عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَومٍ وَدِمَاءَهُمْ، وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِيْ، وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر. حديث حسن رواه البيهقي هكذا بعضه في الصحيحين
Ibnu ‘Abbās radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya setiap orang dikabulkan sesuai dengan tuntutannya tentunya akan banyak orang yang menuntut harta dan darah suatu kaum. Akan tetapi orang yang menuntut wajib mendatangkan bukti dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang mengingkari (tuduhan).” (Hadis hasan diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lain-lain dengan lafaz seperti ini. Sebagian lafaznya terdapat dalam al-Shaḥīḥain).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Nawawi. Riwayat hadis ini berporos pada rawi yang bernama Ibnu Juraij dari Ibn Abī Mulaikah, dari Ibnu ‘Abbās, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini melalui jalur al-Ḥasan bin Sahl dari Abdullah bin Idris dari Ibnu Juraij.[1]
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini melalui jalur Abdullah bin Dawud dari Ibnu Juraij. Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur Ibnu Wahb dari Ibnu Juraij. Pada kedua jalur ini, disebutkan lafaz berikut:
الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Sumpah harus diberikan oleh orang yang dituduh.”[2]
Lafaz serupa juga diriwayatkan Ibnu Majah,[3] Ibnu Hibban,[4] al-Baihaqi,[5] dan al-Dāraquṭni[6] dari berbagai murid Ibnu Juraij.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, diketahui bahwa riwayat al-Baihaqi melalui jalur al-Ḥasan bin Sahl dari Abdullah bin Idris berbeda dengan lafaz yang diriwayatkan oleh kebanyakan murid Ibnu Juraij lainnya. Mungkin inilah faktor yang menyebabkan Imam Bukhari dan Muslim tidak mencantumkan lafaz yang dicantumkan oleh Imam al-Nawawi.
Meski demikian, lafaz ini dapat menafsirkan lafaz yang tercantum dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, berisi prinsip persidangan dalam Islam. Al-Qurṭubi berkata, “Hadis ini merupakan sebuah pokok dari pokok-pokok prinsip hukum dan merupakan referensi teragung dalam perkara sengketa.”[7] Hadis ini mengajarkan bahwa orang yang mendakwakan sesuatu tidak serta merta dimenangkan dalam pengadilan disebabkan karena dakwaan/tuntutannya. Hal ini berlaku tanpa memandang kedudukan orang tersebut dan besar kecilnya perkara. Orang yang datang dengan tuduhan hendaknya pula mendatangkan bukti. Bukti yang dimaksud dalam hadis ini adalah segala sesuatu yang dapat membuktikan kebenaran, salah satunya adalah dengan adanya saksi. Bahkan terdapat ijmak yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bukti dalam hadis ini adalah saksi.[8]
Saksi dibutuhkan karena sejatinya orang yang menuduh itu mendakwakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak sesuai dengan kenyataan apabila dilihat sepintas. Oleh karena itu, dakwaan yang ia lontarkan adalah lemah dan mesti dikuatkan dengan saksi. Berbeda dengan orang yang menuduh, orang yang tertuduh keadaannya sangat kuat karena pada prinsipnya seseorang itu wajib dianggap tidak bersalah. Oleh karena itu, hanya dibutuhkan sumpah untuk semakin menguatkan posisi tertuduh jika tidak terdapat bukti.
Zahir hadis yang menunjukkan bahwa semua orang yang dituduh hendaknya bersumpah jika tidak terdapat bukti yang memberatkannya. Inilah yang diamalkan oleh sebagian ulama. Sebagian ulama yang lain, yaitu ulama dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa hal ini dapat diberikan pengecualian apabila sebelumnya orang yang dituduh tidak pernah memiliki interaksi apapun dengan orang yang menuduhnya.[9]
Hadis ini juga menunjukkan bahwa Islam bukan hanya di masjid, musala, atau majelis-majelis taklim semata. Islam bukan hanya mengatur ibadah, namun juga mengatur segala sendi-sendi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun masyarakat.
Footnote:
[1] HR. Al-Baihaqi (21261).
[2] HR. Bukhari (4552) dan Muslim (1711).
[3] HR. Ibnu Majah (2405).
[4] HR. Ibnu Hibban (5087,5088).
[5] HR. Al-Baihaqi (10912, 21257, 21259).
[6] HR. Al-Dāraquṭni (4315).
[7] Al-Mufhim (5/148).
[8] Lihat: Al-Wāfi hal 257.
[9] Lihat: Al-Risālah karangan Al-Qairawāni hal 131 dan Al-Ḥulal Al-Bahiyah hal. 267-268.
Barakallahu fiek ustadz
Waa fiikum baarakallah akhi