BERGAUL DENGAN ISTRI YANG SEDANG DALAM MASA HAID

187
Bergaul Dengan Istri Yang Sedang Dalam Masa Haid
Perkiraan waktu baca: 2 menit

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﭐﱡﭐ ﲐ ﲑ ﲒﲓ ﲔ ﲕ ﲖ ﲗ ﲘ ﲙ ﲚ ﱠ  إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((اصْنَعُوا كَلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحُ)). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Anas bin Malik menyebutkan bahwa kaum Yahudi jika seorang perempuan dari kaum mereka haid maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak pula tinggal dengannya di dalam satu rumah. sahabat Nabi pun bertanya kepada Nabi ﷺ (tentang hal tersebut), kemudian Allah menurunkan firmannya yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (QS. al-Baqarah: 222) hingga akhir ayat tersebut.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jimak)!” Hadis riwayat Muslim.[1]

Daftar Isi:

Kosa kata hadis:

  1. (الْيَهُودَ) Al-Yahud adalah bentuk jamak dari kata (tunggal) (يَهُودِيٍّ) yahudi, Al-Yahud adalah nama kabilah yang dinisbatkan kepada kakek moyang mereka yaitu Yahudayang merupakan saudara laki-laki Nabi Yusuf.[2]
  2. (وَلَمْ يُجَامِعُوهَا) artinya tidak tinggal bersama dan berinteraksi dengan mereka (kaum perempuan yang haid).[3]

Makna hadis:

Anas bin Malik raḍiyallahu’anhu menceritakan kebiasaan kaum Yahudi terhadap kaum perempuan mereka yang sedang haid. Perempuan yang haid tidak boleh ikut makan bersama, tidak boleh tinggal serumah. Para sahabat kemudian bertanya kepada Nabi ﷺ bagaimana muamalah seorang Muslim kepada istrinya ketika masa haid. Maka Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam membacakan firman Allah azza wajalla dalam surah al-Baqarah tentang muamalah dengan perempuan yang sedang haid dan kemudian menjelaskan bahwa seorang suami boleh melakukan apa saja kecuali hubungan suami-istri (jimak).

Baca juga:  ANCAMAN BAGI PEMUTUS SILATURAHMI

Kaum Yahudi di kota Madinah yang mendengarkan fatwa Nabi ﷺ tersebut kemudian menunjukkan kegusarannya karena Nabi ṣallallāhu‘alaihiwasallam mengajarkan umatnya untuk menyelisihi perbuatan kaum Yahudi tersebut. Demikian lanjutan hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim raḥimahullāh.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Hadis tersebut menjelaskan dua hal penting, pertama haramnya hubungan suami istri (jimak) ketika masa haid dan kedua bolehnya selain hal tersebut seperti makan bersama, tidur bersama, dan aktivitas lain yang semisalnya.
  2. Hukum keharaman suami istri melakukan jimak adalah berlandaskan nas al-Quran dan hadis serta ijmakkaum Muslim.

Jika seseorang melanggar keharaman tersebut dengan iktikad hal tersebut haram padahal sudah jelas keharamannya maka orang tersebut dihukumi kafir.

Jika seseorang berjimak dengan istrinya karena tidak tahu sedang masa haid atau belum mengetahui hukum keharamannya atau dipaksa maka dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar kafarat.

Jika seseorang melakukan dosa tersebut dengan sengaja, padahal tahu bahwa istrinya sedang haid dan hukumnya haram serta tidak dalam keadaan dipaksa, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana telah dipertegas oleh al-Syāfi’i. Namun ulama berbeda pandangan apakah wajib membayar kafarat atau tidak.[4]

  1. Makna firman Allah azza wajalla yang artinya, “Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid” adalah menjauh tidak melakukan jimak dan menjauhi dari kemaluan seorang istri yang sedang haid.[5]
  2. Sabda Nabi ﷺ, “Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jimak).” Memberi faedah istinbat yang banyak antara lain:
  3. Boleh seorang suami tidur bersama istri yang haid.
  4. Boleh dan tidak makruh makanan dan minuman yang dibuat dan disajikannya.
  5. Bahwa air liur atau air minum bekas istri yang sedang haid atau keringatnya hukumnya suci.
Baca juga:  HADIS BERSUNGGUH-SUNGGUH PADA SAAT BERSIWAK

Semua hal tersebut disepakati ulama tentang kebolehannya.[6]


Footnote:

[1] HR. Muslim (301).

[2] Al-Mubārakfuri. Tuhfah al-Aḥwāżi Bi Syarḥ Jāmi’ al-Tirmiżi. Jilid 8, hlm. 255.

[3] Al-Mubārakfuri. Tuhfah al-Aḥwāżi Bi Syarḥ Jāmi’ al-Tirmiżi. Jilid 8, hlm. 255.

[4] Al-Syaukāni. Nail al-Auṭār. Jilid 1, hlm. 343.

[5] Al-Nawawi. Al-Minhāj. Jilid 3, hlm. 207.

[6] Ibid.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments