Segala puji hanya untuk Allah semata, Rabb sekalian alam, pemilik segala kemulian dan keutaman serta menetapkannya untuk makhluk yang dipilih-Nya. Selawat dan salam untuk sang manusia pilihan yang diutus dengan agama dan mukjizat abadi, yaitu Nabi Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam – semoga keselamatan dan kesejahteran senantiasa tercurah untuk beliau, para keluarga dan sahabatnya, serta seluruh umatnya yang gigih meniti jalannya sampai hari kiamat datang menjelang.
Sesungguhnya orang yang mengkaji al-Qur’an dan sunnah akan memahami dengan gamblang tentang perhatian agama Islam yang besar terhadap hak-hak wanita, mensyariatkan hukum-hukum untuk menjaga kemuliannya, menurunkan penjelasan dari al-Qur’an maupun sunnah untuk melanggengkan kesucian mereka, bak sang ratu cantik nan jelita yang terjaga dari kotoran, ibarat permata yang tidak sembarang tangan bisa menikmati dan menyentuhnya, sedang pada zaman jahiliah wanita hanyalah barang yang diwariskan turun temurun, ibarat sampah yang tidak dikehendaki kehadirannya. Bahkan wanita merupakan simbol aib yang harus dienyahkan dari muka muka ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila lisan takjub Umar bin Khatthab – radiyallahu ‘anhu – mengatakan:
وَاللَّهِ إِنْ كنا فى الْجاهِليةِ ما نعدُّ للنساءِ أَمرًا ، حتّى أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِنَّ ما أَنْزَلَ وَقسمَ لَهُنَّ مَا قَسَمَ
Artinya: Demi Allah, sesungguhnya kami di zaman jahiliah tidak menganggap wanita sesuatu yang patut untuk dimuliakan, sampaikan Allah menurunkan (tentang hak) mereka dan membagi untuk mereka apa yang dibagi (warisan).1
Namun, di era modern ini, keindahan hukum Islam terkait dengan hak-hak wanita mulai terkoyak. Kemulian yang ditawarkan Islam kepada mereka mulai ternoda, bahkan persepsi jahiliah tentang wanita berkibar kembali. Ironisnya pengibarnya adalah kader-kader kaum muslimin sendiri. Mungkin penyeBabnya adalah kebodohan yang menyelimuti umat ini sehingga mengaburkan penjelasan ilahi terkait masalah ini atau termakan syubhat-syubhat murahan yang ditebarkan para musuh Islam demi menghancurkan agama yang mulia ini.
Salah satu masalah yang mulai samar di tengah kaum muslimin terkait interaksi dengan wanita yang bukan mahram (asing) adalah tentang menyentuh atau berjabat tangan dengan wanita. Hal ini termasuk salah satu as-sunnah al-mahjurah (sunnah yang ditinggalkan) di tengah kaum muslimin. Sungguh sangat marak di tengah kaum muslimin fenomena berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Mereka menganggap hal ini adalah lumrah, bahkan kening mereka akan mengerut penuh keheranan bila menjumpai segelintir kaum muslimin yang enggan menyambut uluran tangan wanita yang bukan mahram mereka – Allah al-musta’an wa ilaihi at-tuklan.
Berangkat dari fenomena di atas, maka kami berhasrat untuk menjelaskan tentang masalah ini dengan metode kajian hadis dan fikih terkait dengan masalah ini demi menghidupkan kembali sunnah nabi yang mulai redup ditinggalkan oleh para pengikutnya. Adapun manhaj kami dalam artikel ini, kami berupaya untuk men-takhrij hadis-hadis yang kami nukil dalam makalah ini. Jika hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim atau salah satu dari mereka berdua, kami tidak akan berpanjang lebar dalam men-takhrij-nya. Akan tetapi apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh selain mereka berdua, maka kami akan mencoba untuk men-takhrij-nya dan menyertakan komentar (hukum) para ulama terhadap hadis-hadis tersebut. Karena makalah ini juga memuat kajian fikih, maka kami juga akan menukil perkatan dan pendapat para ulama kita terkait makna dari hadis-hadis yang kami nukil – wallahu muwaffiq.
Demi memudahkan penyusunan makalah ini, maka kami akan membagi makalah ini ke dalam dua poin. Pertama: Hukum menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita asing; kedua: menjawab syubhat. Poin-poin inilah yang akan kami bahas dalam makalah yang ringkas ini demi menghidupkan kembali sunah Rasulullah yang telah mulai asing di tengah umat islam. Semoga Allah senantiasa mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita.
Daftar Isi:
Pertama: Hukum menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita asing
Mungkin mayoritas kaum muslimin akan terhenyak keheranan jika kita mengatakan dengan tegas bahwa hukum menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah haram, dan mungkin fenomena ini adalah lumrah untuk zaman ini. Tentunya ketidaktahuan mereka tentang agama inilah yang menjadi pemicu kekagetan mereka. Bagaimana pun juga demikianlah faktanya. Betapa banyak dalil yang ditegakkan oleh al-Qur’an dan sunnah untuk men-taqrir (menetapkan) tentang hal ini. Akan tetapi karena makalah kita adalah kajian hadis fikih maka kami hanya akan mendatangkan dalil dari hadis-hadis Nabi Muhammad – shallahu ‘alaihi wasallam – saja.
Dalil yang pertama, sabda nabi,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.
Takhrij hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Syaddad bin Sa’id Abu Thalhah ar-Rasibi dan diperselisihkan darinya dua jalur periwayatan. Jalur pertama, yang meriwayatkan darinya (Syaddad bin Sa’id) lewat jalur Abul Ala’ Yazid bin Abdullah bin Syihhir dari Ma’qil bin Yasar. Jalur ini diriwayatkan dari Syaddad bin Sa’id oleh dua orang, yaitu ‘Ali bin Nashr al-Jahdhami dan an-Nadhr bin Syumail. Jalur ini dikeluarkan oleh ar-Ruyani dalam Musnad-nya, 2/219, nomor hadis 1283. Beliau meriwayatkan hadis ini lewat jalur ‘Ali bin Nashr dari bapaknya, dari Syaddad bin Sa’id, dari Abul ‘Ala Yazid bin Abdullah bin Syihhir dari Ma’qil bin Yasar. At-Thabrani (wafat 360 H) meriwayatkan hadis ini dalam al-Mu’jam al-Kabir lewat jalur ‘Ali bin Nashr al-Jahdhami, 20/212, nomor hadis 487, dan lewat jalur an-Nadhr bin Syumail 20/211, nomor hadis 486.
Jalur kedua, yang meriwayatkan darinya (Syaddad bin Sa’id) lewat jalur Sa’id al-Juriri dari Abul Ala’ Yazid bin Abdullah bin as-Syikhir dari Ma’qil bin Yasar. Jalur ini diriwayatkan dari Syaddad bin Sa’id oleh Sa’id bin Sulaiman an-Nasyithi, dan jalur ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/374, nomor hadis 5455. Beliau meriwayatkan jalur ini dari al-Isfathi dari Sa’id bin Sulaiman an-Nasyithi dari Syaddad bin Sa’id Abu Thalhah ar-Rasibi dari Sa’id al-Juriri dari Abul ‘Ala Yazid bin Abdullah bin as-Syikhir dari Ma’qil bin Yasar dengan lafaz hadis yang sedikit berbeda.
Jika kita menilik perbedan jalur periwayatan ini, kita akan berkesimpulan bahwa jalur periwayatan hadis yang pertama lebih kuat dari yang terakhir. Hal ini disebabkan dua hal:
- Pertama, perawi yang meriwayatkan dari Syaddad bin Sa’id lebih banyak, yaitu dua orang ‘Ali bin Nashr al-Jahdhami dan an-Nadhr bin Syumail;
- Kualitas perawinya lebih baik. Kami akan bahas di kajian sanad, insyallah.
Adapun jalur yang kedua, yang meriwayatkan dari Syaddad bin Sa’id adalah Sa’id bin Sulaiman an-Nasyithi, beliau adalah perawi yang lemah, Abu Hatim ar-Razi (wafat 277 H) berkata, “Kami tidak meridai Sa’id bin Sulaiman an-Nasyithi. Padanya ada catatan miring (fihi nadhar). Abu Zur’ah ar-Razi (wafat 264 H) ketika ditanya tentangnya, beliau mengatakan, “Bukan perawi yang kuat.” Abu Dawud berkata, “Saya tidak mengambil hadis darinya.” Adz-Dzahabi (wafat 748 H) berkata tentangnya, “Padanya ada kelembekan (lemah). Ibnu Hajar (wafat 852 H) mengatakan, “Lemah.” Lihat terjemah (biografi) Sa’id bin Sulaiman an-Nasyithi dalam Tahdzibul Kamal, 10/488, al-Mughni, 1/405, Taqribut Tahdzib, 238.
