وَرَوَى مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ بُكَيْر بنِ الْأَشَجِّ أَنَّ أَبَا السَّائِب مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي المَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ، فَقَالَ : كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلاً . وَأَبُوْ السَّائِب لَا يُعْرَفُ اسْمُهُ.
Imam Muslim meriwayatkan dari hadis Bukair bin al-Asyajj bahwa Abu al-Saaib Maula Hisyam bin Zuhrah meriwayatkan kepadanya bahwa Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kamu mandi janabah di air yang diam (tidak mengalir)’. Abu al-Saaib berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, bagaimana yang seharusnya dia lakukan?’ Beliau berkata, ‘Mengambil dengan ciduk’.”[1] Abu al-Saaib ini nama aslinya tidak diketahui.[2]
Daftar Isi:
Kosa kata hadis:
1. Maula dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, antara lain: tuan, penolong, kerabat, orang yang membebaskan budak, budak yang dibebaskan.[3]
Makna maula pada hadis ini adalah budak yang dibebaskan, dan penisbatannya kepada pihak yang membebaskan.
Selaras dengan sabda Rasulullah radhiyallahu anha kepada Aisyah radhiyallahu anha terkait Barirah; budak wanita yang akan dibebaskan,
اشْتَرِيهَا فَإِنَّمَا الوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Belilah dia (wahai Aisyah), karena al-wala` bagi orang yang membebaskan.”[4]
2. Abu al-Saaib Maula Hisyam bin Zuhrah. Beliau seorang rawi yang tsiqah, bermulazamah dan meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah[5] dan Abu Said al-Khudri, disebutkan bahwa beliau berasal dari Persia.
3. (يتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلاً) makna pernyataan Abu Hurairah radhiyallahu anhu tersebut adalah jangan menceburkan diri ke dalamnya, namun mengambilnya dengan ciduk dan mandi di luar atau berjarak dari sumber air tersebut.
Makna hadis:
Hadis ini menjelaskan larangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya untuk mandi janabah dari air yang tidak mengalir, jika air tersebut kurang dari dua qullah[6]. Demikian penjelasannya menurut sebagian ulama. Hal ini karena jika kurang dari dua qullah maka air dianggap menjadi musta’mal (suci tapi tidak menyucikan). Ketika seseorang yang mandi, tentu tubuhnya tidak terlepas dari kotoran yang melekat yang dapat mengubah kondisi air. Penggunaan air untuk membersihkan tubuh masuk pada pembahasan air musta’mal yang terdapat perbedaan pendapat ulama tentangnya.[7]
Faedah dan istinbat dari hadis:
1. Hadis ini dijadikan landasan atau dalil utama bagi ulama yang memandang bahwa air terkadang suci namun tidak menyucikan atau dikenal dengan istilah musta’mal karena aktivitas mandi merusak kesucian air tersebut. Demikian pendapat Imam al-Syafi’i dalam qaulul jadid-nya dan Abu Hanifah, dengan sedikit perbedaan terkait banyak atau sedikitnya volume air tersebut.
Imam Malik memandang air musta’mal adalah air suci dan menyucikan namun makruh digunakan untuk aktivitas beribadah, sehingga larangan dalam hadis tersebut dipahami maknanya sebagai kemakruhan saja dan tidak sampai kepada derajat pengharaman.[8]
2. Meskipun hadis tersebut dipahami menjadi landasan arau dalil bahwa air dapat menjadi musta’mal (suci tapi tidak menyucikan), namun air musta’mal tetap dapat digunakan untuk selain bersuci (beribadah). [9]
3. Larangan untuk menceburkan atau mencemplungkan badan ketika janabah ke dalam air yang tidak mengalir, agar tidak menjadikan air tersebut musta’mal dan orang lain tidak dapat menggunakannya. Solusi yang diberikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu adalah dengan menciduk menggunakan gayung atau yang semisalnya.
4. Air yang tidak mengalir jika volumenya tidak sampai dua qullah, maka ia dapat menjadi air yang musta‘mal sehingga tidak mandi langsung ke dalamnya itulah yag terbaik sesuai perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika volumenya lebih dari dua qullah, menghindari untuk tidak menceburkan diri dan mandi di dalamnya itu lebih baik, kerena ketika seseorang mandi tentu kotoran yang menempel di tubuhnya akan mengotori air tersebut dan membuat orang yang menggunakan setelahnya menjadi jijik.[10]
5. Hadis tersebut adalah hadis yang paling kuat yang digunakan oleh ulama yang berpendapat bahwa hadis musta’mal adalah suci namun tidak dapat menyucikan (digunakan untuk ibadah), demikian disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun beliau dengan tegas menyatakan bahwa air musta’mal adalah air yang suci dan menyucikan dengan didukung hadis-hadis yang lain.[11] Dalil yang menjelaskan tentang bolehnya air musta’mal digunakan untuk bersuci akan disebutkan pada pembahasan berikutnya in syaa Allah.
Footnote:
[1] Gayung dan sejenisnya.
[2] HR. Muslim (323).
[3] Badruddin Al-Aini. Umdatul Qaari Syarah Shahih Al-Bukhari. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut. Jilid 9, hlm 90.
[4] HR. Al-Bukhari (1493).
[5] Ibnu Sa’ad; Muhammad bin Sa’ad Al-Baghdaadi (w. 230 H). 1968 M. At-Thabaqatul Kubraa. Dar As-Shadir, Beirut. Jilid 5, hlm 307.
[6] Telah dibahas sebelumnya. Lihat hadis nomor 3.
[7] Ibnu Abdil Barr. Al-Istidzkaar. Jilid 1, hlm 163.
[8] Ibnu Daqiiq Al-‘Ied. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm 74.
[9] Ibid.
[10] Ibnul Jauzi; Abdurrahman bin Ali bin Muhammad (w.597 H). Kasyful Musykil Min Hadits as-Shahihaini. Darul Wathan, Riyadh. Jilid 3, hlm 584.
[11] Ibnu Hajar Al-Asqalany. Op. Cit. Jilid 1, hlm 348.