Salat Jumat sebagaimana salat wajib lima waktu memiliki beberapa rukun dan syarat, akan tetapi ada beberapa syarat wajib dan sah Salat Jumat yang lebih spesifik dan tidak terdapat pada salat wajib lima waktu.
Para fukaha berbeda pendapat dalam beberapa syarat wajib dan sahnya Salat Jumat. Pada edisi sebelumnya kami telah sebutkan hadis-hadis yang menerangkan delapan syarat wajib pelaksanaan Salat Jumat, utamanya yang disepakati oleh para ulama. Pada edisi kali ini kami akan sebutkan salah satu syarat wajib yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu jumlah minimal jemaah Jumat.
Daftar Isi:
Syarat Kesembilan: Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat
عن جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا، فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا الجمعة: 11
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika kami sedang salat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba-tiba datang rombongan dagang yang membawa makanan. Orang-orang pun melirik (dan berhamburan pergi) mendatangi rombongan tersebut, hingga tidak ada orang yang tersisa bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam kecuali hanya dua belas orang. Maka turunlah ayat ini (artinya), ‘Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, maka mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka meninggalkan kamu ketika kamu sedang berdiri menyampaikan berkhotbah.’” (Q.S. Al-Jumuah: 12). [H.R. Bukhari (no. 936) dan Muslim (no. 863)]
Fikih dan Faedah Hadis:
- Khotbah Jumat dilaksanakan dengan berdiri.
- Dimakruhkan meninggalkan khotbah yang sementara berlangsung.
- Fitnah dunia dapat mengganggu kesempurnaan ibadah.
- Ketika sebagian jemaah meninggalkan khotbah dan Salat Jumat maka salat para jemaah yang bertahan tetap sah.
- Penjelasan sebab turunnya firman Allah azza wajalla di Q.S. al-Jumu’ah ayat 12.
- Keutamaan kedua belas sahabat yang bertahan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tidak meninggalkan beliau, di antaranya Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan perawi hadis ini Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhum jami’an.(1)
- Sebagian ulama menjadikan hadis ini dalil tentang bolehnya pelaksanaan Salat Jumat dengan jumlah 12 orang. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Rabi’ah ar-Ra’yi dan Malik bin Anas.(2)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، وَكَانَ قَائِدَ أَبِيهِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ بَصَرُهُ، عَنْ أَبِيهِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه، أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ تَرَحَّمَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ، فَقُلْتُ لَهُ: إِذَا سَمِعْتَ النِّدَاءَ تَرَحَّمْتَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ، قَالَ: لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ، يُقَالُ لَهُ: نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ، قُلْتُ: كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟، قَالَ: أَرْبَعُونَ
Dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik -dia adalah seorang yang selalu menuntun ayahnya setelah ayahnya buta- dari ayahnya yaitu Kaab bin Malik radhiyallahu anhu bahwa apabila dia mendengar azan pada Hari Jumat, dia memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. Lantas aku bertanya kepadanya, “Mengapa anda memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah setiap kali mendengar azan Jumat?” Jawabnya, “Karena dia adalah orang yang pertama kali sebagai pelopor pelaksanaan Salat Jumat di tengah-tengah kami di Hazm al-Nabit, yang terletak di Bani Bayadhah di Naqi’, yaitu Naqi’ul Khadhamat.” Aku bertanya, “Berapakah jumlah kalian ketika itu?” Beliau menjawab, “Empat puluh orang.” [H.R. Abu Daud (no. 1069) dan Ibnu Majah (no. 1082) serta dihasankan hadisnya oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (3/ 67) dan al-Arnauth dalam Tahkik Sunan Abu Daud (2/ 297) dan Tahkik Sunan Ibn Majah (2/ 184)]
Fikih dan Faedah Hadis:
- Di antara bentuk birrul-walidain yang terpuji adalah menemani dan menuntun orang tua berjalan utamanya ketika usianya sudah senja dan daya penglihatannya telah berkurang.
- Mengenang jasa dan kebaikan orang yang telah mengajarkan dan memelopori kebaikan di antara kita.
- Mendoakan rahmat dan memohonkan ampun baginya.
- Manfaat bertanya seorang anak kepada orang tuanya atau murid kepada gurunya jika melihat atau mendengar darinya suatu amalan yang sering berulang.
- Keutamaan sahabat yang mulia As’ad bin Zurarah radhiyallahu anhu.
- Perlunya mengetahui dan mengenang sejarah.
- Jumlah jemaah Salat Jumat pada saat pertama kali dilaksanakan adalah 40 orang. Jumlah ini yang dijadikan jumlah minimal oleh Imam Syafii(3) dan Imam Ahmad bin Hambal(4) untuk syarat pelaksanaan Salat Jumat.
Berapa Jumlah Minimal Pelaksanaan Salat Jumat?
Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah minimal untuk keabsahan pelaksanaan Salat Jumat sejak awal hingga akhir pelaksanaannya setelah mereka ijmak bahwa syaratnya harus dilaksanakan secara berjemaah.(5) Ibnu Hajar al-Asqalani(6) menyebut ada lima belas pendapat dalam masalah ini, dan al-Suyuthi(7) menyebut ada empat belas pendapat. Berikut kami sebutkan beberapa pendapat yang paling dikenal dari mazhab dan ulama yang muktabar:
Pendapat pertama: Cukup satu orang bersama imam. Pendapat ini merupakan mazhab al-Zhahiriyah dan sebagian ulama Salaf seperti Ibrahim al-Nakha’i dan Mak-hul sebagaima dinukil oleh Ibn Hazm(8) dan al-Nawawi(9), juga dipilih oleh Imam Thabari(10) dan al-Syaukani.(11)
Dalil yang digunakan oleh pendapat pertama ini di antaranya adalah seruan Allah azza wajalla di surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang bersifat umum tanpa menyebutkan jumlah minimal. Demikian pula sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Malik bin Huwairits radhiyallahu anhu,
إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
“Jika waktu salat telah tiba, maka kumandangkanlah azan, kemudian dirikanlah salat, hendaknya yang menjadi imam adalah yang tertua diantara kalian berdua.” [H.R. Bukhari (no. 630) dan Muslim (no. 674)]
Hadis ini menunjukkan bahwa dua orang yang salat dihitung sebagai salat berjemaah. Mereka mengatakan jika hal ini berlaku pada salat berjemaah maka seharusnya itu juga berlaku pada Salat Jumat.(12)
Pendapat kedua: Cukup dua orang jemaah dan bertiga bersama imam. Pendapat ini diriwayatkan dari beberapa ulama di antaranya, Abu Yusuf al-Hanafi(13), Abu Tsaur(14), Sufyan al-Tsauri(15), al-Auza’i(16), Imam Ahmad(17), Ibnu Taimiyah(18) dan juga dipilih oleh Ibn Baz(19) serta Ibnu Utsaimin.(20)
Dalil yang digunakan oleh pendapat kedua ini juga keumuman firman Allah subhanahu wa taala di Q.S. Al-Jumuah ayat 9, demikian pula beberapa hadis sahih, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu anhu secara marfuk,
ما مِن ثلاثةٍ في قريةٍ لا تُقامُ فيهم الصَّلاةُ إلَّا استَحْوَذَ عليهم الشَّيطانُ…
“Tidaklah tiga orang di suatu kampung/kota yang tidak didirikan salat berjemaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka…” [H.R. Abu Daud (no. 547) dan Nasai (847), hadis ini disahihkan oleh Nawawi dalam al-Majmu’ (4/ 182) dan Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Badr al-Munir (4/386) serta dinilai hasan oleh al-Albani dalam takhrij Misykah al-Mashabih (1/ 335)]
Hadis ini mengancam tiga orang yang ada di suatu kampung lalu tidak melaksanakan salat jemaah bahwa mereka akan dikuasai oleh setan dan sebagaimana diketahui Salat Jumat termasuk di antara salat jemaah. Kemudian tidak mungkin tiga orang diperintahkan untuk berjemaah lalu dikatakan salat mereka tidak sah dengan jumlah tersebut.
Hadis lain yang mendukung pendapat ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu secara marfuk,
إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
“Jika seseorang bertiga, hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi imam, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hapalan al-Qurannya.” [H.R. Muslim (no. 672)]
Perintah dalam hadis ini kepada tiga orang untuk salat berjemaah mencakup juga Salat Jumat dan karena angka tiga adalah jumlah minimal bentuk plural dalam bahasa Arab.(21)
Pendapat ketiga: Cukup tiga orang jemaah dan berempat bersama imam. Pendapat ini yang dipegang oleh Abu Hanifah.(22)
Argumen dari pendapat ini karena tiga adalah jumlah minimal jemaah dan syarat Salat Jumat adalah adanya jemaah dan imam maka keduanya harus dipisahkan sehingga disimpulkan bahwa jumlah minimal dari jemaah Jumat adalah 3 dan tidak dihitung imam.(23)
Pendapat empat: Cukup dua belas orang jemaah selain imam. Ini juga salah satu pendapat dari Rabi’ah dan mazhab Malik sebagaimana telah disebutkan di fikih dan faedah hadis pertama.
Pendapat kelima: Minimal dihadiri oleh empat puluh jemaah. Pendapat ini yang dipegang oleh imam Syafii dan imam Ahmad bin Hambal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di fikih dan faedah hadis kedua.
Dari seluruh pendapat yang telah kami sebutkan sangat tampak bagaimana para ulama semuanya memiliki dalil dan argumen yang kuat dalam masalah ini. Namun demikian, tampaknya pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua karena paling dekat dengan makna jemaah yang ada dalam syariat dan Bahasa Arab. Adapun dalil yang digunakan pendapat keempat dan kelima adalah suatu kejadian yang kasuistik dan jumlahnya tidak disengaja serta tidak menunjukkan bahwa jika kurang dari itu berarti tidak sah, wallahu a’lam.
Komisi Fatwa Saudi Arabia yang waktu itu terdiri dari Syekh Abdul Aziz bin Baz, Abdulrazzaq al-Afifi, Abdullah Ghudayyan dan Abdullah Qu’ud rahimahumullah jami’an ketika ditanya tentang masalah ini mereka menjawab, “Melaksanakan Salat Jumat wajib bagi kaum muslimin di kampung mereka pada Hari Jumat dan dipersyaratkan secara berjemaah. Tidak ada dalil syariat yang sahih dan gamblang menyebutkan (syarat minimal) jumlah tertentu. Oleh karenanya sudah sah jika dikerjakan oleh tiga orang atau lebih dan tidak boleh bagi yang wajib melaksanakan Salat Jumat menggantinya dengan salat Zuhur dengan alasan jumlahnya tidak cukup empat puluh orang menurut pendapat yang paling benar dari sekian banyak pendapat para ulama. Wabillah al-taufiq wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam.”(24)
Footnote:
(1) Lihat: Al-Minhaj Syarhu al-Nawawi li Shahih Muslim bin al-Hajjaj (6/ 151)
(2) Lihat: Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar al-Khalil (2/ 523)
(3) Lihat: Nihayah al-Muhtaj (2/ 304)
(4) Lihat: Al-Mughni (2/ 242)
(5) Lihat: Al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’ (1/ 158)
(6) Fathu al-Bari (2/ 423)
(7) Al-Hawi li al-Fatawa (1/ 75)
(8) Lihat: Al-Muhalla (3/ 249)
(9) Lihat: Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab (4/ 504)
(10) Lihat: Bidayah al-Mujtahid (1/ 158)
(11) Lihat: Nail al-Authar (3/ 276)
(12) Lihat: Al-Syarhu al-Mumti’ (5/ 40)
(13) Lihat: Al-Mabsuth (2/ 43) dan Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama (1/ 330)
(14) Lihat: Al-Mughni (1/ 243-244)
(15) Lihat: Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama (1/ 330)
(16) Lihat: Al-Mughni (1/ 243-244) dan al-Majmu’ (4/ 504)
(17) Lihat: Al-Mughni (1/ 243-244)
(18) Lihat: Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah (hal. 439)
(19) Majmu’ Fatawa Ibn Baz (30/ 332)
(20) Al-Syarhu al-Mumti’ (5/ 41)
(21) Lihat: Al-Mughni (2/ 244), al-Syarhu al-Mumti’ (5/ 40) dan Majallah al-Buhuts al-Ilmiyah (35/ 317)
(22) Lihat: Fathu al-Qadir (1/ 415)
(23) Lihat: Al-Hidayah fi Syarhi Bidayah al-Mubtadi (1/ 83)
(24) Fatawa al-Lajnah al-Daimah (8/ 178)