Kajian sanad:
Nashr bin ‘Ali bin Shuhbani bin Ubay al-Azdi al-Jahdhami (wafat 250 atau 251 H). Ibnu Hajar mengatakan, “Terpercaya dan bisa menjadi hujjah.”2
Ali bin Nashr bin ‘Ali bin Shuhbani bin Ubay al-Azdi al-Jahdhami, Abul Hasan al-Bashri, bapak dari Nashr bin Ali (wafat 187 H) di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in (wafat 234 H) dan Abu Hatim ar-Razi bahkan beliau menambahkan, “Perawi yang jujur (shaduq). Ibnu Hajar mengatakan, “Tsiqah (terpercaya).”3
Syaddad bin Sa’id Abu Thalhah ar-Rasibi al-Bashri dianggap terpercaya (watstsaqahu) oleh Yahya bin Ma’in dan Imam Ahmad (wafat tahun 241 H). Bahkan beliau menambahkan, “Dia (Syaddad bin Sa’id) adalah syekh. Disebutkan oleh Ibnu Hibban (wafat 354 H) dalam Kitabnya at-Tsiqat, beliau mengatakan, “Terkadang dia salah (dalam meriwayatkan hadis). Imam Bukhari (wafat 256 H), “Dilemahkan oleh ‘Abdus Shamad bin Abdul Warits. Ibnu ‘Adi (wafat 361 H) mengatakan, “Dia tidak meriwayatkan banyak hadis, dan saya belum menemukan hadisnya yang mungkar4 dan saya mengharap bahwa tidak apa (la ba’sa bihi). Al-Uqaili mengatakan, “Namun dia jujur (shaduq), pada hafalannya ada kelemahan.” Ibnu Hajar mengatakan, “Jujur namun terkadang salah (dalam meriwayatkan hadis).5
Yazid bin Abdillah bin as-Syikhkhir al-‘Amri Abul Ala’ al-Bashri dianggap terpercaya (watstsaqahu) oleh Laits bin Sa’ad (wafat 230 H). Al-Ijli, an-Nasa’i (wafat 303 H), dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya at-Tsiqat. Ibnu Hajar mengatakan, “Tsiqat (terpercaya).”6
Menghukum sanad hadis:
Sanad hadis ini hasan, di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Syaddad bin Sa’id, Abu Thalhah ar-Rasibi al-Bashri, dia adalah perawi yang jujur dan terkadang melakukan kesalahan, dan para perawi selain beliau seluruhnya terpercaya.
Hukum para ulama terhadap hadis ini:
- Al-Haitsami mengatakan dalam Kitabnya Majma’ul Fawaid, 4/426, “Hadis ini diriwayatkan oleh Thabrani, dan para perawinya (memenuhi syarat) perawi Bukhari dan Muslim.
- Al-Mundziri mengatakan dalam Kitabnya at-Targhibu wa at-Tarhib, 3/10, “Hadis ini diriwayatkan at-Tabrani dan al-Baihaqi, dan para perawi at-Thabrani terpercaya, perawi yang memenuhi syarat Bukhari dan Muslim.
- Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan dalam Kitabnya Silsilah as-Shahihah, 1/447 nomor hadis 226, “Ini sanad yang baik (jayyid), seluruh perawinya terpercaya dan memenuhi syarat perawi Bukhari dan Muslim, kecuali Syaddad bin Sa’id, dia adalah perawi yang memenuhi syarat Imam Muslim saja, ada sedikit kritikan padanya (Syaddad bin Sa’id), namun derajat hadis ini tidak kurang dari derajat hasan.
Di samping itu, hadis di atas memiliki beberapa syawahid (penguat), diantaranya diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, 2/117 nomor hadis 2168, dan diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitabnya at-Thibb, 2/33-34 sebagaimana dikatakan oleh Syekh Albani – rahimallahu lijami’i ulama’ina.
Fikih Hadis:
Hadis ini mengharamkan seorang laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahram. Yang dimaksud dengan menyentuh di dalam hadis ini adalah menyentuh hakiki dan bukan bermakna jimak (hubungan intim). Menyentuh wanita yang bukan mahram termasuk dosa besar, hal ini bisa disimpulkan dari ancaman keras yang dikandung hadis di atas. Al-Munawi –rahimahullah– mengatakan, “Dikhususkan pasak dari besi karena lebih kuat dari yang lainnya, dan lebih keras dalam menusuk, serta lebih parah sakitnya.”7
Dalil Kedua:
Di antara kebiasan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– adalah tidak menjabat tangan wanita ketika membaiat mereka padahal sebenarnya momentum baiat sangat layak untuk menjabat tangan orang yang membaiat demi mengukuhkan baiat tersebut, namun Rasulullah meninggalkannya (tidak jabat tangan dengan wanita). Hal ini menunjukan keharaman perbuatan tersebut.
Rasulullah bersabda:
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya: Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya perkataanku untuk seratus wanita sama dengan perkataanku untuk satu orang atau serupa dengan perkatasnku untuk satu orang wanita.
Takhrij hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik (wafat tahun 179 H) dalam Kitabnya Muwattha’, 1/346 nomor hadis 897, dan dari jalur periwayatan yang sama diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam Sunan Kubra-nya, 10/298 nomor hadis 11525, Imam Ahmad dalam Musnad-nya halaman 1997 nomor hadis 27548, Ibnu Sa’ad dalam at-Thabaqat al-Kubra, 8/3, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, 7/8 nomor hadis 4536, at-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 24/186 nomor hadis 471, ad-Daruquthni (wafat tahun 385 H) dalam Sunan-nya, 4/147, dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, 8/255 dari Muhammad bin Munkadir dari Umaimah binti Raqiqah –radhiyallhu ‘anha.
