وَعَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ يَبْدَأُ بِالسِّوَاكِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari al-Miqdam bin Syuraih, meriwayatkan dari bapaknya, dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi r jika masuk ke rumahnya mengawali dengan bersiwak.[1]
Daftar Isi:
Kosa Kata Hadis:
- Al-Miqdam bin Syuraih, termasuk rawi yang tercantum namanya di Sahih al-Bukhari dan Muslim (min rijalil Bukhari wa Muslim), beliau dari golongan tabiut tabi’in karena masih semasa dan banyak mengambil ilmu dari shigharul tabi’in. Imam al-Nasai menyatakan bahwa beliau adalah rawi yang tsiqah (terpercaya).[2]
Makna Hadis:
Hadis sebelumnya menjelaskan tentang anjuran (mustahab) bagi setiap muslim untuk bersiwak secara mutlak pada setiap keadaan. Hadis ini kembali menegaskan anjuran untuk bersiwak ketika akan memasuki rumah dan berinteraksi dengan keluarga seperti istri atau yang lainnya.[3]
Faedah dan Istinbat dari Hadis:
- Hadis ini menjelaskan keutamaan bersiwak di setiap waktu dan penegasan tentang pentingnya untuk bersiwak berulang kali.[4]
- Sangat dianjurkan bagi seseorang yang akan masuk ke dalam rumahnya agar bersiwak terlebih dahulu karena hal tersebut akan menghilangkan aroma tak sedap di mulut dan memberikan rasa nyaman ketika berinteraksi dengan keluarganya.
Jika seseorang telah lama diam, maka siwak membantu menghilangkan aroma tak sedap di mulut.
- Dianjurkan juga bersiwak ketika memasuki masjid karena masjid sama kedudukannya seperti rumah bahkan masjid tentu lebih utama.[5]
- Hadis tersebut dijadikan dalil oleh al-Qadhi Iyadh dan al-Qurthubiy bahwa aktivitas bersiwak tersebut tidak dilakukan di hadapan khalayak ramai atau di dalam masjid bagi orang yang ingin menjaga muruah. Menurut al-Qurthubiy, tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi r melakukannya di masjid dan di hadapan orang banyak. Meskipun ada ulama yang melihat hal tersebut mesti diteliti lebih lanjut.[6]
Footnote:
[1] H.R. Muslim (253).
[2] Abu al-Hajjaj al-Mizzi; Yusuf bin Aburrahman bin Yusuf (w.742 H). 1980 M. Tahzibul Kamaal Fii Asmaa al-Rijaal. Muassasah al-Risalah, Beirut. Jilid 28, hlm. 458.
[3] Abul Fadhl Zainuddin al-Iraaqi. Op. Cit. Jilid 2, hlm. 66.
[4] Al-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm. 144.
[5] Manshur bin Shalahuddin al-Bahutiy al-Hambali (w. 1051 H). Kassyaaful Qinaa’ ‘an Matnil Iqnaa’. Darul Kutub ilmiyah, jilid 1 hlm. 73.
[6] Lihat: al-Munawiy; Abdur Rauf bin Tajul Arifin (w.1031 H). Faidhul Qadir. Maktabah Tijariyah, Mesir. Jilid 4, hlm. 148.
Alhamdulillah… Masya Allah, sekarang sy mengerti