Di antara atsar yang lumrah disebarkan sebagai hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkataan,
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Artinya:
Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari.
Di dalam riwayat lainnya disebutkan dengan menggunakan lafaz احْرُثْ yang bermakna bekerjalah atau berusahalah sebagaimana banyak disebutkan oleh ulama bahasa yang mengarang kitab lughah atau mu’jam Bahasa Arab, tatkala mereka ber-istisyhad untuk lafaz Al-Harts dengan perkataan di atas sebagai hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Jauhari rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Shihaah:
الحَرْثُ: كَسْبُ الماَلِ وَجَمْعُهُ. وَفِيْ الحَدِيْثِ: احْرُثْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَداً
Artinya:
Al-Harts maknanya mencari harta dan mengumpulkannya, (sebagaimana) disebutkan dalam hadis: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya.1
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Faris dalam kitabnya Mujmal Al-Lughah, Ibnul Atsir dalam kitabnya Al-Nihayah fi Garib Al-Hadits Wal-Atsar, Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan Al-‘Arab, dan ulama lainnya. Kemasyhurannya menyebabkan ia dinisbatkan kepada hadis Nabi, hingga Syaikh ‘Abdul Karim Al-‘Amiry Al-Ghazzy tidak menyebutkannya dalam kitabnya Al-Jidd Al-Hatsits Fi Bayan Maa Laisa Bihadis.2
Apabila diteliti lebih lanjut, perkataan ini sebenarnya diriwayatkan secara marfuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diriwayatkan pula secara maukuf dari perkataan ‘Abdullah bin ‘Amru radiyallahu ‘anhuma. Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Sunan Al-Kubra (3/28) meriwayatkannya dari jalur Abu Shalih, dari Al-Laits, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Maula Umar bin Abdul Aziz, dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (dengan lafaz):
اعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ أَنْ لَنْ يَمُوتَ أَبَدًا، وَاحْذَرْ حَذَرًا يَخْشَى أَنْ يَمُوتَ غَدًا
Artinya:
Beramallah dengan amalan seorang yang menganggap bahwa ia tidak akan mati selamanya, dan berhati-hatilah dengan kehati-hatian seorang yang takut bahwa ia akan mati esok hari.3
Sanad hadis ini lemah karena dua illah atau sebab, pertama: adanya seorang rawi yang majhul atau tidak dikenal dalam sanadnya yaitu Maula Umar bin Abdul Aziz, kedua: lemahnya perawi yang bernama Abu Shalih Abdullah bin Shalih, alias tukang tulis Al-Laits yang memiliki kelemahan karena ia meriwayatkan hadis-hadis munkar yang tidak pernah ia dapatkan dari guru-gurunya, disebabkan adanya permusuhan antara ia dengan tetangganya sehingga tetangganya membuat makar atasnya dengan menulis hadis-hadis palsu pada sebuah buku yang menyerupai tulisan Abdullah bin Shalih dan melemparkannya ke tumpukan kitab-kitabnya. Akhirnya Abdullah menganggap bahwa isi buku itu adalah hadis-hadis yang telah ia dapatkan dari gurunya, kemudian ia meriwayatkannya kepada murid-muridnya.
Adapun riwayat maukuf dari perkataan sahabat Nabi, maka ia dia diriwayatkan Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Gharib Al-Hadits (1/286)4, dari Al-Sijistani, dari Al-Ashma’i, dari Hammad bin Salamah, dari ‘Ubaidullah bin Al-‘Aizar, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengatakan, “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari.” Dalam sanad riwayat maukuf ini terdapat ‘Ubaidullah bin Al-‘Aizar yang disebutkan biografinya oleh Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Al-Tarikh Al-Kabir (5/394)5, Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil (5/330)6, Ibnu Hibban dalam Al-Tsiqaat (7/148)7, dan ulama lainnya, bahwa ia adalah ‘Ubaidullah bin Al-‘Aizar Al-Mazini Al-Bashri dan di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan. Dijelaskan pula bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya dari kalangan tabiin sehingga nampak bahwa sanad riwayat ini lemah karena ia munqathi’ atau terputus.
Hal yang menguatkan terputusnya riwayat maukuf ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam kitab Zawaid Musnad Al-Harits (2/983) dari ‘Ubaidullah bin Al’Aizar bahwa ia bertemu dengan seorang syekh yang berusia lanjut di daerah Al-Raml, kemudian ia bertanya, “Apakah engkau pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Syekh itu menjawab, “Ya.” Ia kembali bertanya, “Siapa sahabat tersebut?” Dijawabnya, “Abdullah bin ‘Amru.” Kemudian syekh itu menyampaikan perkataan Abdullah, “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari.”8
Dalam riwayat di atas nampak bahwa ‘Ubaidullah bin Al-‘Aizar meriwayatkan perkataan Abdullah bin ‘Amru tersebut dari seorang syekh yang mubham atau tidak diketahui siapa orangnya, sehingga riwayat ini menjadi lemah karenanya.
Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkataan ini diriwayatkan secara marfuk dan maukuf, namun kedua-duanya datang melalui jalur yang lemah dan tidak sahih. Karena itu Syekh Albani menghukumi hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini tidak memiliki dasar hadis secara marfuk kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.9” Demikian halnya Syekh Al-‘Utsaimin yang menghukuminya sebagai hadis palsu.10
Adapun makna hadis ini maka bagian keduanya yaitu: (وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا) “Dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari” memiliki makna yang sahih agar senantiasa termotivasi untuk beramal dan menyiapkan diri guna menyongsong kehidupan akhirat kelak. Makna ini juga dijelaskan oleh banyak dalil syar’i dari Alquran dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Qashash 77:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ ٧٧
Terjemahnya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.
Sedangkan bagian pertama hadis ini yaitu: (اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا) “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya” maka terdapat makna yang sahih dan makna yang keliru.
Makna yang sahih apabila dipahami bahwa perkataan ini merupakan ajakan untuk senantiasa melakukan sebab-sebab dimudahkannya rezeki dari Allah dan berusaha memakmurkan kehidupan dunia pada perkara yang diridai oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau dipahami bahwa perkataan ini merupakan ajakan untuk zuhud terhadap kehidupan dunia dan tidak bersegera pada perkara dunia, karena apabila seseorang hidup selamanya niscaya apa yang tidak ia dapatkan hari ini maka akan ia dapatkan esok. Sedangkan makna yang keliru adalah apabila dipahami bahwa ia merupakan ajakan untuk menikmati kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, serta memperturutkan hawa nafsu dan cinta pada dunia.
Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan bahwa makna zahir dari perkataan ini bahwa untuk kehidupan dunia maka ia merupakan ajakan untuk memakmurkannya dan orang-orang yang hidup di dalamnya, agar umat yang datang pada masa mendatang mendapatkan manfaat dari apa yang dilakukan saat ini, sebagaimana mereka yang hidup saat ini mendapatkan manfaat dari orang-orang sebelumnya. Karena jika seseorang tahu bahwa ia akan berumur panjang, niscaya ia akan memperbaiki dan memaksimalkan setiap perbuatan dan pekerjaannya. Sedangkan untuk kehidupan akhirat, ia merupakan ajakan untuk senantiasa memiliki keikhlasan dalam setiap amalan kebajikan yang dilakukan dan mendorongnya untuk memperbanyak amal ibadah serta ketaatan kepada Allah. Karena seorang yang tahu bahwa ia akan mati besok niscaya akan meningkatkan ibadahnya, dan ikhlas dalam ketaatan, seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadis lainnya, “Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dari kehidupan dunia)”.11
Beliau kemudian menjelaskan lagi bahwa menurut sebagian ulama, makna perkataan ini tidaklah sebagaimana zahirnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan tidak menikmati kelezatan serta perhiasannya. Inilah yang dominan dalam setiap perintah dan larangan beliau terkait kehidupan dunia, sehingga bagaimana mungkin Rasulullah memerintahkan untuk memakmurkan dan menikmati dunia? Karena itu makna yang sahih apabila seorang manusia tahu bahwa ia akan hidup selamanya niscaya ia akan zuhud terhadap dunia sebab apa yang telah ditakdirkan untuknya, jika tidak ia dapatkan hari ini maka ia akan mendapatkannya esok. Adapun untuk akhirat, maka maknanya sebagaimana zahirnya. Al-Azhari rahimahullah menjelaskan bahwa makna perkataan ini berisi ajakan untuk mendahulukan urusan akhirat dari kepentingan dunia karena takut akan dekatnya kematian, dan mengakhirkan urusan dunia karena khawatir apabila tersibukkan dari urusan akhirat.12
Footnote:
- Ismail bin Hammad Al-Jauhari, Al-Shihah Taj Al-Lughah Wa Shihah Al-Arabiyyah, jilid 1 (Cet. IV; Beirut: Dar Al-‘Ilm Lil-Malayin, 1987 M), h. 279.
- Kitab ini mengumpulkan perkataan-perkataan yang masyhur dan terkenal namun bukanlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ahmad bin Husain Al-Baihaqy, Al-Sunan Al-Kubra, jilid 3 (Cet. III; Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003 M), h.28.
- Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Gharib Al-Hadis, jilid 1 (Cet. I; Baghdad: Matba’ah Al-‘Ani, 1397 H), h. 286.
- Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Tarikh Al-Kabir, jilid 5 (India: Dairah Al-Ma’arif Al-‘Utsmaniyah), h. 394.
- Abdul Rahman bin Muhammad bin Idris, Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, jilid 5 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya Turats, 1952 M), h. 330.
- Muhammad bin Hibban bin Ahmad, Al-Tsiqat, jilid 7 (Cet. I; India: Dairh Al-Ma’arif Al-‘Utsmaniyah, 1973 M), h. 148.
- Ali bin Abu Bakar Al-Haitsami, Bugyah Al-Bahits, jilid 2 (Cet. I; Al-Madinah Al-Munawwarah: Markaz Khidmat Al-Sunnah, 1992 M), h. 983.
- Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Al-Dhaifah Wa Al-Maudhu’ah Wa Atsaruha Al-Sayyi Fi Al-Ummah, jilid 1 (Cet. I; Riyadh: Dar Al-Ma’arif, 1992 M), h. 63.
- Muhammad bin Salih Al-‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala Al-Darb.
- Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jilid 38 (Cet. I; Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2001 M), h. 484. Hadis ini disahihkan oleh Syekh Albani dalam Silsilah Ahadis Sahihah, jilid 1 (Cet. I; Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1995 M), h. 758.
- Mubarak bin Muhammad bin Al-Atsir, Al-Nihayah Fi Gharib Al-Hadis Wa Al-Atsar, jilid 1 (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 1979 M), h. 359.