Lukmanul Hakim Sudahnan, Lc., M.A.

(2) Q.S. Ali Imran, ayat 102

(3) Q.S. al-Nisa ayat 1

(4) Q.S. al-Ahzab, ayat 70-71

(5) Q.S. al-Nisa, ayat 59

(6) Diriwayatkan Imam al-Bukhari No. Hadis: 15, dan Imam Muslim No. Hadis: 70

(7) Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, No. Hadis: 6478

(8) al-Mughniy 12/298

(9) Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam artikel ini adalah salah satu metode penulisan para ulama salaf dahulu, yaitu dengan menyebutkan bab kemudian menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis serta atsar para ulama salaf tanpa ada penjelasan dan komentar panjang lebar dari penulis. Mungkin sebagian orang akan merasa bosan dengan metode ini, namun metode ini akan membina kita untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an dan hads Nabi serta perkataan para ulama kita. Merupakan salah satu tanda hati yang sakit ketika kita tidak mampu mengambil manfaat dari untaian firman  Allah dan sabda Rasulullah. Allahu Musta’an.

(10) Mustahab adalah salah satu hukum taklif, maknanya adalah sesuatu yang jika dilakukan akan mendapatkan pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa, pent.

(11) Lihat al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, 2/428

(12) Lihat al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, 2/384

(13) Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 28

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Luluk (kemenangan, intan, mutiara, permata) Purwi

?kalau bisa ini diedit nggih..

إنّ أصدق الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرّ الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكلّ ضلالة في النار

Artinya: Sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya kepada umat manusia untuk menjelaskan tentang agama yang Allah turunkan kepada mereka, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya, dan membawa mereka kepada jalan yang lurus, serta mewajibkan bagi manusia untuk menaatinya, mencintainya, memuliakannya, dan mengagungkannya

?

بسم الله الرحمن الرحيم

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.”[1]
Syaikh Al Albani mengatakan, ”Perkataan Ibnu ’Abbas ”bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan”, ini pertanda bahwa menjama
shalat ketika hujan sudah dikenal di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Seandainya bukan demikian, lantas apa faedahnya udzur hujan ditiadakan dalam perkataan beliau tersebut sebagaimana udzur-udzur menjama’ shalat lainnya. Renungkanlah!”[2]
[Dalil Kedua]
Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[3] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjamak di sini adalah ketika hujan.”
Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjamak) bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan di Madinah.” [4] Artinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.

Sumber https://rumaysho.com/695-hujan-menjamak-shalat.html

Bukankah kamu tidak akan ninggalin sunnah nabi demi sunnah umar?

Jika tidak safar saja salat jamak

Apalagi kalau ada safar.

Jika tidak hujan saja salat jama apalagi kalau ada hujan.

Jika tidak takut saja salat jamak apalagi kalau ada keadaan takut.

Apa yang lebih memberatkan umat daripada safar yang merupakan sebagian adzab, hujan, juga musibah rasa takut?

Apa yang lebih menyulitkan daripada safar, hujan, takut?

Apakah aku berdebat? Kalau debat tentu aku tulis di komentar sono.

Lebih parah lagi yang ngatain sesat menyesatkan. Orang salat pakai sandal dikatain sesat juga.

Iman-yakin-fakih-akhlak yang baik (baru disebut sempurna keimanannya).

Petunjuk-Takwa-Afaf-ghina.

Apakah kamu merasakan Allah ngasih pahala akhirat karena jadi sebab orangtuamu nangis?