Daftar Isi:
REDAKSI HADIS
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah azza wajalla tidak memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.”
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (5783), Imam Muslim (2085), Abu Dawud (4085), Al-Tirmidzi (1730). Di dalam riwayat Al-Bukhari (3665) dan Muslim (2085) ada tambahan lafaz yaitu,
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah azza wajalla tidak memandang kepadanya pada hari kiamat.”
Di dalam riwayat ini ada tambahan “pada hari kiamat.”
PROFIL SAHABAT
Abdullah bin Umar bin Al-Khattab bin Nufail Al-Qurasyi, kuniyah-nya Abu Abdurrahman, dilahirkan tiga tahun setelah Rasulullah mendapatkan wahyu di Gua Hira, dan berhijrah ke Madinah ketika usianya mencapai 10 atau 11 tahun atau lebih sedikit. Beliau mengajukan diri untuk berpartisipasi dalam Perang Badar namun ditolak oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena usianya masih muda yaitu 13 tahun, demikian juga dalam Perang Uhud. Beliau diizinkan untuk ikut serta dalam jihad pertama kali pada perang Khandak, pada saat itu usia beliau mencapai 15 tahun.
Di antara keutamaan beliau adalah termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan termasuk ahli ibadah di kalangan sahabat. Beliau banyak menghidupkan malam-malamnya dengan beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, khususnya ketika mendengar sabda Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wasallam lewat kakaknya Hafshah binti Umar yang merupakan salah seorang istri Rasulullah,
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah jika dia melaksanakan salat malam.”[1]
Beliau juga mirip sang ayah, Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu dari sisi pengagungan terhadap sunah yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Masih banyak keutamaan yang beliau miliki. Beliau wafat pada tahun 73 atau 74 H, radiyallahu ‘anhu wa askanahu fasihi jannatihi.
PENJELASAN HADIS
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ
“Allah azza wajalla tidak memandang…”
Ada dua interpretasi terkait dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini:
Pertama: tidak merahmati hamba.[2]
Kedua: tidak memandang hamba dengan pandangan rahmat, kasih sayang, dan kelembutan.[3]
Makna dari pandangan Allah azza wa jalla ini sangat impresif karena di dalam riwayat yang lain di dipaparkan waktu terjadinya pandangan ini, yaitu pada hari kiamat sebagaimana telah kami paparkan di takhrij hadis, yang merupakan waktu yang sangat krusial bagi seorang hamba, sehingga sangat amat membutuhkan rahmat dan kasih sayang Allah azza wajalla.
Al-‘Iraqi rahimahullah mengatakan,
إن قلت: ما معنى التقييد بيوم القيامة (قلت) ؛ لأنه محل الرحمة العظيمة المستمرة التي لا تنقطع، بخلاف رحمة الدنيا فقد تنقطع عن المرحوم ويأتي له ما يخالفها.
“Jika engkau mengatakan, ‘Apa hikmah di balik penyebutan pada hari kiamat (pada hadis tersebut)?’ Maka saya jawab, ‘Karena pada hari tersebut merupakan momentum penganugerahan rahmat Allah yang sangat besar nan abadi dan tidak terputus, berbeda dengan rahmat ketika di dunia, terkadang rahmat tersebut terputus, dan berganti dengan yang sebaliknya.’”[4]
Ancaman yang dikandung hadis ini mengindikasikan bahwa perbuatan yang diperingatkan di dalam hadis ini adalah bagian dari dosa besar, dan Al-Dzahabi rahimahullah mencantumkan aktifitas ini sebagai dosa besar yang ke 55.[5]
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
“Kepada orang yang menjulurkan pakaiannya…”
Yang dimaksud dengan menjulurkan pakaian adalah menjulurkannya melebihi mata kaki.
Di dalam hadis Abdullah bin Umar juga, beliau mengatakan,
مَرَرْتُ عَلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم وَفِى إِزَارِى استِرْخَاءِ فقال : يَا عَبْدَ الله اِرْفَعْ إِزَارَكَ. فَرَفَعْتُهُ فَقَالَ :زِدْ. فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّى بَعْد ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمَ : أَيْنَ؟ فَقَالَ : أَنْصَافُ السَّاقَيْنِ.
