MENCUCI KEDUA KAKI KETIKA BERWUDU

299
MENCUCI KEDUA KAKI KETIKA BERWUDU
MENCUCI KEDUA KAKI KETIKA BERWUDU
Perkiraan waktu baca: 2 menit

Daftar Isi:

Redaksi hadis

وَعَن حَبَّان بنِ وَاسِعٍ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عبدَ الله بنَ زيدٍ بنِ عَاصِمٍ يَذْكُرُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ، وَفِيهِ: وَمَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيهِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى أَنْقَاهُمَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Hibban bin Wasi’ mengabarkan bahwa bapaknya menyampaikan kepada beliau bahwa dia mendengar Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berwudu, dan penggalan riwayat menyebutkan, “Beliau (Rasulullah ﷺ) mengusap kepalanya dengan air yang baru (bukan sisa air usapan sebelumnya), kemudian beliau mencuci kedua kakinya hingga benar-benar bersih.”[1]

Kosa kata hadis:

  1. Habban bin Waasi’bin Habban bin Munqidz al-Anshari al-Madany (w.120 H) adalah termasuk rawi hadis dalam kitab Shahih al-Bukhari, Sunan Abu Daud dan Jami’ al-Tirmidzi.[2] Sedangkan bapaknya adalah Waasi’ bin Habban bin Munqidz al-Anshari al-Madany, min rijāl al-Bukhāri, rawi yang tsiqah dan termasuk kibār tabi’in.[3]
  2. يَذْكُرُ artinya menyebutkan; kalimat yang menceritakan bahwa Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim sebagai subjek.[4]

Makna hadis:

Di antara sifat wudu Rasulullah ﷺ ketika membasuh kepala adalah dengan mengambil air yang baru, dan bukan dengan air (basah) yang tersisa di tangan beliau setelah membasah anggota wudu yang sebelumnya. Namun demikian, hal ini bukanlah dalil bahwa air musta’mal tidak sah untuk bersuci, akan tetapi hal ini merupakan kabar tentang penggunaan air yang baru untuk mengusap kepala, dan ini tidak kemudian mesti atau lazim seperti itu.

Mencuci kaki dengan bersih adalah bagian dari kesempurnaan wudu, dan ini lebih penting dari sekadar jumlah bilangan cuciannya.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Sunah mengusap kepala ketika berwudu dengan air yang baru.[5] Maknanya menurut al-Nawawi adalah bahwa mengusap kepala dengan air yang baru dan bukan dengan air yang tersisa di tangan dari penggunaan basuhan sebelumnya. Namun hal ini bukan dalil bahwa air musta’mal tidak sah untuk bertaharah karena hadis tersebut hanya mengabarkan tentang penggunaan air yang baru untuk mengusap kepala dan tidak mesti dipersyaratkan demikian.[6]
  2. Pada hadis ini, ada penekanan untuk mencuci kaki hingga benar-benar bersih karena secara makna kaki adalah anggota tubuh yang paling dekat dengan tanah ketika digunakan untuk berjalan sehingga banyak kotoran dan noda yang melekat padanya, terkhusus jika seseorang tidak menggunakan alas kaki. Dengan kias, anggota wudu yang lain juga demikian jika kondisinya sama.[7]
  3. Ketika berwudu dan mencuci kaki hendaknya benar-benar memperhatikan kebersihan kaki dan tidak hanya sekadar bilangan cuciannya saja.[8] Namun demikian, ada ulama yang tidak sepakat terhadap penekanan ini karena berpegang pada kaidah ushul fikihyaitu,
Baca juga:  MAKRUH HUKUMNYA MENCUCI ANGGOTA WUDU LEBIH DARI TIGA KALI

وُجُوبُ حَمْلِ المُجْمَلِ عَلَى المُفَصَّلِ

“Wajib membawa yang mujmal (global) kepada yang mufasshal (terperinci).”[9] Allāhu A’lam bisshawāb.

  1. Sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa air musta’mal tidak sah digunakan kembali untuk bersuci.[10]

Footnote:

[1] H.R. Muslim (236).

[2] Mughlathai bin Qulaij bin Abdullah al-Misry al-Hanafi (w. 762 H). 1422 H. Ikmal Tahzibil Kamaal fii Asmaa al-Rijal. Al-Faaruq al-Haditsah. Jilid 3, hlm. 340.

[3] Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ al-Tirmidzi. Jilid 1, hlm. 115.

[4] Badruddin al-Aini. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 3, hlm. 301.

[5] Al-Qadhi Iyadh; Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Sabti (w. 544 H). 1419 H. Ikmalul Mu’lim bi fawaaid Muslim. Darul Wafa’, Mesir. Jilid 2, hlm. 28.

[6] Al-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm. 125.

[7] Ahmad bin Husain bin ruslan al-Ramliy al-Syafi’i (w. 844 H). Syarah Sunan Abi Daud. Darul Falah, Mesir, 1437 H. Jilid 2, hlm. 55.

[8] Ibnu Daqiiq al-‘Ied. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm. 84.

[9] As-Sindi; Muhammad bin Abdul Hadi (w. 1138 H). (1406 H). Hasyiyah al-Sindi ‘ala Sunan al-Nasai. Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah, Halab. Jilid 1, hlm. 70.

[10] Badruddin al-Aini. Syarah Sunan Abi Daud. Jilid 3, hlm. 301.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments