Pertanyaan:
Bagaimana adab yang baik bagi seorang khatib dalam menyampaikan sebuah hadīṡ?
(Adi Gunawan, Sulawesi Selatan)
Jawaban:
Yang kami pahami dari pertanyaan saudara Adi Gunawan, khotbah yang dimaksud adalah khotbah Jumat, bukan khotbah umum. Khotbah Jumat sifatnya singkat dan bertujuan untuk memberi bimbingan pada umat dalam menyikapi masalah yang berkembang di tengah mereka. Oleh karenanya, ketika menyampaikan hadīṡ dalam khotbah Jumatnya, seorang khatib hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Seorang khatib hendaknya selektif dalam memilih hadīṡ-hadīṡ Nabi ﷺ yang akan disampaikannya saat khotbah. Hadīṡ yang dipilih adalah hadīṡ yang kualitasnya kuat dan bisa menjadi hujjah dalam Islam, seperti hadīṡ ṣahīh atau hadīṡ hasan. Jika konsentrasi ilmu khatib bukan pada ilmu hadis sehingga kompetensinya belum bisa menentukan kualitas hadīṡ, maka ada beberapa opsi yang bisa di tempuh, di antaranya adalah melihat kualitas hadīṡ dalam kutub sittah dari kitab-kitab yang sudah di-tahqiq (diteliti) oleh pakar hadīṡ.
b. Hendaknya khatib tidak menyampaikan hadīṡ dha’īf di atas mimbar karena adanya larangan Nabi ﷺ yang tegas mengenai hal ini dan juga mengingat bahwa waktu khutbah yang sangat singkat sehingga sulit untuk menjelaskan letak kelemahnnya. Mughirah radhiyallahuu ‘anhu, berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
‘Sesungguhnya berdusta atas namaku, tidak sama dengan berdusta atas nama seseorang, barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka’.” (Muttafaqun alaih)
c. Hendaknya khatib menyebutkan redaksi hadis (lafal Arab) secara lengkap lalu terjemahannya karena ada sebuah hadīṡ yang menjelaskan keutamaan menghafal hadīṡ dengan redaksi aslinya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ» رواه الترمذي
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Allah akan menambah (nikmat-Nya) kepada seseorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikan sebagaimana dia mendengarnya, sehingga bisa jadi orang yang menyampaikan lebih fāqih dari yang mendengar’.” (H.R. al-Tirmizī)
d. Jika situasi dan kondisi menuntut penjelasan sumber, rujukan atau kualitas sebuah hadīṡ, tidak mengapa khatib menjelaskannya, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Adanya sumber yang menunjukan bahwa para ulama menjelaskan kualitas hadīṡ ketika sedang berberkhotbah di atas mimbar, seperti disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalanī (w. 852 H) dalam Fathu al-Bārī (Bab Matā Yasjudu Man Khalfa al-Imam jilid 2 hal. 181) dalam sanad imam al-Bukhārī (w. 256 H), dari Musaddad bin Musarhad, dari Yahyā bin Saīd, dari Sufyan al-Tsaurī, dari Abu Ishaq al-Sabī’i, ia berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Yazīd ketika khotbah, ia menyampaikan, ‘Telah menceritakan kepadaku al-Bara’ bin ‘Azib –dan dia bukanlah pendusta-, bahwa kami pernah salat di belakang Nabi ﷺ, ketika beliau mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’, tidak seorang pun dari kami yang membungkukkan punggungnya hingga Nabi ﷺ meletakkan keningnya di atas tanah’.” Dalam sanad hadis ini, kalimat “dan dia bukanlah pendusta” adalah penjelasan kualitas perawi, yang diucapkan Abdullah bin Yazīd di tengah khutbahnya.
- Sumber lain yang menunjukan kebolehan hal itu adalah dari Imam al-Sakhāwī (w. 902 H) dalam karyanya, al-Maqāshid al-Hasanah 715, ia menuliskan bahwa gurunya yaitu Ibnu Hajar al-Asqalanī (w. 852 H) pernah mengingkari sebuah zikir yang dinamakan dengan hafīẓatu ramaḍān (حَفِيْظَةُ رَمَضَانَ) sedang beliau di atas mimbar di tengah khotbahnya.
- Agar hadīṡ-hadīṡ Nabi ﷺ yang ṣahīh terjaga kehormatannya dan hadīṡ-hadīṡ dha’if tidak disalahpahami oleh orang jahil, lalu mereka bisa menjadikannya sebagai bahan olok-olokan atau gurauan.
Wallahu a’lam.