Imam at-Tirmidzi [wafat tahun 279 H] meriwayatkan hadis ini dalam Sunan-nya di Kitab as-Siyar Bab “Penjelasan tentang Pembaiatan Wanita,” nomor hadis 1597 dari jalan Qutaibah bin Sa’id dari Muhammad bin Munkadir dari Umaimah binti Raqiqah –radhiyallhu ‘anha, lalu beliau mengatakan, “Hadis hasan sahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Muhammad bin Munkadir.”
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah (wafat tahun 273 H) dalam Sunan-nya, Kitab al Jihad Bab “Tentang Pembaiatan Wanita” nomor hadis 2874 dari jalan Abu Bakar bin Abi Syaibah Muhammad bin Munkadir dari Umaimah binti Raqiqah –radhiyallhu ‘anha.8
Jika kita telisik jalur periwayatan hadis ini, kita akan dapatkan bahwa madarul isnad (poros sanad) ada pada tabiin yang mulia Muhammad bin Munkadir –rahimahullah.
Kajian Sanad:
Muhammad bin Munkadir bin Abdullah bin al-Hudair al-Qurasyi at-Taimi, Abu Abdullah atau Abu Bakar Al-Madani. Beliau dianggap tsiqah (watstsaqahu) oleh Yahya bin Ma’in, al’Ijli, dan Abu Hatim. Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Dia adalah salah satu sumber kejujuran, dan berkumpul kepadanya orang-orang salih, dan tidak ada seorangpun yang layak untuk lebih diterima –dari Muhammad bin Munkadir- apabila dia mengatakan, ‘Rasulullah bersabda.’” Al-Humaidi mengatakan, “Penghafal (hafizh).” Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Hadisnya sahih sekali.” Ibnu Hajar mengatakan, “Terpercaya dan orang yang mulia (tsiqath fadhil).9
Menghukum sanad hadis:
Sanad hadis ini sahih.
Hukum para ulama terhadap hadis ini:
Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini hasan sahih.”
Fikih hadis:
Larangan berjabat tangan laki-laki dengan wanita asing (bukan maharam). Ibnu ‘Abdil Barr (wafat tahun 463 H) –rahimahullah– berkata, “Sabda Rasulullah ‘Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita’ merupakan dalil yang melarang laki-laki untuk berdekatan (al-mubasyarah) dengan wanita yang tidak halal baginya, dan larangan untuk menyentuhnya dengan tangannya, serta larangan untuk berjabat tangan.”10
Al-Hafizh al-‘Iraqiy (wafat tahun 826 H) –rahimahullah– berkata, “Jika saja beliau tidak melakukannya (jabat tangan) padahal beliau seorang yang maksum (terjaga dari dosa) dan terangkatnya kecurigan (untuk melakukan dosa) atasnya, maka manusia selain beliau lebih layak untuk tidak melakukan (jabat tangan).”11
Dalil Ketiga:
Aisyah –radhiyallahu anha– bersumpah bahwa nabi tidak pernah menyentuh tangan seorangpun ketika proses baiat, beliau berkata:
ولا والله !! ما مست يد امرأة قط في المبايعة, ما يبايعهنّ إلاّ بقوله قد بايعتك علي ذلك
Artinya: Demi Allah, (tangan Rasulullah) tidak menyentuh tangan seorang wanita pun ketika proses baiat, beliau tidak membaiat para wanita kecuali dengan berkata, “Saya telah membaiat kamu atas hal itu (yang diucapkan ketika proses baiat).”
Takhrij hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Tafsir Bab “Jika Wanita Mukmin yang Berhijrah Datang kepada Kalian” nomor hadis 4891, dan di Kitab at-Thalaq Bab “Jika Wanita Musyrik Telah Masuk ke dalam Islam atau Nasrani yang Menjadi Istri Kafir Dzimmi atau Harbiy” nomor hadis 5288, dan dalam Kitab Ahkam Bab “Baiat Para Wanita” nomor hadis 7214 diriwayatkan dengan ringkas, dan dalam redaksi hadis tersebut ada lafaz, “Dan tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, kecuali wanita yang dimilikinya (para istri dan hamba sahaya, pent.).”
Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah Bab “Cara Membaiat Wanita” nomor hadis 1866.
Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadis di atas dalam Kitab Tafsir Bab “Dan dari Surat al-Mumtahanah” nomor hadis 3306.
Sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadis di atas dalam Kitab al-Jihad Bab “Tentang Baiat Wanita” nomor hadis 2875.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dalam Musnad-nya halaman 1944 nomor hadis 26857.
Menghukumi hadis:
Hadis ini sahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim –rahimahumallahu.
Fikih hadis:
Penegasan pengharaman jabat tangan laki-laki dengan wanita asing (bukan mahram). hal ini disimpulkan dari sumpah yang dilafazkan oleh Aisyah –radhiyallahu ‘anha.
Inilah pemaparan ringkas tentang haramnya menyentuh dan menjabat tangan wanita bukan mahram dalam dalam tinjauan Islam beserta beberapa dalil dari hadis-hadis Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– yang dihiasi perkatan-perkatan para ulama kita. Kesimpulan yang bisa kita petik dari pembahasan di atas adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– tidak pernah menyentuh dan menjabat tangan seorang wanita pun, dan hal ini juga ditegaskan oleh Aisyah –radhiyallahu ‘anha– dengan sumpah beliau.
Kedua: Menjawab Syubhat
Merupakan hal yang aksiomatis bagi para penuntut ilmu bahwa semakin jauh generasi umat dari cahaya kenabian maka akan semakin tersebar kebodohan, meluas keburukan, serta merajalela syubhat-syubhat. Salah satu syubhat yang muncul di permukan dan gencar di didoktrinkan kepada umat adalah syubhat tentang muamalah (interaksi) antara laki-laki dan wanita dalam pergaulan sehari-sehari. Pada poin ini kami akan memaparkan beberapa syubhat-syubhat terkait hukum menyentuh dan menjabat tangan wanita.
Syubhat Pertama:
Anas bin Malik –radiyallahu ‘anhu– mengatakan,
إن كانت الأمة من أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله فما ينزع يده من يدها حتى تذهب به حيث شاءت من المدينة في حاجتها
Artinya: Sesungguhnya jika seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– maka beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut hingga beliau pergi ke berbagai tempat di Madinah sekehendak hatinya (wanita) untuk memenuhi hajatnya.
Takhrij hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab az-Zuhd Bab “Berlepas Diri dari Sifat Sombong dan Menghiasi Diri dengan Sifat Tawaduk” nomor hadis 4177, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya halaman 119 nomor hadis 13289 dan diriwayatkan pula oleh beliau dalam Kitab az-Zuhd 1/17 namun tanpa lafaz,
فما ينزع يده من يدها
Artinya: Dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya halaman 747 nomor hadis 3982, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 7/201 sama dengan lafaz Imam Ahmad dalam Kitab az-Zuhd, seluruhnya meriwayatkan hadis ini dari jalan Syu’bah bin Hajjaj dari Ali bin Zaid bin Jud’an dari Anas bin Malik.
Substansi hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Fadhail Bab “Dekatnya Nabi dengan Manusia dan Tabaruk Mereka dengan Beliau dan Sifat Tawaduk Beliau kepada Mereka” nomor hadis 2326, dengan redaksi:
أنّ امرأة في عقلها شيئ, فقالت: يا رسول الله إنّ لي عليك حاجة, فقال: يا أمّ فلان!! أنظري أيّ السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك, فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها
Artinya: Bahwa seorang wanita yang akalnya kurang sempurna berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya membutuhkanmu.” Rasulullah menjawab, “Wahai Ummu Fulan, carilah tempat yang kamu suka sehingga saya bisa menutupi kebutuhanmu!” Beliau pun pergi bersama wanita tersebut di salah satu jalan –di Madinah – sampai beliau menyelesaikam kebutuhan wanita tersebut.
Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya Kitab Adab Bab “Tentang Duduk di Jalan” nomor hadis 4819, semuanya dari jalan Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunnani dari Anas bin Malik.
Diriwayatkan pula oleh Abu Daud nomor hadis 4818 dari jalur Muhammad bin Isa bin Thabba’ dan Katsir bin Ubaid, sedang Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad halaman 839 nomor hadis 12221. Mereka bertiga (Muhammad bin Isa bin Thabba’, Katsir bin Ubaid, dan Imam Ahmad) meriwayatkannya dari Marwan bin Mu’awiyah dengan redaksi yang serupa dengan redaksi Imam Muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan -lagi- dalam kitabnya al-Musnad halaman 822 nomor hadis 11963, dan dengan jalur sanad yang sama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman, 6/269 nomor hadis 8113, dari jalan Husyaim dengan lafaz,
إن كانت الأمة من أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله فتنطلق به في حاجتها
Artinya: Sesungguhnya jika seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan Rasulullah (memanggil untuk minta bantuan), maka Rasulullah pun pergi bersamanya untuk memenuhi kebutuhannya (menolong wanita tersebut).
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan –lagi- dalam Musnad-nya, halaman 911 nomor hadis 13274, dari Abdullah bin Bakr as-Sahmiy dengan lafaz Imam Muslim. Mereka bertiga (Marwan bin Mu’awiyah, Husyaim, dan Abdullah bin Bakr as-Sahmiy) meriwayatkan dari Humaid at-Thawil.
Imam Bukhari menyebutkan hadis ini secara mu’allaq dalam Shahih-nya Kitab Adab, Bab “Tentang Sifat Sombong” nomor hadis 6072, beliau mengatakan, “Muhammad bin Isa berkata, ‘Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Humaid at-Thawil dari Anas Bin Malik.’” Beliau berkata,
كانت الأمة من إماء اهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلمّ فتنطلق به حيث شاءت
Artinya: Sesungguhnya seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan kemudian dia pergi bersama beliau (Rasulullah) kemana yang dia kehendaki.
Jika kita telaah dengan seksama jalur-jalur periwayatan hadis di atas, kita niscaya akan dapatkan beberapa hal:
Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Anas bin malik. Hadis ini diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh tiga orang perawi yaitu Ali bin Zaid bin Jud’an, Tsabit al-Bunani, dan Humaid at-Thawil.
Jika kita menelisik lafaz hadis, maka kita dapatkan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an datang dengan tambahan yang tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain dari Anas bin Malik, yaitu tambahan lafaz,
فما ينزع يده من يدها
Artinya: Dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut.
Lafaz hadis di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa Rasulullah berpegangan tangan dengan wanita tersebut, sangat berbeda dengan lafaz hadis yang dibawa oleh Tsabit al-Bunani dan Humaid at-Thawil.
Kajian Sanad:
Yang akan kami kaji adalah sanad hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya, dari jalan Ali Bin Zaid bin Jud’an, sebab jalan yang lain (Tsabit al-Bunnani dan Humaid at-Thawil) diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Syu’bah bin Hajjaj bin Ward al-‘Atakiy al-Azdiy maulahum, Abu Bistham al-Wasithiy tsumma al-Bashriy. Abdullah bin Ahmad mengatakan, “Bapakku (Imam Ahmad) mengatakan, “Syu’bah adalah satu-satunya umat dalam masalah ini (yaitu dalam masalah pengetahuannya terhadap hadis). Hammad bin Zaid mengatakan, “Saya tidak peduli tentang siapa yang menyelisihiku (dalam masalah hadis) jika Syu’bah bin Hajjaj sepakat denganku, karena Syu’bah tidak rela kalau hanya mendengarkan hadis satu kali, dan jika Syu’bah menyelisihiku (dalam periwayatan hadis) maka saya tinggalkan hadis tersebut.” Sufyan at-Tsauriy berkata, “Syu’bah adalah seorang Amirul Mukminin12 dalam bidang hadis.” Ibnu Hajar mengatakan, “Terpercaya, penghafal, dan mutqin (profesional)…., dia adalah orang pertama yang mengkaji tentang rijal (perawi hadis) di Irak dan yang pertama kali –pula- dalam membela sunnah.”13
Ali bin Zaid bin Jud’an, dia adalah Ali bin Zaid bin Abdillah bin Abi Mulaikah, dan nama Abu Mulaikah adalah Zuhair bin Abdillah bin Jud’an al-Qurasyiy at-Taimiy, Abul Hasan al-Bashriy. Imam Tirmidzi mengatakan, “Seorang yang jujur (shaduq) namun terkadang dia mengangkat hadis kepada Rasulullah yang di-mauquf-kan (sanadnya berhenti hanya sampai sahabat saja) oleh perawi yang lain. Namun sebagian besar para ulama melemahkan beliau, diantaranya Sufyan bin Uyainah, Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan an-Nasai. Yahya bin Ma’in mengatakan, “Tidak sekuat itu.” Imam Ahmad mengatakan, “Laisa Bi Syai.” Abu Zur’ah mengatakan, “Dia tidak kuat (lemah).” Hammad bin Zaid mengatakan, “Dia membalikan hadis.” Ibnu Hajar mengatakan, “Dia lemah.”14
Menghukumi sanad hadis:
Sanad hadis ini lemah, di dalamnya ada perawi lemah, yaitu Ali bin Zaid bin Jud’an. Riwayat yang sahih dalam hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya dengan redaksi,
أنّ امرأة في عقلها شيئ, فقالت: يا رسول الله إنّ لي عليك حاجة, فقال: يا أمّ فلان!! أنظري أيّ السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك, فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها
Artinya: Bahwa seorang wanita yang akalnya kurang sempurna berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya membutuhkanmu.” Rasulullah menjawab, “Wahai Ummi Fulan, carilah tempat yang kamu suka sehingga saya bisa menutupi kebutuhanmu!” Beliau pun pergi bersama wanita tersebut di salah satu jalan –di Madinah – sampai beliau menyelesaikam kebutuhan wanita tersebut.
Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya dengan lafaz hadis:
كانت الأمة من إماء اهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلمّ فتنطلق به حيث شاءت
Artinya: Sesungguhnya seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– dan kemudian dia pergi bersama beliau (Rasulullah) kemana yang dia kehendaki.
Seperti yang kita telah bersama, dalam kedua riwayat tersebut tidak ada lafaz tambahan yang diriwayatkan oleh Ali bin Zaid bin Jud’an, yaitu lafaz:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: Dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut.
Fikih Hadis:
Hadis di atas menunjukan sifat tawaduk Nabi Muhammad kepada umatnya dan jauhnya beliau dari sifat sombong, congkak, dan meremehkan orang lain.
Hadis di atas merupakan bukti nyata sifat sayang dan kelembutan nabi kepada para umatnya, sekaligus menunjukan keadilan beliau kepada mereka.
Hadis di atas bukan hujah bagi orang yang membolehkan menyentuh dan menjabat tangan wanita yang bukan mahram.
Makna yang benar dari hadis di atas adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, beliau mengatakan, “Yang dimaksud dengan menggapai tangan adalah (Rasulullah) melaziminya yaitu bersikap lembut dan tunduk.”15 Yang dimaksud oleh Ibnu Hajar dengan penjelasan di atas adalah bahwa makna hadisnya bukan menggapai (memegang) hakiki, namun maksudnya adalah bahwa nabi memenuhi panggilan dan kebutuhan wanita tersebut dengan penuh ketawadukan dan kelembutan.
Penjelasan kami di atas berpijak di atas dua faktor. Pertama, untuk mengkompromikan dengan dalil-dalil lain yang secara zahir berkontradiksi. Kami tidak menemukan dari kalangan ulama yang menyimpulkan –dengan hadis di atas- tentang bolehnya menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Imam Bukhari memasukan hadis ini dalam Kitab Adab Bab “Tentang Sifat Sombong.” Imam Muslim memasukan hadis ini dalam Kitab Fadhail Bab “Dekatnya Nabi dengan Manusia dan Tabaruk Mereka dengan Beliau serta Sifat Tawaduk Beliau kepada Mereka.” Abu Daud menyimpulkan dari hadis ini dengan sebuah Bab dalam Sunan-nya yaitu Bab “Duduk di Jalanan.” Imam Ahmad meriwayatkan hadis di atas dalam Kitab beliau az-Zuhd. Jika memang hadis di atas memiliki makna bolehnya menyentuh dan menjabat wanita yang bukan mahram, maka niscaya mereka akan menjelaskannya, atau minimal mereka akan memberikan isyarat.
Adapun kesimpulan bahwa Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– menyentuh tangan wanita tersebut yang terkandung dalam lafaz hadis:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: Dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut.
Maka kami katakan bahwa hadis yang datang dengan lafaz di atas adalah lemah dikarenakan dua hal: Pertama, kelemahan perawinya. Hadis dengan lafaz di atas diriwayatkan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Anas bin Malik, dan Ali bin Zaid bin Jud’an dilemahkan oleh para ulama kita. Kedua, dia bersendirian dalam riwayat di atas, sedangkan perawi selainnya yaitu Tsabit al-Bunnani dan Humaid at-Thawil meriwayatkan hadis ini dari Anas bin Malik tanpa lafaz yang disebutkan oleh Ali bin Zaid Jud’an, apalagi kedua perawi tersebut lebih terpercaya dan lebih kuat hafalannya daripada Ali bin Zaid bin Jud’an, wallalhu a’lam.
Syubhat Kedua:
Anas bin Malik –radhiyallah anhu– berkata,
أنّ أمّ سليم -رضي الله عنها- كانت تبسط نِطعا فيقيل عندها على ذلك النِطع, فإذا نام النّبي -صلى الله عليه وسلمّ- أخذت من عرقه و شعره فجمعته في قرورة, ثمّ جمعته في سكّ.
Artinya: Bahwa Ummu Sulaim –radhiyallahu ‘anha– menghamparkan tikar dari kulit untuk nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– maka beliau tidur di atasnya, dan ketika nabi tidur, beliau (Ummu Sulaim) mengambil keringatnya dan rambutnya kemudian memasukannya ke dalam botol, dan kemudian beliau memasukannya ke dalam tempat dari kulit.
Takhrij Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-Isti’dzan Bab “Seseorang Yang Menziarahi Suatu Kaum dan Tidur di Tempat Mereka” nomor hadis 6281, diriwayatkan pula Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-Fadhail Bab “Baiknya Keringat Nabi dan Bolehnya Bertabaruk Dengannya” nomor hadis 2332. Diriwayatkan pula oleh an-Nasai dalam Sunan-nya, Kitab az-Zinah Bab “Pembahasan tentang Tikar dari Kulit” nomor hadis 5373, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, halaman 853, nomor hadis 12423 dan halaman 963 nomor hadis 14105.
Menghukumi sanad hadis:
Hadis di atas sahih, diriwayatkan oleh as-Syaikhain (Bukhari dan Muslim).
Fikih Hadis:
Disyariatkan untuk menghormati, mencintai, dan mengagungkan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini menunjukkan bolehnya bertabaruk dengan jasad nabi dan dengan sesuatu yang suci yang keluar dari beliau, seperti keringat, rambut, ludah, bekas air wudhu, dan lain-lain. Hal ini merupakan kekhususan Nabi dan tidak boleh dikiaskan dengan orang lain. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang pernah menyusui kita merupakan mahram.
Hadis ini tidak menunjukkan bolehnya menyentuh wanita yang bukan mahram karena Ummu Sulaim adalah mahram bagi Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihu wasallam– beliau adalah ibu persusuan nabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Dan saya kira Ummu Haram menyusui Rasulullah, atau Ummu Sulaim yang menyusui beliau (Rasulullah), maka Ummu Haram kemudian menjadi bibi beliau disebabkan persusuan.”16 Imam an-Nawawi berkata, “(Ummu Sulaim dan Ummu Haram) keduanya adalah bibi Rasulullah dan mahram baginya, baik penyebab menjadi mahram karena radha’ah (persusuan) ataupun karena nasab (garis keturunan).”17
Dengan berakhirnya sanggahan terhadap syubhat-syubhat di atas, maka berakhir pula pembahasan kami tentang tema ini, semoga goresan singkat ini bermanfat bagi kita semua, wallahu waliyyut taufiq.18
Footnote:
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Tafsir Bab “Mencari Keridaan Istri-istrimu” nomor hadis 4629, dan diriwayatkan oleh Muslim Kitab at-Thalaq Bab “Al-Ila’, Menjauhi Istri, dan Memberi Pilihan kepada Mereka” nomor hadis 1479.
- Silahkan lihat biografi beliau di Kitab al-Jarh wa at-Ta’dil, 8/537, Tahdzibul Kamal, 29/355, dan Taqribut Tahdzib, 561.
- Silahkan lihat biografinya di Kitab Tahdzibul Kamal, 21/157, dan Taqribut Tahdzib, 406.
- Riwayat seorang perawi lemah yang menyelisihi perawi tsiqah (terpercaya).
- Silahkan lihat biografinya di Kitab at-Tarikh al-Kabir, 4/227, al-Jarh wat Ta’dil, 304/4, ad-Dhu’afa’ karya al-Uqaili, 2/185, at-Tsiqat, 8/310, al-Kamil, 5/69, dan at-Taqrib, 264.
- Silahkan lihat biografinya di Kitab Tahdzibul Kamal, 32/175, Tahdzibut Tahdzib, 4/419, dan at-Taqrib, 602.
- Faidul Qadir, 5/258
- Kami tidak menerjemahkan seluruh takhrij dari hadis ini karena amat panjang sedangkan kita sudah bisa menghukumi hadis tersebut dengan mengetahui madarus sanad dari hadis tersebut. Sekedar informasi, hampir seluruh perawi yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Munkadir adalah imam dalam masalah hadis, contohnya adalah Qutaibah bin Sa’id, Sufyan bin ‘Uyainah, Sufyan at-Tsauri, Imam Malik, dan Warqa’ bin Umar al-Yasykuri.
- Silahkan lihat biografinya di Kitab Tahdzibul Kamal, 26/503, Tahdzibut Tahdzib, 3/709, dan at-Taqrib, 508.
- At-Tamhid, 5/44.
- Tharhu Tatsrib, 7/44.
- Level tertinggi bagi ulama hadis.
- Silahkan lihat biografi beliau di Kitab Tahdzibul Kamal, 12/479, Tahdzibut Tahdzib, 2/166 dan Taqribut Tahdzib, halaman 266.
- Silahkan lihat biografi beliau dalam Kitab Jami’ at-Tirmidzi halaman 1922 nomor hadis 2678, ad-Dhu-afa’ karya al-‘Uqailiy, 3/229, Tahdzibul Kamal, 20/434, dan at-Taqrib halaman 696.
- Fathul Bari, 10/506.
- Lihat at-Tamhid, 1/174.
- Lihat Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 16/11.
- Sumber dari artikel ini adalah tesis magister di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud karya Nabilah binti Zaid bin Sa’ad al-Halibah dengan judul at-Ta’amul al-Masyru’ lil Mar’ah Ma’ar Rajul al-Ajnabi. Saham kami dalam artikel ini adalah penerjemahan, penyusunan, dan sedikit pengubahan serta tambahan yang sesuai dengan kebutuhan.