Perbuatan ihsan adalah perbuatan yang disukai oleh Allah. Oleh karena itu, Allah menetapkannya pada semua urusan. Allah berfirman,
وَأَحْسِنُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “…dan berbuat baiklah! Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah/2: 195)
Demikian juga Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (al-Nahl/16: 90)
Dalam kitab al-Arba’īn, Imam Al-Nawawi mencantumkan sebuah hadis yang berbicara tentang perbuatan ihsan. Redaksinya adalah sebagai berikut,
عَنْ أَبِيْ يَعْلَى شَدَّادِ بنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم
“Dari Abu Ya’la Syaddād bin Aus radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.” (HR Muslim)
Kedua ayat berserta hadis di atas adalah dalil lugas yang menjelaskan tentang kewajiban berbuat ihsan dalam semua urusan, pekerjaan, dan amalan. Namun, kadar ihsan yang diwajibkan tersebut berbeda-beda sesuai masing-masing urusan atau amalan. Contohnya, kadar ihsan yang diwajibkan dalam salat dianggap terpenuhi dengan memenuhi syarat sahnya dan menjalankan segala rukun-rukunnya. Adapun amalan yang bersifat sunah tidak masuk pada kadar ihsan yang wajib. Intinya adalah apabila seseorang sudah menjalankan kadar kewajiban suatu perkara secara lahir batin maka dia telah menggugurkan kadar ihsan yang wajib dalam perkara tersebut.
Kadar ihsan yang wajib ketika berhadapan dengan hal-hal yang diharamkan adalah dengan meninggalkannya lahir dan batin. Tidak mengerjakannya terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.[1] Ini sejalan dengan firman Allah,
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Artinya, “Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi…” (al-An’am/6: 120)
Kadar ihsan yang wajib dalam bergaul dengan sesama makhluk adalah dengan menunaikan apa yang Allah wajibkan berupa hak-hak setiap makhluk-Nya.
- Kadar ihsan yang wajib kepada kedua orang tua adalah dengan menunaikan bakti kepada keduanya. Allah memerintahkan setiap anak untuk berbakti.
…وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا …
Artinya, “… dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Baqarah/2: 83)
Segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi keduanya adalah bakti. Demikian pula perbuatan yang dapat mencegah atau menghilangkan kesulitan pada hidup keduanya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu dia bertanya, ‘Siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku?’ Jawab Rasulullah ﷺ, ‘Ibumu!’ dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu!’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian Ibumu!’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Dijawab, ‘Kemudian bapakmu!’”[2]
Suatu ketika al-Hasan al-Basri ditanyai tentang makna berbakti pada kedua orang tua. Beliau menjawab, “Berbakti ialah engkau memberi keduanya apa yang engkau punya dan menaati keduanya selama bukan sebuah kemaksiatan.”[3]
Termasuk bagian dari perbuatan ihsan adalah menunjukkan adab dan tata krama di hadapan keduanya. Inilah yang dipahami para salaf. Lihatlah bagaimana jawab ‘Ali Zainal ‘Ābidin ketika beliau ditanya oleh seseorang, “Mengapa engkau tidak pernah makan sepiring dengan ibumu?” Beliau berkata, “Aku takut jika tanganku menyentuh makanan yang sudah lebih dahulu dilirik oleh ibuku. Jika itu terjadi aku takut jatuh ke dalam kedurhakaan.”[4]
- Kadar ihsan yang wajib ditunaikan kepada istri dan anak adalah dengan memberikan hak-hak mereka. Allah pun memerintahkan untuk mempergauli pasangan hidup dengan baik. Allah berfirman,
… وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya, “… Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (An-Nisa’/4: 19)
Dalam sebuah hadis disebutkan,
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ … أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ingatlah! Berbuat baiklah terhadap wanita! Itu karena mereka adalah tawanan kalian… Ketahuilah, kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah, hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka.”[5]
Termasuk pula mendidik agama istri dan anak, tidak membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan saudara-saudarinya, berbuat adil dalam pembagian dan pemberian, dan sebagainya.
- Kadar ihsan yang wajib kepada karib kerabat adalah dengan menyambung tali silaturahmi dan membantu hajat mereka. Kadar ihsan yang wajib kepada tetangga adalah dengan menjaga mereka dari keburukan diri dan berusaha mendatangkan kebaikan untuk mereka.
- Kadar ihsan kepada hewan adalah dengan tidak mengganggunya. Jika hewan tersebut adalah hewan tunggangan seperti kuda dan keledai atau hewan pekerja seperti sapi dan kerbau maka hendaknya tidak membebani hewan-hewan tersebut beban atau pekerjaan secara berlebihan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: فَدَخَلَ حَائِطًا لِرَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَإِذَا جَمَلٌ فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَنَّ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَسَحَ ذِفْرَاهُ فَسَكَتَ. فَقَالَ: مَنْ رَبُّ هَذَا الْجَمَلِ؟ لِمَنْ هَذَا الْجَمَلُ؟، فَجَاءَ فَتًى مِنْ الْأَنْصَارِ. فَقَالَ: لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ: أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِي هَذِهِ الْبَهِيمَةِ الَّتِي مَلَّكَكَ اللَّهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيعُهُ وَتُدْئِبُهُ
Abdullah bin Ja’far meriwayatkan bahwa Rasulullah memasuki kebun seorang laki-laki Anshar, dan kemudian tiba-tiba terdapat unta. Tatkala unta tersebut melihat Nabi ﷺ maka ia merintih dan kedua matanya berlinang air mata. Kemudian Nabi ﷺ mendatanginya dan mengusap tulang di belakang telinganya, lalu unta tersebut terdiam. Lalu beliau berkata, “Siapakah pemilik unta ini?” Lalu ada seorang pemuda Anshar yang datang dan berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian beliau berkata, “Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah terhadap binatang ternak yang telah Allah berikan ini? Sesungguhnya unta tersebut telah mengeluhkan kepadaku bahwa engkau membiarkannya kelaparan dan membuatnya menjadi letih.”[6]
Syariat juga tidak membenarkan seseorang memisahkan induk dengan anak-anaknya, mengejutkan binatang, dan menjadikannya sebagai sasaran lontar. Bahkan saat binatang akan disembelih pun syariat Islam tetap mengajarkan untuk berbuat ihsan sebagaimana yang tetuang dalam lafaz hadis pada bagian awal. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan agar penyembelih menajamkan pisaunya terlebih dahulu dan menenangkan sembelihannya. Dalam hadis lain, hendaknya hewan yang belum disembelih tidak melihat hewan lain yang tengah dieksekusi. Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan supaya kami menajamkan mata pisau dan menutupi dari hewan kurban yang lain. Beliau bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian menyembelih, hendaknya mempercepat (dalam penyembelihan).’”[7] Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa ada seseorang yang merebahkan kambing sembelihannya untuk disembelih sedang ia menajamkan pisaunya di hadapan kambing tersebut. Lantas Nabi bersabda kepadanya, “Apa engkau ingin membuat kambing ini mati dua kali? Mengapa engkau tidak tajamkan pisau itu terlebih dahulu sebelum kau rebahkan kambing ini?”[8]
Syariat Islam juga mengajarkan untuk berlaku ihsan kepada setiap muslim yang diuji oleh Allah dengan terjatuh pada dosa yang mengundang hukuman qishās di dunia ini. Demikian pula orang-orang kafir. Bahkan kepada orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin di medan perang, Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan agar tidak memutilasi musuh, membunuh wanita dan anak-anak, tidak membakar dan tidak menyakiti hewan yang ada dalam medan perang. Demikianlah syariat Islam mengajarkan ihsan pada semua lini kehidupan seorang muslim.
Hendaknya seorang muslim senantiasa berbuat ihsan pada setiap urusan dan amalan yang dia kerjakan. Dengan demikian dia menjadi semakin dekat dengan cinta Allah subhanahu wata’ala. Ingat-ingatlah bahwa balasan kebaikan adalah kebaikan pula. Allah berfirman,
هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ
Artinya, “Tidak ada balasan untuk kebaikan (ihsan) selain kebaikan (pula).” (Ar-Rahman/55: 60)
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَلَدَارُ الْاٰخِرَةِ خَيْرٌ ۗوَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِيْنَۙ
Artinya, “… Bagi orang yang berbuat ihsan di dunia ini mendapat (balasan) yang baik. Dan sesungguhnya negeri akhirat pasti lebih baik. Dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (An-Nahl/16: 30)
وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya, “…dan berbuat baiklah! Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah/2: 195).
Footnote:
[1] Lihat: Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam karya Ibnu Rajab hal. 345.
[2] HR. Muslim (2548)
[3] Al-Birr karya Ibnu al-Jauzi hal. 56
[4] Al-Birr wa Al-Shilah hal. 82
[5] HR. Tirmidzi (1163). Beliau berkata, “Hadis ini hasan sahih.”
[6] HR. Abu Dawud (2549)
[7] HR. Ibnu Majah (3172)
[8] HR. Hakim (7563)