KLASIFIKASI MAZHAB SYIAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA HADIS

658
KLASIFIKASI MAZHAB SYIAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA HADIS
KLASIFIKASI MAZHAB SYIAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA HADIS
Perkiraan waktu baca: 6 menit

Merebak informasi di kancah ilmiah terkait perawi-perawi hadis yang bermazhab Syiah di dalam literatur-literatur hadis di kalangan ahli sunah, hal ini menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian kaum muslimin sehingga mengganggap bahwa fenomena ini menjustifikasi kebenaran pemikiran Syiah. Perawi yang terindikasi atau bahkan berafiliasi kepada pemikiran Syiah cukup banyak ditemukan di kitab-kitab literasi hadis ahli sunah, bahkan di dalam kitab sekelas Sahih Bukhari pun ada beberapa rawi yang terindikasi cenderung kepada Syiah, bahkan di antara mereka adalah perawi yang masyhur kepakarannya dalam periwayatan hadis, di antara contohnya:

  1. Aban bin Taghlib al-Kufi, Ibnu Hajar mengatakan, “Dia dicela karena cenderung kepada Syiah.”[1]
  2. Abdurrazzaq bin Hammam, Ibnu Hajar mengatakan, “Dia berpemikiran Syiah.”[2]
  3. Khalid bin Makhlad al-Qathawani, Ibnu Hajar mengatakan, “Berpemikiran Syiah.”[3]
  4. Ubaidullah bin Musa al-‘Absiy, Ibnu Hajar mengatakan, “Dia berpemikiran Syiah.”[4]
  5. Ismail bin Aban al-Warraq, Ibnu Hajar mengatakan, “Dia dicela karena cenderung kepada Syiah.”[5]

Ini adalah segelintir perawi yang sangat beken di dunia periwayatan, derajat hadis mereka sahih, bahkan sebagiannya diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahih-nya, namun para perawi tersebut terindikasi cenderung atau berafiliasi kepada pemikiran Syiah, yang kemudian berkembang menjadi syubhat bagi sebagian kaum muslimin, bahwa hal tersebut menjustifikasi dan melegitimasi kebenaran keyakinan Syiah di kalangan para ulama hadis.

Sejatinya yang patut dibedah adalah interpretasi makna Syiah menurut perspektif ulama hadis sebab mereka yang menggunakan istilah ini, maka patut ditelisik makna istilah ini menurut pandangan mereka, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau pengelabuan ketika mengutip ucapan-ucapan mereka, dan tentunya bukan sesuatu yang elok jika kita berhujah dengan ucapan atau istilah yang dipakai para ahli hadis, namun interpretasi dari istilah tersebut dicomot dari ulama dari disiplin ilmu yang lain, oleh karena itu mari kita simak pemaparan para peneliti dari ulama hadis, di antaranya adalah:

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni al-Syāfi’i rahimahullah mengatakan,

فالتشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان، وأنّ عليا كان مصيبا في حروبه وأنّ مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أنّ عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا لاسيما إن كان غير داعية

وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة

“Yang dimaksud dengan tasyayyu’ (berafilisiasi ke mazhab Syiah) menurut perspektif ulama terdahulu (mutaqaddimun) adalah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dan mulia dibandingkan Uṡman bin Affān, dan sikap Ali bin Abi Thalib lebih dekat dengan kebenaran ketika terjadi fitnah (perang) dengan sahabat-sahabat yang lain, dan sikap yang menyelisihinya lebih dekat dengan kesalahan, dan mereka tetap meyakini Abu Bakar dan Umar lebih utama dari Ali bin Thalib. Ada juga di antara mereka (Syiah) yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat setelah Rasulullah, jika ada perawi yang berkeyakinan seperti ini dibarengi dengan sifat warak, baik agamanya, jujur, dan seorang mujtahid, maka tidak ditolak riwayatnya apalagi jika ia bukan penyeru kepada bidahnya. Adapun tasyayyu’ dalam perspektif ulama mutakhir adalah menolak yang murni (yaitu menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Uṡman), perawi yang berafialiasi kepada pemikiran Rāfiḍah ini tidak diterima riwayatnya.”[6]

Baca juga:  JENIS HADIS KEDUA: HADIS HASAN

Imam Zahabi rahimahullah mengatakan,

أن البدعة على ضربين: فبدعة صغرى كغلو التشيع، أو كالتشيع بلا غلو ولا تحرف، فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رد حديث هؤلاء لذهب جملة من الآثار النبوية، وهذه مفسدة بينة

ثم بدعة كبرى، كالرفض الكامل والغلو فيه، والحط على أبى بكر وعمر رضى الله عنهما، والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة

وأيضا فما أستحضر الآن في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مأمونا، بل الكذب شعارهم، والتقية والنفاق دثارهم، فكيف يقبل نقل من هذا حاله ! حاشا وكلا

فالشيعي الغالى في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا رضى الله عنه، وتعرض لسبهم

والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة، ويتبرأ من الشيخين أيضا، فهذا ضال معثر

“Bidah ada dua macam; Yang pertama: bidah kecil, seperti sikap guluw (melampaui batas) sekte Syiah, maka bidah model ini banyak di kalangan sahabat dan tabiin, disamping sifat warak dan jujur mereka.

Jika hadis mereka ditolak, maka akan hilang sebagian hadis nabi, dan ini merupakan mudarat yang nyata. Kedua: bidah besar, seperti bidah kaum Rāfiḍah, yang mencela Abu bakar dan Umar dan menyeru manusia kepada bidah ini, maka pelaku bidah model ini ditolak riwayatnya, dan seingat penulis, ahli bidah model kedua ini tidak ada yang bersifat jujur dan amanah, namun kedustaan adalah tabiat dan perilaku mereka, dan taqiyyah adalah selimut mereka, lalu bagaimana riwayat mereka akan diterima?

Syiah ekstrem di zaman salaf (zaman sahabat dan tabiin) adalah yang mencela Uṡman, Thalhah, Zubair, dan Mu’āwiyah. Adapun Syiah ekstrem di zaman kita (zaman Imam Zahabi) adalah orang yang mengkafirkan para sahabat, dan berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, orang yang seperti ini adalah orang yang sangat sesat.”[7]

Ini adalah klarifikasi dua pakar hadis pada zamannya, bahkan mereka termasuk ulama peneliti terkait disiplin ilmu hadis dan para perawinya, buktinya adalah gelar al-Hāfiz yang tersemat pada kedua ulama ini. Dari pemaparan dua ulama ini dapat disimpulkan sebagai berikut,

1.    Fenomena ini menunjukkan objektifitas, kejujuran, dan transparansi para ulama hadis di kalangan ahli sunah, yang mana mereka tidak menutup-menutupi riwayat-riwayat yang datang dari para perawi yang terinfeksi pemikiran-pemikiran bidah seperti pemikiran Khawarij, Syiah, Qadariyah, Murjiah, dan lain sebagainya. Tentunya fenomena ini tidak berkonsekuensi pada justifikasi serta pembenaran akidah dan pemikiran mereka, karena sejatinya dalam konteks ini yang menjadi objek kajian adalah riwayat-riwayat mereka menurut perspektif disiplin ilmu periwayatan hadis, jika nampak indikasi-indikasi kejujuran dan kelurusan riwayat mereka dan tidak ada ilat (kelemahan yang tersebunyi) padanya, maka hadisnya dihukumi dengan derajat sahih atau hasan, namun jika yang nampak adalah indikasi-indikasi kelemahan pada untaian sanad dan matannya, maka hadisnya dihukumi dengan lemah.

Baca juga:  GAMBARAN RINGKAS KITAB-KITAB HADIS (BAGIAN II)

2.  Derajat afiliasi kepada mazhab Syiah (tasyayyu’) bertingkat-tingkat sesuai dengan eskalasi penyelisihan terhadap al-Quran dan sunah, dalam konteks kajian ini istilah Syiah menurut pengertian para ulama pakar hadis memiliki beberapa tingkatan.

Pertama: Kelompok yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dibandingkan Uṡman Bin Affān dengan tetap meyakini keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas keutamaan Ali bin Abi Thalib.

Kedua: Kelompok yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih mulia dan lebih utama dibandingkan dengan sahabat yang lain, bahkan dengan Abu Bakar dan Umar, namun mereka tidak mencela dan mengkafirkan para sahabat yang lain.

Dua kelompok ini masuk dalam kategori bidah yang ringan.

Ketiga: Kelompok yang meyakini keutamaan Ali bin Abi Thalib mengalahkan seluruh sahabat, diiringi dengan sikap mencela dan merendahkan para sahabat yang lain (bahkan mengkafirkan), terutama sahabat-sahabat nabi yang senior seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Uṡman bin Affan, Aisyah, dan yang lainnya radiyallahu ‘anhum.

Kelompok ini masuk dalam kategori sekte Rāfiḍah, dan secara prinsip riwayat-riwayat mereka tertolak.

Para perawi hadis yang masuk dalam kategori kelompok pertama dan kedua dan tambah sikap warak, jujur, dan kelurusan riwayat-riwayat mereka, maka riwayat-riwayat mereka dapat diterima, adapun perawi yang masuk dalam kategori kelompok yang ketiga, secara prinsip riwayat-riwayat mereka tertolak.

3.   Dari pemaparan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa landasan diterimanya riwayat berpijak pada dua asas penting, yang pertama ketakwaan (al-‘adālah), dan yang kedua kekuatan hafalan seorang perawi (al-ab). Kualitas ketakwaan (al-‘adālah) seorang rawi berpengaruh kepada komitmennya kepada syariat sehingga perawi yang berhias dengan ketakwaan yang tinggi akan berkomitmen dalam menjauhi dosa kecil maupun dosa besar, di antaranya dosa berdusta atas nama Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, adapun asas yang kedua yaitu kekuatan hafalan seorang perawi (al-ab) dapat meminimalisir atau menghilangkan kesalahan seorang perawi dalam meriwayat hadis yang telah dihafalnya.

Seorang perawi yang rendah ketakwaannya dikhawatirkan dengan sengaja menghalalkan segala cara agar riwayat dan hadisnya diterima oleh masyarakat, kendati cara tersebut diharamkan oleh syariat, misalnya dengan berdusta atas nama Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, adapun perawi yang berhias dengan ketakwaan semata, namun kekuatan hafalannya lemah dan banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis, kendati dia terhindar dari sikap dusta karena ketakwaanya, namun ada potensi besar baginya untuk terjatuh ke dalam kesalahan ketika meriwayatkan hadis disebabkan buruknya hafalannya.

Baca juga:  HADIS SAHIH

4.  Ada pergeseran yang sangat besar terkait makna dan subtansi pada istilah Syiah atau tasyayyu’ (afilisiasi kepada Syiah), dan fenomena ini wajib untuk diwaspadai oleh kaum muslimin agar tidak salah kaprah terkait istilah ini sehingga terjatuh ke dalam kesalahfahaman terhadap diksi yang digunakan oleh para ulama hadis terkait istilah ini, dan pergeseran ini dijelaskan dengan sangat gamblang oleh dua orang ulama di atas, sebagaimana telah dijelaskan di poin kedua dari artikel ini.

Adapun perawi yang berafilisiasi kepada pemikiran Rāfiḍah maka hukum asal dari periwayatan mereka tertolak, fakta ini dapat ditelisik dengan jelas lewat sikap para ulama terkait periwayatan mereka, baik para ulama yang terdahulu (al-mutaqaddimun) ataupun para ulama yang mutakhir sebagaimana dijelaskan oleh al-Hāfiz Ibnu Hajar dan al-Hāfiz Zahabi di atas.

Di antara ulama terdahulu, ucapan yang cukup menohok dalam masalah ini adalah ucapan Imam Syafi’i rahimahullah terkait dengan Rāfiḍah, beliau mengatakan,

لَمْ أَرَ أَحَداً مِنْ أَهْلِ الأَهْوَاءِ أَشْهَدُ بِالزُّوْرِ مِنْ الرَّافِضَةِ

“Saya tidak mendapatkan dari sekte yang berpijak pada hawa nafsu (menyelisihi al-Quran dan sunah) yang lebih besar dustanya dibandingkan dengan sekte Rāfiḍah.”[8]

Asyhab bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan,

سُئِلَ مَالِكَ عَنِ الرَّافِضَةِ فَقَالَ: لَا تُكَلِّمْهُمْ وَلَا تَرْوِ عَنْهُمْ فَإِنَّهُمْ يَكْذِبُوْنَ

“Imam Malik ditanya tentang sekte Rafidah, beliau menjawab, “Jangan berbicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan hadis dari mereka, sebab mereka adalah pendusta.”[9]

Yazid bin Harun rahimahullah mengatakan,

يُكْتَبُ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ إِذَا لَمْ يَكُنْ دَاعِيَةً إِلَّا الرَّافِضَة فَإِنَّهُمْ يَكْذِبُون

“Dicatat (diambil) ilmu dari semua (ulama) yang ada bidahnya jika bukan termasuk penyeru terhadap bidah kecuali dari Rafidah, sebab mereka pendusta.”[10]

Ini adalah hukum asal periwayatan dari perawi Rāfidah bahwa periwayatan mereka secara garis besar tertolak pada zaman para periwayatan.

Alhasil, adanya perawi-perawi yang terindikasi berafiliasi terhadap pemikian Syiah di kitab-kitab hadis ahli sunah bukan hujah untuk melegitimasi kebenaran akidah dari sekte tersebut, sebab para ulama hadis memiliki interpretasi khusus terkait istilah tersebut, bahwa secara umum perawi-perawi tersebut terindikasi terkontaminasi pemikiran Syiah yang ringan sebagaimana dijelaskan oleh al-Hāfiz Ibnu Hajar dan al-Hāfiz Zahabi, adapun perawi Syiah yang ekstrem, yang mencela sebagian besar sahabat nabi bahkan mengkafirkan mereka, hukum asal dari riwayat mereka adalah tertolak.

Wallahu a’lamu bi al-sawāb.


Footnote:

[1] Taqribu al-Tahzib, no. biografi: 136.

[2] Idem, no. biografi: 4064.

[3] Idem, no boigrafi: 1677.

[4] Idem, no biografi: 4345.

[5] Idem, no biografi: 410.

[6] Lihat Tahzību al-Tahdzīb (1/81-82).

[7] Lihat Mīzānul I’tidāl, karya Imam Zahabi (1/6).

[8] Al-Kifāyah fī Ilmi al-Riwāyah, karya Khātib al-Baghdadi, hal. 126.

[9] Al-Nukat ‘Alā Muqaddimati Ibni al- Ṣalāh, karya Zarkasyi (3/399).

[10] Idem.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments