HADIS KE-15 AL-ARBAIN: TANDA IMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIR

933
TANDA IMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIR
TANDA IMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIR
Perkiraan waktu baca: 4 menit

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرَاً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ» رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan dhaif-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadis ini, baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajarkan tiga perkara yang agung. Siapa saja yang dapat mengerjakannya maka akan diganjar pahala dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Tiga perkara itu adalah sebagai berikut :

  1. Berkata yang baik. Jika tidak bisa maka hendaknya diam. Lisan adalah sebuah nikmat yang Allah anugerahkan kepada manusia. Lisan ibarat pedang yang memiliki dua mata. Dengannya seorang hamba bisa meraih derajat yang tinggi di dunia dan akhirat, dengannya pula seseorang bisa terjerambab jauh ke dalam jurang kehinaan di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang mengatakan ucapan yang mengundang rida Allah tanpa menduga bahwa dengannya dia akan mencapai derajat tertentu. Dengannya Allah tetapkan keridaan-Nya hingga hari kiamat. Sesunggunya pula seseorang bisa jadi mengucapkan suatu ucapan yang mengundang murka Allah sedang dia tak menyangka bahwa dengannya dia mencapai murka tersebut. Dengannya, Allah tetapkan baginya kemurkaan-Nya hingga hari kiamat.”[1] Lisan seseorang tidak melebihi sehasta jari tangannya, namun sangat berbahaya. Muādz bin Jabal bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Apakah kita akan diazab disebabkan apa yang kita ucapkan?” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “… Apalagi yang menyebabkan manusia tersungkur di atas wajahnya atau hidungnya di neraka kalau bukan buah lisan mereka?”[2] Di sisi lain, lisan menjadi alat untuk menghasilkan pahala dan kebaikan. Bukankah zikir dan membaca al-Qur’an dilakukan dengan lisan? Keduanya termasuk amalan yang paling agung. Bukankah amar maruf dan nahi mungkar dilakukan dengan lisan? Keduanya termasuk amalan yang mulia. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya adalah rukun Islam yang keenam. Oleh sebab itu, di dalam hadis ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan untuk memnfaatkan lisan dengan sebaik mungkin. Yakni dengan mengucapkan kata-kata baik. Rasul juga mengajarkan agar menyegel keburukan dan bahaya lisan tersebut dengan diam.
Baca juga:  SILATURAHMI DI ANTARA WASILAH MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH AZZA WAJALLA

Ibnu Rajab berkata, “Berbicara tidak diperintahkan secara mutlak. Demikian juga diam. Namun yang diperintahkan adalah berkata yang baik dan diam (jika ingin) berkata buruk. Para salaf banyak memuji sikap diamnya seseorang dari keburukan dan sesuatu yang tidak berfaedah. Oleh karena itu para salaf berusaha mendidik diri untuk diam dari segala yang tidak bermanfaat.”[3] Dari sini, dapat dipahami juga bahwa hendaknya seorang muslim tidak terlalu banyak berbicara. Itu karena kelebihan kadar bicara dapat menyeret seorang muslim untuk mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah atau bahkan menambah saldo keburukannya. Umar bin Al-Khattāb radhiyallahu anhu berkata,

مَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرَ سَقَطُهُ، وَمَنْ كَثُرَ سَقَطُهُ كَثُرَتْ ذُنُوْبُهُ، وَمَنْ كَثُرَتْ ذُنُوْبُهُ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Barang siapa yang banyak bicara niscaya akan banyak kekeliruannya. Barang siapa yang banyak kekeliruan maka pasti akan banyak dosanya. Barang siapa yang banyak dosa maka neraka lebih tepat untuknya.”[4]

  1. Memuliakan Tetangga. Ada tiga pendapat terkait pengertian tetangga dalam terminologi syariat. Ada yang mengatakan bahwa tetangga adalah 40 rumah dari semua sisi. Ada pula yang berpendapat bahwa tetangga adalah orang yang bertempat tinggal yang bersebelahan dan saling menempel dengan tempat tinggal seseorang. Ada lagi yang mengatakan bahwa pengertian tetangga itu kembali pada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku pada tiap-tiap masyarakat. Semakin dekat tetangga dengan rumah seseorang maka hak-haknya semakin besar. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu anha bertanya, “Wahai Rasulullah! Aku memiliki dua tetangga. Yang mana yang aku beri hadiah?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Kepada yang pintunya paling dekat denganmu.”[5] Hak seorang tetangga akan semakin besar apabila tetangga itu adalah seorang muslim. Akan lebih besar lagi haknya apabila tetangga itu adalah karib kerabat. Memuliakan tetangga adalah dengan menebarkan kebaikan untuknya dan melindunginya dari keburukan terutama dari keburukan diri sendiri. Bentuk kebaikan untuk tetangga beraneka ragam dan tak terhingga jumlahnya.
  2. Memuliakan dhaif. Biasa diterjemahkan dengan kata ‘tamu’. Yang dimaksud dengan dhaif adalah setiap orang yang bukan berasal dari masyarakat kita yang mana dia bermaksud mengunjungi kita di tempat tinggal kita. Contoh: Ahmad berasal dari suatu daerah di Sumatra ingin berkunjung ke tempat tinggal Budi di Jakarta. Di sini Ahmad adalah dhaif bagi Budi. Berlaku hukum-hukum syariat terkait Memuliakannya adalah dengan segala bentuk pemuliaan yang berlaku dalam suatu masyarakat tanpa berlebih-lebihan dan terkesan memaksakan, tanpa melangkahi batasan-batasan syariat. Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu dia berkata, “Aku berada dalam kesulitan (susah hidup dan lapar).” Maka beliau bawa orang itu ke rumah sebagian istri-istri beliau menanyakan kalau-kalau mereka memiliki makanan. Para istri beliau menjawab, “Demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran, Aku tidak punya apa-apa selain air.” Begitulah jawaban mereka masing-masing hingga seluruh istri beliau mengatakan dengan jawaban yang serupa. Lalu beliau bertanya kepada para sahabat, “Siapa bersedia menjamu tamu malam ini niscaya dia diberi rahmat oleh Allah ta’ala.” Maka berdirilah seorang laki-laki Anshar seraya berkata, “Aku, ya Rasulullah!” Kemudian dibawalah orang itu ke rumahnya. Dia bertanya kepada istrinya, “Adakah engkau menyediakan makanan?” Jawab istrinya, “Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anak kita.” Katanya lagi, “Alihkan perhatian mereka dengan apapun dan bila tamu kita telah datang, matikanlah lampu dan tunjukkan kepadanya bahwa kita seolah-olah ikut makan bersamanya! Caranya bila dia telah mulai makan, berdirilah ke dekat lampu lalu padamkan.” Maka duduklah mereka, dan sang tamu pun makan. Setelah Subuh, sahabat tersebut bertemu dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu beliau bersabda, “Sungguh Allah kagum dengan cara kamu berdua melayani tamu kalian tadi malam.”[6]
Baca juga:  HADIS KE-35 AL-ARBA’IN: HAK-HAK PERSAUDARAAN DALAM ISLAM (BAGIAN PERTAMA)

 


Footnote:

[1] HR. Ahmad (25/180), Tirmidzi (2319) dan Ibnu Majah (280). Tirmidzi mengatakan, “Hasan sahih.”

[2] HR. Ahmad (36/345), Tirmidzi (2804), Nasa’i (10/214) dan Ibnu Majah (3973).

[3] Lihat: Jāmi’ al-‘Ūlūm wa al-Hikam karya Ibnu Rajab al-Hanbali hal. 307.

[4] Lihat: Raudhah al-‘Uqalā karya Ibnu Hibbān hal. 44.

[5] HR. Bukhari (2259).

[6] HR. Muslim (2054).

Subscribe
Notify of
guest
1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Admin Markaz Sunnah

MasyaAllah