“Saya melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan kain yang aku pakai menjulur, maka Rasulullah bersabda, ‘Wahai Abdullah, angkatlah kainmu!’ Maka saya angkat kainku. Rasulullah bersabda, ‘Angkat lagi!’ Maka saya angkat lagi kainku, dan saya senantiasa mengangkat kainku setelah itu. Ada orang yag bertanya, ‘Sampai mana batasnya?’ Dia berkata, ‘Pertengahan betis.’”[6]
Imam Al-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa yang dimaksud adalah pakaian menjulur melebihi mata kaki, dan insyaallah akan dipaparkan lebih terperinci hukum terkait masalah ini di fikih hadis.
Lebih gamblang lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
“Kain yang menjulur sampai di bawah mata kaki (disiksa) di neraka.”[7]
Perbuatan ini biasanya lebih populer dengan istilah isbal, subjeknya disebut musbil, dan istilah ini dipakai juga di dalam hadis sebagaimana sabda Rasulullah,
يَا سُفْيَانُ بِنْ سَهْل لَا تُسْبِلْ، فَإِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِيْن
“Wahai Sufyan bin Sahl jangan isbal, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal.”[8]
Al-Sindi rahimahullah mengatakan di dalam Hasyiyah-nya, “Yang dimaksud dengan isbal adalah menjulurkan kain (pakaian atau celana) sampai di bawah mata kaki.”[9]
Hukum yang dikandung oleh hadis ini tidak terbatas pada pakaian tertentu saja, namun celana, sarung, jubah, kemeja, kain (seperti kain ihram) juga inklusif dalam ancaman hadis ini.[10]
Hal ini dipertegas dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
الإِسْبَالُ فِى الإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Isbal -yang diharamkan hukumnya- mencakup kain (seperti sarung atau kain ihram), baju, dan serban. Barang siapa yang menjulurkan salah satunya karena sombong, maka Allah azza wajalla tidak memandang kepadanya pada hari kiamat.”[11]
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
خُيَلَاءَ
“karena sombong.”
Ini adalah motif (‘illah) dari ancaman yang dipaparkan hadis di atas, maksudnya ancaman di atas akan benar-benar terealisasi jika menjulurkan pakaian di bawah mata kaki diiringi dengan kesombongan.
FIKIH HADIS:
- Hadis ini adalah bukti bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang komprehensif dan lengkap, ajarannya menyentuh seluruh lini kehidupan.
- Pahala setimpal dengan perbuatan yang mana Allah memandang dengan pandangan murka orang yang sombong, dan memandang dengan pandang rahmat kepada orang rendah hati dan taat kepada Allah.[12]
- Larangan untuk menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Jadi batas panjang pakaian maksimal sejajar dengan mata kaki. Adapun panjang minimal adalah sampai pertengahan betis, dan ukuran ini adalah yang paling ideal.
- Panjang pakaian seseorang ada beberapa kondisi, perinciannya sebagai berikut:
Pertama: panjang pakaiannya (mencakup jubah, celana, kain, dan lainnya) di atas mata kaki.
Ini adalah kondisi ideal bagi seorang laki-laki dan sesuai dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan batasan yang paling ideal adalah sampai pertengahan betis sebagaimana yang telah dipaparkan di hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua: panjangnya sejajar dengan mata kaki.
Kondisi seperti ini belum termasuk dalam ancaman hadis di atas, jadi hukumnya masih belum melanggar syariat.
Ketiga: menjulurkan pakaian di bawah mata kaki dengan diiringi kesombongan.
Telah tegak konsensus para ulama terkait dengan haramnya kondisi ini.[13] Golongan ini masuk dalam ancaman hadis di atas, dan aktifitas ini terklasifikasi sebagai dosa besar sebagaimana dipaparkan oleh Imam Al-Dzahabi rahimahullah.
Keempat: menjulurkan pakaian di bawah mata kaki, dengan tidak diiringi kesombongan, namun bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat, dan lain sebagainya.
Kondisi ini diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, dan secara global ada dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya makruh dan bukan haram
Ini adalah pendapat mayoritas para ulama.[14]
Adapun dalil-dalil yang dijadikan pijakan adalah:
- motif (‘illah) dari ancaman yang dikandung hadis adalah hadirnya kesombongan di dalam hati, contohnya seperti hadis:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
“Allah azza wajalla tidak memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.”
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ جَرّ إِزَارَهُ لَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ إِلَّا الْمَخِيْلَةَ فَإِن اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Siapa yang menjulurkan pakaiannya disebabkan karena kesombingan, sesungguhnya Allah tidak memandang kepadanya pada hari kiamat.”[15]
Adapun hadis-hadis yang mutlak, yang tidak dipaparkan motif (‘illah) dari memanjangkan pakaian tersebut, maka harus dibawa kepada hadis-hadis yang muqayyad (terikat dengan motif), dan hal ini selaras dengan kaedah yang beredar di dalam disiplin ilmu usul fikih “Membawa dalil yang mutlak kepada dalil yang muqayyad” (hamlul mutlaq ‘alal muqayyad)[16].
- Hadis-hadis yang mengandung keringanan bagi sahabat untuk isbal, di antaranya adalah hadis,
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Siapa yang menjulurkan pakaian (melebihi mata kaki) dengan diiringi kesombongan, maka Allah tidak memandang kepadanya pada hari kiamat. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Sesungguhnya salah satu ujung kainku menjulur (sampai dibawah mata kaki), namun saya selalu menariknya ke atas. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak melakukan hal tersebut karena sombong.’”[17]
Pendapat kedua: hukumnya haram
Menjulurkan pakaian sampai di bawah mata kaki hukumnya adalah haram secara mutlak, baik diiringi dengan kesombongan maupun tidak diiringi dengan kesombongan.
Pendapat ini diadopsi oleh Ibnu Hazm, sebuah riwayat dari mazhab Hanbali, Ibnu ‘Arabi, Al-Qadhi Iyadh, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Shan’ani, Syekh Bin Baz, Syekh Muhammad Al-‘Utsaimin, dan Syekh Albani.[18]
Dasar dan pijakan para ulama ini adalah hadis-hadis yang melarang aktifitas isbal secara mutlak, di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Kain yang menjulur di bawah mata kaki (disiksa) di neraka.”[19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثلاثةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَلاَ يَنْظُرُ إلَيْهِمْ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، قَالَ : فقَرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاثَ مِرار ، قَالَ أَبُو ذرٍّ : خَابُوا وَخَسِرُوا ! مَنْ هُمْ يَا رسول الله؟ قَالَ : المُسْبِلُ، وَالمنَّانُ، وَالمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالحَلِفِ الكاذِبِ
“’Tiga golongan yang tidak diajak berbicara oleh Allah azza wajalla pada hari kiamat, Dia tidak memandang kepada mereka, tidak disucikan oleh Allah, dan bagi mereka azab yang pedih,’ Rasulullah mengucapkan ancaman ini sebanyak tiga kali, Abu Dzar mengatakan, ‘Sungguh mereka telah binasa dan merugi! Siapa mereka wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda, ’Orang isbal (yang menjulurkan pakaiannya), orang yang bersedekah atau memberikan kepada orang lain sesuatu tapi mengungkitnya, dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta.’”[20]
Hadis di atas hukumnya mutlak, tidak terikat dengan kesombongan, konsekuensinya adalah semua aktifitas isbal – baik diiringi dengan kesombongan maupun tidak- hukumnya adalah haram.
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Dan hindarilah menjulurkan kain melebihi mata kaki, sesungguhnya perbuatan tersebut adalah bagian dari kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”[21]
Hadis ini ibarat hakim pemutus bagi masalah ini, bahwa perbuatan menjulurkan pakaian sampai melebihi mata kaki adalah bagian dari kesombongan itu sendiri, dan inilah yang ditetapkan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah. Beliau mengatakan,
لا يجوز لرجل أن يجاوز بثوبه كعبه، ويقول لا أتكبر فيه، لأن النهي قد تناوله لفظا، ولا يجوز لمن يتناوله اللفظ حكما أن يقول: لا أمتثله؛ لأن تلك العلة ليست فيّ، فإنها دعوى غير مسلمة، بل إطالة ذيله دالة على تكبره.
“Tidak boleh bagi seorang laki-laki menjulurkan pakaiannya melebihi mata kakinya, dan mengatakan, ‘Saya tidak sombong,’ sebab dia sebenarnya tercakup dalam larangan lafaz hadis, dan secara hukum, tidak boleh bagi orang yang tercakup dalam lafaz untuk mengatakan, ‘Saya tidak akan melakukannya, sebab ‘illah (motif hukum) tidak ada di saya.” Sesungguhnya klaim seperti ini tertolak, bahkan sejatinya menjulurkan pakaiannya (saja), menunjukkan kesombongannya.”[22]
Selain berpijak di atas hadis-hadis ini, para ulama yang memenangkan pendapat ini juga memiliki tanggapan atas dalil-dalil yang di sampaikan oleh para ulama yang menguatkan pendapat pertama. Di antara tanggapan tersebut adalah:
- Kaedah hamlul mutlak ‘alal muqayyad (membawa dalil yang mutlak kepada dalil yang muqayyad), bahwa hadis terkait ancaman isbal ada dua jenis: hadis yang mutlak yaitu isbal yang tidak diiringi kesombongan dan hadis yang muqayyad (diiringi dengan sikap sombong), maka hadis yang mutlak wajib dibawa kepada hadis yang muqayyad, maka sejatinya ancaman yang dikandung hadis akan terealisasi jika isbalnya diiringi kesombongan.
Demikian konklusi yang kuatkan oleh para ulama pengusung pendapat pertama.
Tanggapan:
Hadis-hadis tentang isbal tidak inklusif dalam kaedah hamlul mutlak ‘alal muqayyad (membawa dalil yang mutlak kepada dalil yang muqayyad), sebab kaedah ini bisa dipraktikkan jika hukum dan sebab selaras, atau minimal selaras dari sisi hukum saja. Sedangkan pada hadis-hadis terkait isbal syarat di atas nihil, oleh karena itu kaedah hamlul mutlak ‘alal muqayyad tidak bisa diterapkan dalam hadis ini, sebab berbeda hukum dan sebabnya.
Coba perhatikan hadis-hadis terkait isbal, yang pertama hadis yang mutlak,
مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
“Kain yang menjulur sampai di bawah mata kaki (disiksa) di neraka.”[23]
Jika hadis di atas ditelisik, maka sebabnya adalah menjulurkan kain melebihi mata kaki secara mutlak (tidak diiringi kesombongan), sedangkan hukumnya adalah pelakunya diazab anggota tubuhnya di neraka sebatas pakaian yang melebihi mata kaki tersebut.
Adapun hadis yang muqayyad,
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
“Allah azza wajalla tidak memandang kepada orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.”
Secara zahir hadis di atas memaparkan bahwa sebab azab adalah menjulurkan pakaian di bawah mata kaki dengan diiringi kesombongan, sedangkan hukumnya adalah Allah tidak memandang kepadanya dengan pandangan kasih sayang dan kelembutan pada hari kiamat.
Alhasil, kedua hadis tidak relevan dari sisi sebab dan hukumnya, sehingga kaedah hamlul mutlak ‘alal muqayyad tidak bisa diterapkan untuk hadis ini.[24]
- Hadis terkait ucapan Rasulullah kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau menceritakan bahwa pakaiannya menjulur sampai di bawah mata kaki “Sesungguhnya engkau tidak melakukan hal tersebut karena sombong.”
Kesimpulannya; ucapan tersebut mengisyaratkan bahwa jika seseorang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki dengan tidak diiring sikap sombong, maka dibolehkan.
Tanggapan:
- Pendapat pertama adalah hukum memanjangkan pakaian di bawah mata kaki jika tidak diiringi sikap sombong adalah makruh, sedangkan zahir hadis terkait sikap Rasulullah terhadap Abu Bakar adalah boleh, dan itu makna zahir dari ucapan Rasulullah, “Sesungguhnya engkau tidak melakukan hal tersebut karena sombong.”
Maksudnya, ada cacat dalam metode istidlal, yang mana ulama yang menguatkan pendapat pertama, yaitu: makruhnya menjulurkan pakaian di bawah mata kaki jika tidak sombong, namun dalil yang dipakai adalah hadis yang mengandung pembolehan perbuatan kepada Abu Bakar.
- Mari kita telisik redaksi hadis terkait Abu Bakar di atas.
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya salah satu ujung kainku menjulur (sampai dibawah mata kaki), namun saya selalu menariknya keatas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ’Sesungguhnya engkau tidak melakukan hal tersebut karena sombong.’”[25]
Mari kita simak dengan saksama penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani terkait hadis ini, beliau mengatakan,
وكان سبب استرخائه نحافة جسم أبي بكر، قوله: إلا أن أتعاهد ذلك منه، أي يسترخي إذا غفلت عنه، ووقع في رواية معمر عن زيد بن أسلم عند أحمد: أن إزاري يسترخي أحيانا، فكأن شده كان ينحل إذا تحرك بمشي أو غيره بغير اختياره فإذا كان محافظا عليه لا يسترخي لأنه كلما كاد يسترخي شده
“Dan penyebab menjulurnya kain Abu Bakar adalah karena beliau badannya kurus, ucapan Abu Bakar ‘namun saya selalu menjaganya (memeganginya atau menariknya keatas)’ maknanya adalah kain beliau akan menjulur jika Abu Bakar lalai untuk menjaganya (baik memeganginya atau menariknya keatas). Dan di dalam riwayat Ma’mar dari Zaid bin Aslam yang diriwayatkan oleh Ahmad, ‘Bahwa kainku terkadang menjulur melebihi mata kaki,’ nampaknya penyebabnya adalah lepasnya atau kendornya ikatannya jika Abu Bakar sedang berjalan, hal itu terjadi dengan tidak sengaja, jika Abu Bakar menjaga kainnya, maka kainnya tidak menjulur, sebab setiap kali akan menjulur maka ikatannya akan diperketat.’”[26]
Kesimpulan dari pemaparan ini adalah sebagai berikut:
- Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sejatinya tidak isbal.
- Kainnya menjadi isbal disebabkan karena tubuhnya yang kurus, jadi jika beliau bergerak ikatan kainnya menjadi kendor, hal tersebut berpotensi menjadikan kainnya isbal.
- Abu Bakar senantiasa menjaga kain itu agar tidak isbal, baik dengan cara memperkuat ikatannya maupun dengan cara menjaganya agar tidak menjulur.
- Proses isbal-nya kain Abu Bakar bukan disebabkan unsur kesengajaan.
Jika ini realita dan fakta yang terjadi dengan Abu Bakar, maka hadis ini tidak relevan untuk dijadikan dalil makruhnya isbal jika tidak diiringi kesombongan, karena terjadi perbedaan realitas yang signifikan, sebab aktifitas isbal yang dipraktikkan masyarakat berpijak pada kesengajaan dan tidak ada upaya untuk menjaga pakaiannya dengan menariknya dan lain sebagainya.
Setelah diskusi ringan ini, maka disimpulkan bahwa pendapat yang mengharamkan aktifitas isbal secara mutlak lebih kuat secara dalil, dan lebih dekat dengan kehati-hatian.
Dan perlu diingatkan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini murni berkaitan dengan masalah fikih, dan masuk dalam kategori perbedaan pendapat yang muktabar secara syariat, dan perbedaan pendapat ini tidak berhubungan dengan akidah dan manhaj seseorang. Oleh karena itu, seharusnya perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak berkonsekuensi pada permusuhan dan boikot, apalagi sampai mengeluarkan sang rival dari barisan ahlussunah.
Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Shahih Al-Bukhari (1122), dan Shahih Muslim (2479).
[2] Al-Minhaj Syarh Muslim (14/61), dan Tharh Tatsrib (8/171).
[3] Idem.
[4] Tharh Tatsrib (8/171).
[5] Al-Kabair karya Al-Dzahabi, hal. 215.
[6] Shahih Muslim (2086).
[7] Musnad Ahmad (20168).
[8] Sunan Ibn Majah (3574).
[9] Hasyiyah Al-Sindi (6/495).
[10] Tharh Tastrib (8/171).
[11] Mushannaf Ibn Abi Syaibah (25337), dan Sunan Abu Dawud (4096).
[12] Tharh Tatsrib (8/171).
[13] Fikih Libas waz Zinah, Al-Qism Al-‘Ilmi bi Muassasatil Al-Durar Al-Saniyah, hal. 69.
[14] Lihat: Fatawa Al-Hindiyah (5/333), Al-Muntaqa karya Al-Baji (7/225-226), dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab (4/454).
[15] Shahih Muslim (2085).
[16] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (14/63).
[17] Shahih Al-Bukhari (3665).
[18] Lihat Al-Inshaf karya Al-Mardawi (1/333), Al-Muhalla karya Ibnu Hazm (2/329), ‘Aridhatul Ahwadzi (7/238), Iqtidhau Shirathal Mustaqim hal. 383, Fathul Bari (10/263), Istifaul Aqwal fi Tahrimil Isbal ‘Alar Rijal karya Al-Shan’ani, Fatawa Syekh Bin Baz (8/275), Syarh Riyadhus Shalihin (4/287), Silsilah Ahadits Shahihah no. hadis:(2682).
[19] Shahih Al-Bukhari (5787).
[20] Shahih Muslim (106).
[21] Sunan Abu Dawud (4086).
[22] ‘Aridhatul Ahwadzi (7/238) dan Fathul Bari (10/264).
[23] Musnad Ahmad (20168).
[24] Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (10/259), dan Fatawa Ibnu ‘Utsaimin (12/307-308).
[25] Shahih Al-Bukhari (3665).
[26] Fathul Bari (10/255).
Terimakasih atas tulisan nya barakallahufikum
wa fiikum baarakallah