Daftar Isi:
A. Nama dan Kelahirannya
Muḥammad bin Sīrīn merupakan seorang ulama besar di kalangan tabi’īn, pakar fikih yang warak, ahli hadīṡ yang zuhud, suri teladan dalam ibadah dan mu’āmalah, lisannya selalu basah dengan żikir kepada Allah ﷻ.
Nama lengkapnya adalah Abū Bakr Muḥammad bin Sīrīn al-Anṣārī al-Anasī al-Baṣrī. Ayahnya, Sīrīn Abū Amrah, merupakan salah seorang hamba sahaya Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu yang berasal dari Jarjarāyā (sebuah negeri antara Wasiṭ dan Bagdād).[1]
Profesi dan keahlian ayahnya adalah seorang pembuat periuk. Sīrīn Abū Amrah dan teman-temannya pernah datang bekerja di Ainu al-Tamr (sebuah kampung dekat Ambar di sebelah barat kota Kufah/Irak), lalu kampung itu diserang oleh pasukan Khālid bin al-Walīd, sehingga ia dan beberapa temannya menjadi tawanan yang dibawa ke kota Madinah.[2]
Kemudian Sīrīn menjadi hamba sahaya Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu. ia dimerdekakan dengan proses mukātabah oleh Anas bin Malik seharga 4000 dinar.[3] Setelah merdeka, ia menikah dengan Ṣafiyyah, hamba sahaya Abū Bakr al-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu yang sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. Dari pernikahan itu, lahirlah Muḥammad bin Sīrīn, seorang tokoh ummat, panutan dalam kejujuran dan ketabahan.
Muḥammad bin Sīrīn lahir pada tahun 33 H yaitu 2 tahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Uṡmān bin ‘Affān raḍiyallāhu ‘anhu.[4] Kekhilafahan Uṡmān bin ‘Affān dimulai dari tahun 23 H dan berakhir pada tahun 35 H.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Keilmuannya
Dalam Islam, kemuliaan seorang manusia tidak diukur dengan strata sosial atau kastanya, namun itu diukur dari tingkat ketakwaannya. Meskipun kedua orang tua Muḥammad bin Sīrīn merupakan hamba sahaya, akan tetapi tuan-tuan mereka (kelurga Abū Bakr dan Anas bin Malik raḍyallāhu ‘anhum) telah memberikan tarbiyah yang terbaik selama bersama mereka.
Bahkan di saat resepsi pernikahan Sīrīn dan Ṣafiyyah, hadir sebagai tamu kehormatan, 18 sahabat Nabi pejuang di perang Badr. Ubai bin Ka’b raḍiyallāhu ‘anhu memandu doa dan diaminkan oleh tamu-tamu lainnya.[5] Sehingga tidak heran rumah tangga yang mereka bina berhasil menjadi keluarga pejuang.
Muḥammad bin Sīrīn dan saudara-saudaranya lahir dan tumbuh besar dalam rumah yang semerbak aroma takwa tercium di setiap sudutnya. Fondasi al-akhlāqu al-karīmah terbangun dalam jiwa Muḥammad bin Sīrīn dan saudara-saudaranya sejak mereka kecil. Pilar kejujuran dan kecintaan terhadap ilmu sudah terhunjam dalam sanubari mereka hingga dewasa.
Ibnu Asākir (w. 571 H) menyebutkan bahwa Muḥammad bin Sīrīn memiliki saudara-saudari yang memiliki kualitas ilmu dan agama yang sangat tinggi. Mereka adalah Ma’bad bin Sīrīn, Yahya bin Sīrīn, Anas bin Sīrīn, Khalid bin Sīrīn, Hafṣah binti Sīrīn, Amrah binti Sīrīn, dan Saudah binti Sīrīn.[6]
Anas bin Sīrīn (w. 218 H) merupakan seorang ulama hadīṡ yang namanya menghiasi al-kutub al-sittah, dan dinyatakan ṡiqah oleh Yahya bin Ma’īn. Demikian juga kakak tertuanya Ma’bad bin Sīrīn, Ibnu Sa’d (w. 230 H) mengatakan bahwa ia perawi ṡiqah bahkan masuk dalam deretan nama-nama guru Muḥammad bin Sīrīn.[7]
Peran orang tua dalam perkembangan ilmu anaknya sangat penting. Hal itu tampak dari luasanya wawasan ilmu syar’ī Muḥammad bin Sīrīn dan saudara-saudaranya. Oleh Sīrīn Abū ‘Amrah, anak-anaknya dibawa untuk menghadiri majelis Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Sa’d berikut ini,
عَنْ بَكَّارِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ سِيرِينَ بَعَثَ بِبَنِيهِ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَلَمَّا قَدِمُوا كَانَ يَحْيَى ابْنُهُ أَحْفَظَهمْ، فَكَنَاهُ أَبُو هُرَيْرَةَ لِحِفْظِهِ، وَكَانَ ثِقَةً قَلِيلَ الْحَدِيثِ
Dari Bakkar bin Muḥammad, dia berkata, “Sīrīn selalu mengutus anak-anaknya menghadiri majelis Abū Hurairah. Ketika mereka datang, Abū Hurairah sering menyanjung Yahya bin Sīrīn karena kekuatan hafalannya. Dia (Yahya bin Sīrīn) adalah perawi yang ṡīqah, namun sedikit periwayatan hadīṡnya.”[8]
Seperti halnya Ḥasan al-Baṣrī, ketika Muḥammad bin Sīrīn remaja, semua keluarganya berhijrah dari Madinah ke Baṣrah dan menetap di sana. Di Baṣrah, ia melanjutkan studinya dengan menuntut ilmu dari sahabat-sahabat Nabi dan ulama-ulama besar yang berdomisili di sana.
Fuḍail bin ‘Iyāḍ pernah bertanya kepada Hisyam bin Ḥassān, “Berapa sahabat Nabi yang menjadi guru Ḥasan al-Baṣrī?” “120 sahabat,” jawabnya. Fudhail melanjutkan, “Kalau Muḥammad bin Sīrīn?” Hisyam menjawab, “Ia berguru dari 30 sahabat Nabi.”
Semangat Muḥammad bin Sīrīn dalam menuntut ilmu ibarat arus bahtera yang sangat kencang. Dahaganya akan ilmu, menuntunnya untuk melakukan beberapa perjalanan ke negeri lain seperti Kūfah dan Makkah. Diriwayatkan bahwa ketika ia mendengar kedatangan murid senior Abdullah bin Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā ke kota Kūfah, yaitu Ikrimah, ia langsung bergegas menuju Kūfah agar dapat menimba ilmu darinya.
Disebutkan juga bahwa saat Muḥammad bin Sīrīn melakukan ibadah haji, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga itu, akan tetapi ia menggunakan momen tersebut untuk menimba ilmu dari Abdullah bin al-Zubair raḍiyallāhu ‘anhumā yang tinggal di kota Makkah.[9]
Ilmu yang ia dapatkan dihafalkannya dengan baik, hatinya merupakan gudang penyimpanan khazanah keilmuan Islam yang sangat luas. Hal ini tidak mengherankan, karena para ulama salaf sebelum masa kodifikasi ilmu Islam mengandalkan hafalan yang kuat dalam menjaga kemurnian Islam. Dalam al-Tabaqāt al-Kubrā, Ibnu Sa’d menuliskan,
عَنِ ابْنِ عَوْنٍ قَالَ: قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ: إِيَّاكُمْ وَالْكُتُبَ فَإِنَّمَا تَاهَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَوْ قَالَ: ضَلَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْكُتُبِ. وَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَتِيقٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ سِيرِينَ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا أَنْ يَكْتُبَ الْحَدِيثَ فَإِذَا حَفِظَهُ مَحَاهُ
“Ibnu ‘Aun meriwayatkan bahwa Muḥammad bin Sīrīn berkata, ‘Tinggalkanlah ketergantungan kalian pada buku, karena sesungguhnya umat sebelum kalian tersesat karena (terlalu bergantung) pada buku’. Yahya bin ‘Atīq meriwayatkan bahwa Muḥammad bin Sīrīn membolehkan penulisan hadīṡ (dalam sebuah catatan/buku), namun jika ia telah menghafalknnya, maka ia segera menghapusnya.”[10]
Dari kesungguhan dan keseriusan menuntut ilmu itu, Allah ﷻ memberi karunia kepada Muḥammad bin Sīrīn kedudukan yang mulia dan derajat yang tinggi. Ia menjadi salah satu tokoh sentral dalam periwayatan hadīṡ, kedalaman ilmu fikihnya diakui ulama sezamannya hingga saat ini, keindahan akhlak, zuhud dan waraknya menjadi contoh bagi segenap umat Islam dalam menyusuri kehidupan.
C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Muḥammad bin Sīrīn terkenal dengan sikapnya yang selektif dalam memilih guru. ia menimba ilmu dari sahabat-sahabat Nabi yang senior dan penghulu para tābi’īn. Di antaranya yaitu Abū Hurairah, Imrān bin Huṣain, ‘Adī bin Ḥātim, Anas bin Malik, Ubaidah al-Salmānī dan lainnya.
Dari hasil didikannya, lahirlah ulama-ulama besar yang menebarkan kebaikan Islam sepeninggalnya. Di antara murid-muridnya adalah Qatādah bin Di’āmah al-Sadūsī, Ayyūb al-Sikhtiyānī, Yunus bin Ubaid, Khālid al-Hażżā’, Hisyām bin Ḥassān, Mahdī bin Maimūn, Jarīr bin Ḥāzim, Sa’īd bin Abī ‘Arūbah, Ibnu ‘Aun dan lainnya.
Kontribusi Muḥammad bin Sīrīn dalam mengkhidmat hadīṡ-hadīṡ Rasulullah ﷺ dan membimbing ummat kepada kemurnian agama sangat besar. Namanya selalu menghiasi lembar-lembar kitab hadīṡ seperti al-kutub al-tis’ah. Beberapa perkataannya, menjadi acuan dan kaidah umum dalam ilmu hadīṡ, seperti berikut ini:
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دَيْنٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دَيْنَكُم
“Sesungguhnya ilmu (hadīṡ) ini adalah bagian dari agama, maka telitilah dari siapa agama itu kalian ambil.”[11]
كَانُوا لَا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَنَنْظُرَ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَنَأْخُذَ حَدِيثَهُمْ، وَإِلَى أَهْلِ الْبِدْعَةِ فَلَا نَأْخُذَ حَدِيثَهُمْ
“Dahulu (para sahabat) tidak pernah mempermasalahkan tentang sanad, setelah terjadi fitnah (pembunuhan Uṡmān bin ‘Affān), mereka berkata, ‘Sebutkanlah nama perawi kalian. Jika perawi itu dari ahli sunnah, maka hadisnya diterima, jika dari ahli bid’ah maka hadisnya ditolak’.”[12]
D. Ibadah dan Kemuliaan Akhlaknya
Muhamad bin Sīrīn tidak hanya dikenal dengan kedalaman ilmunya, tapi ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan mulia akhlaknya. Begitulah seyogianya sifat seorang ulama, karena yang sempurna rasa takutnya kepada Allah ﷻ adalah para ulama. Setiap hari, ia membagi waktunya dalam tiga aktivitas: beribadah, belajar/mengajar dan berdagang.
Al-Zahabī (w. 748 H) meriwayatkan dari Zuhair al-Aqṭa’ bahwa jika Muḥammad bin Sīrīn mengingat mati, seakan semua persendiannya akan terlepas. Diriwayatkan juga dari Ayyūb al-Sikhtiyānī bahwa semasa hidupnya, Muḥammad bin Sīrīn kontinu melakukan puasa Nabi Dawūd ‘alai‘issalām, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.[13]
Ibnu ‘Asākir (w. 571 H) meriwayatkan dari Anas bin Sīrīn bahwa Muḥammad bin Sīrīn setiap hari memiliki tujuh wirid yang selalu ia baca, jika ia terluput di malam hari, maka ia membacanya di siang hari.[14]
Muḥammad bin Sīrīn dikenal dengan baktinya yang luar biasa kepada orang tuanya. Ibnu ‘Aun meriwayatkan bahwa jika Muḥammad bin Sīrīn berada di depan ibunya, ia selalu merendahkan suaranya, hampir saja suaranya tidak terdengar oleh orang di sekitarnya.[15]
Hafṣh binti Sīrīn berkata, “Ibu Muḥammad bin Sirin adalah orang Hijaz, ia sangat suka baju berwarna. Jika hari ‘Id tiba, ia selalu mendapat hadiah baju dari anaknya dengan warna yang paling disukainya. Suaranya selalu rendah ketika berbicara dengan ibunya.”
Kemuliaan akhlaknya tercermin dari tutur kata dan sikapnya yang lemah lembut. Ia pernah berkata, “Aku tidak membenci seorangpun di dunia ini, orang baik atau orang buruk sekalipun.” Setiap kali disebutkan keburukan orang lain di sisinya, maka ia membelanya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang itu. Di hari Idulfitri, ia selalu menjamu tamu yang datang di rumahnya dengan santapan lezat berupa khabīṣ dan falūżaq.
Ketika berniaga, jika Muḥammad bin Sīrīn mendapatkan uang dirham yang palsu atau usang, ia menyimpannya (tidak menggunakannya dalam berdagang). Di hari wafatnya ditemukan 500 uang dirham yang usang di rumahnya.[16]
Maimūn bin Mihrān berkata, “Aku pernah membeli pakaian dari Muḥammad bin Sīrīn saat di Kufah. Setiap kali ia memberi pilihan kepadaku, ia selalu berkata, ‘Apakah engkau senang dengan ini’? hingga jika aku mengatakan, ‘Iya’, ia mengulangi pertanyaan itu tiga kali. Setelah itu ia memanggil dua orang untuk menjadi saksi atas jual beli kami. Sejak itu, aku menjadi langganan di tokonya karena yakin dengan kejujurannya.”[17]
Ia juga dikenal sebagai pakar takwil mimpi. Al-Zahabi (w. 748 H) berkata,
قَدْ جَاءَ عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ فِي التَّعْبِيْرِ عَجَائِبُ يَطُوْلُ الكِتَابُ بِذِكْرِهَا، وَكَانَ لَهُ فِي ذَلِكَ تَأْيِيْدٌ إِلَهِي
“Banyak keajaiban yang ditemukan dalam ta’wil mimpi Muḥammad bin Sīrīn, kitab ini (siyar) bisa tebal jika menyebutkannya, semua itu ia dapatkan karena ilham dari Allah ﷻ kepadanya.”
Diriwayatkan bahwa ada seseorang datang kepada Muḥammad bin Sīrīn bertanya tentang mimpinya, “Aku melihat dalam mimpiku, aku memegang periuk dari kaca, tiba-tiba kacanya pecah, namun airnya tetap utuh tidak tumpah. Lalu beliau menakwilkannya, ‘Saat istrimu melahirkan nanti, ia akan meninggal dan anakmu selamat’. Kemudian hal itu benar terjadi.”[18]
E. Waraknya dan Kalimat Hikmahnya
Suatu ketika Muḥammad bin Sīrīn membeli minyak goreng dalam jumlah besar seharga 40.000 dirham untuk kepentingan perdagangannya, ia membelinya dengan sistem kredit. Ketika salah satu kaleng minyak itu dibuka di dalamnya ada bangkai tikus. Ia yakin bahwa najis tikus itu telah mencemari semua minyak, karena tempat pembuatannya satu. Ia khawatir jika mengembalikan minyak itu kepada si pemilik awal, bisa jadi minyak itu dijualnya kepada orang lain. Atas pertimbangan tersebut, maka dibuanglah seluruh minyak yang ada. Karena kejadian itu, ia dituntut oleh penjual minyak dan perkaranya diadukan ke pengadilan, lalu ia dijebloskan ke dalam penjara akibat dari tidak sanggupnya ia melunasi harga minyak tersebut.[19]
Di masa tahanannya, petugas penjara merasa iba kepadanya karena keṣalihannya, sehingga petugas itu berkata, “Wahai syekh, saya ingin menolong Anda. Saat malam, Anda boleh pulang ke rumah, keesokannya Anda datang lagi ke sini.” Dengan tegas Muḥammad bin Sīrīn menjawab. “Demi Allah, aku tidak akan melakukannya. Aku tidak ingin menolongmu dalam mengkhianati pemerintah.”[20]
Ketika Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu wafat, kerabat Anas bin Malik memohon kepada petugas penjara agar Muḥammad bin Sīrīn diizinkan keluar untuk menunaikan wasiat gurunya, yaitu menyelenggarakan jenazahnya. Setelah mendapat izin dari petugas penjara dan pemilik piutang, berangkatlah ia ke tempat Anas bin Malik. Usai mengurus jenazahnya, Muḥammad bin Sīrīn kembali ke penjara tanpa mampir ke rumahnya barang sejenakpun.
Pernah juga seseorang datang kepada Muḥammad bin Sīrīn menagih utang sebanyak dua dirham. Muḥammad bin Sīrīn mengingkarinya, karena ia yakin tidak pernah berhutang padanya. Di tengah keramaian, orang itu memaksanya untuk melakukan sumpah, maka tanpa ragu Muḥammad bin Sīrīn bersumpah bahwa ia tidak berhutang dua dirham. Setelah itu, ia ditanya tentang alasannya sampai berani bersumpah atas hal sepele, ia menjawab, “Saya bersumpah karena saya yakin orang itu berdusta, jika saya tidak bersumpah berarti dia akan memakan barang haram.”
Muḥammad bin Sīrīn selalu menghindar ketika ditawarkan kepadanya jabatan sebagai hakim. Beberapa kali utusan pemerintah datang padanya, namun ia selalu menghindar, dengan cara melakukan perjalanan ilmiah ke Syam, atau ke Yamamah.[21]
Di antara nasihat-nasihat Muḥammad bin Sīrīn yang sarat akan hikmah adalah seperti apa yang dituliskan oleh Abū Nu’aim al-Asbahānī dalam karyanya, Hilyatu al-Auliyā’, yaitu,[22] “Kalau setiap orang menyadari bahwa tidaklah satu lafal keluar dari lisannya, kecuali akan dimintai pertanggungjawabannya, pasti akan sedikit orang yang berbicara. Saudaraku, takutlah engkau kepada Allah, carilah rezeki yang Allah ﷻ takdirkan bagimu dengan cara yang halal, karena sebesar apapun usahamu (mencari rezeki) namun dengan proses yang haram, kadar rezeki itu tidak akan lebih dari yang telah ditetapkan bagimu.”
F. Apresiasi Ulama Terhadapnya
Muḥammad bin ‘Aun berkata, “Dalam periwayatan hadīṡ, Muḥammad bin Sīrīn konsisten meriwayatkan dengan lafal tanpa merubah satu huruf pun, sedangkan Hasan al-Baṣrī sering meriwayatkan dengan makna.”
Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī berkata, “Muḥammad bin Sīrīn adalah sosok ulama yang pakar di bidang fikih, alim, warak, sastrawan, sentral periwayatan hadīṡ, jujur dan terpercaya, dia adalah hujjah (dalam keilmuan Islam).”[23]
Hisyam bin Ḥassān kberkata, “Muḥammad bin Sīrīn pernah meninggalkan keuntungan 40.000 dinar (karena suatu sebab), yang hari ini banyak orang tidak lagi memedulikannya.”
Muḥammad bin Sīrīn pernah berkata, “Aku mendapat hukuman dari Allah ﷻ karena pernah mengatai orang, ‘Wahai orang bangkrut’.” Mendengar hal ini Abū Sulaimān al-Dāranī berkomentar, “Mereka adalah ulama hakiki yang sedikit kesalahannya, sehingga mereka tahu sebab hukuman itu datang, adapun kita, kesalahan kita banyak, sehingga kita tidak tahu kesalahan apa yang menjadi sebab hukuman itu datang.”[24]
G. Wafatnya
Setelah melalui masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah, dalam khidmat kepada ilmu Islam dan jihad menyebarkannya, Muḥammad bin Sīrīn mencapai batas akhir kehidupannya. Ia wafat di umur 77 tahun pada hari jumat, tanggal 9 Syawal 110 H di kota Baṣrah, tepat seratus hari setelah wafatnya Hasan al-Baṣrī. Jenazahnya dimandikan oleh kerabat terdekatnya dan murid-muridnya, seperti Ayyūb al-Sikhtiyānī dan Ibnu ‘Aun.[25]
Semoga rahmat Allah ﷻ selalu tercurahkan kepadanya dan kepada seluruh ulama Islam.
Footnote:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, (cet. 2, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), juz. 4, h. 606
[2] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq (cet. 1, Dār al-Fikr, 1415 H/ 1995 M), juz. 53, h. 180
[3] Mukātabah adalah langkah seorang hamba sahaya dalam proses memerdekakan dirinya dari perbudakan. Caranya adalah, seorang tuan dan hamba sahayanya menyepakati nominal harta tertentu yang dibayar secara kredit, jika ia sanggup melunasinya maka ia merdeka (lihat Lisān al-Arab 1/700, al-Nihāyah fī Gharīb al-Hadīṡ 4/148)
[4] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī,Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 607. Lihat juga: Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz 53, h. 174
[5] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, (cet. 1, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1410 H/ 1990 M), juz. 7, h. 143
[6] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz. 53, h. 177. lihat juga: Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 143-155
[7] Ibnu Hajar al-Asqalānī, Taqrib al-Tahzib, (cet. 1, Dār al-Rasyīd, Suria 1406 H/1986 M), h. 115, 539. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 622. Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz. 53, h. 177. Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 143-154
[8] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 155. Ibnu Hajar al-Asqalānī, Taqrib al-Tahzib, h. 591
[9] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz. 53, h. 175, 184, 185
[10] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 145
[11] Muslim bin al-Hajjāj, Muqaddimah Saḥīḥ Muslim, (cet. Dār Ihya’i al-Turāṡ, Beirut), juz. 1, h. 14
[12] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, (cet. 3, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1409 H), vol. 2, h. 278
[13] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 610, 615
[14] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz. 53, h. 172. Wirid adalah kutipan-kutipan al-Qur’an atau żikir yang ditetapkan untuk dibaca (lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[15] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 620
[16] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 146, 150, 151, 198
[17] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 620
[18] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Ẓahabī, Siyar A’lām al-Nubalā, juz 4, h. 617, 618
[19] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Ẓahabī, Siyar A’lām al-Nubalā, juz 4, h. 613
[20] Abū Bakr al-Khaṭīb al-Baghdādī, Tarīkh Baghdād, (cet. 1, dār al-gharb al-islāmī, Bairut, 1422 H/ 2002 M), juz. 3, h. 283
[21] Ibnu Asākir, Tārīkh Dimasyq, juz. 53, h. 174
[22] Abū Nu’aim al-Asbahānī, Hilyatu al-Auliyā’ wa Tabaqātu al-Aṣfiyā’, (cet. 3, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1409 H), vol. 2, h. 263
[23] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 608, 611
[24] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 4, h. 616
[25] Ibnu Khilkān, Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān, (cet. 1, Dār al-Shādir, Beirut, 1971 M), juz. 4, h. 182, lihat juga: Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-Tabaqāt al-Kubrā, 7, h. 154