Daftar Isi:
Redaksi Hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْصِنِي، قَالَ: لَا تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat!” Beliau bersabda, “Jangan engkau marah!” Orang itu lalu mengulang permintaannya berkali-kali, dan Rasulullah pun tetap bersabda, “jangan engkau marah!”
Takhrij Hadis:
Hadis di atas dikeluarkan oleh Imam Ahmad (8744), Imam Al-Bukhari (6116), Imam Tirmidzi (2020).
Ada sebuah sorotan bagi hadis di atas, yaitu tidak disebut nama shahibul qissah (pelaku kisah) alias mubham (anonim), namun hal tersebut sejatinya tidak mempengaruhi kevalidan hadis karena beberapa faktor:
Pertama: sanad hadis di atas muttashil (tersambung) lewat jalur Abu Hurairah, jadi shahibul qissah tidak ada kaitannya dengan sanad riwayat di atas secara langsung.
Kedua: sosok yang anonim dalam riwayat di atas hampir bisa dipastikan seorang sahabat Nabi, dengan indikasi bahwa Abu Hurairah melihat langsung kisah ini. Hal yang perlu diperhitungkan adalah posisi anonim adalah seorang sahabat Nabi tidak mempengaruhi kevalidan sebuah riwayat, sebab mereka ‘uduul (bertakwa dan baik agamanya) secara ijmak.
Ketiga: jika ditelisik jalur periwayatan hadis di atas, maka akan dapat disingkap nama sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah riwayat di atas, namun nampaknya kualitas sanadnya tidak memenuhi syarat shahih menurut Imam Al-Bukhari, dan dari proses pelacakan jalur riwayat, maka dapat terungkap nama sahabat yang meminta wasiat kepada Nabi dalam hadis di atas, nama-nama tersebut adalah sebagai berikut:
- Abu Darda’ radiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath-nya (2353). - Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’la di kitab Musnad-nya (5685). - Jariyah bin Qudamah As-Sa’di radiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf-nya (25889), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (20357), dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir-nya (2094) dan Mu’jam Al-Ausath-nya (7491), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya (6578).
Yang muskil dari sosok Jariyah bin Qudamah ini adalah polemik terkait predikat beliau sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagian dari ulama mengklasifikan beliau sebagai tabiin, di antaranya adalah Al-‘Ijli1.
Namun mayoritas para ulama mengklasifikasikan beliau sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Ibnu Abi Hatim2, Ibnu Qani’3, Ibnu Abdil Barr4, Ibnu Hibban5, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani6 dan yang lainnya. - Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi radiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir-nya (6399). - Utsman bin Abil ‘Ash radiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani7. - Abdullah bin Amr bin Ash radiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6635).
Dan ada potensi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat emas ini kepada para sahabat ini, sehingga beliau memberikan petuah yang mulia ini dalam banyak momentum.
Profil Sahabat:
Sosok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih populer dengan kuniyah-nya, nama aslinya diperselisihkan oleh para ulama, namun yang terkuat adalah Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausi8, kuniyah tersebut disematkan karena beliau sangat menyayangi kucing dan banyak berinteraksi dengan hewan tersebut, sehingga beliau dikenal dengan panggilan Abu Hurairah atau Abu Hirr9.
Beliau adalah pakar dalam bidang hadis, sehingga sematan sang “Rawiyatul Islam10“ melekat pada diri beliau, masyhur dengan hafalannya yang kuat, sehingga didaulat sebagai “sayyidul huffazh al–atsbat” (penghulu para penghafal) oleh Adz-Dzahabi11. Wafat pada tahun 57 H.
Penjelasan Hadis:
Hadis ini memaparkan tentang salah satu peran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah para sahabatnya, beliau bukan hanya berperan sebagai dai yang bertugas mengajak dan menyeru manusia kepada agama Allah subhanahu wa ta’ala, namun nampaknya beliau juga melayani problem solving bagi mereka, yang membuktikan sisi keakraban dan kedekatan beliau dengan para sahabatnya, hal ini dapat disingkap lewat redaksi dialog para sahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meminta wasiat, di antaranya dialog yang terekam terkait dengan hadis di atas adalah,
أَوْصِنِي -1
“Beri aku nasehat”.
Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan yang lainnya.
مُرْنِي بِأَمْرٍ، وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ -2
“Berilah aku sebuah perintah, namun jangan terlalu banyak agar aku dapat memahaminya”
Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (8744).
قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ -3
“Ucapkan kepadaku ucapan, namun sedikit saja agar aku memahaminya.”
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad (15964).
قُلْ لِي قَوْلًا أَنْتَفِعُ بِهِ وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ -4
“Ucapkan kepada sebuah ucapan yang dapat memberikan manfaat bagiku, namun sedikit saja agar aku memahaminya”.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (6399).
دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ -5
“Tunjukkan kepadaku amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga”.
Redaksi ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2353).
Semua “curhatan” ini dijawab oleh Rasulullah dengan sabda beliau,
لَا تَغْضَبْ
“Jangan marah”.
Ada kemungkinan, jawaban ini menunjukkan dua hal berikut ini:
- Menunjukkan keakraban beliau dengan para sahabatnya, sampai beliau mengenal dan mengetahui tabiat mereka, sehingga beliau mengetahui wasiat yang dibutuhkan oleh mereka, sebab banyak dari kalangan sahabat yang menghadap beliau untuk meminta nasehat, dan sebagian dari mereka diberikan nasehat yang lain oleh beliau.
- Bahaya yang besar dari sifat marah ini, sehingga dipandang perlu untuk memberikan nasehat ini kepada beberapa sahabatnya, sebab sifat marah merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana diucapkan oleh Ja’far bin Muhammad12, dan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan13:
فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَا قَالَ، فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ
“Maka saya mulai memikirkan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “jangan marah,” ternyata sifat marah mengumpulkan semua sifat buruk.”
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَغْضَبْ
“Jangan marah”.
Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini secara lahir berisi larangan untuk marah, namun secara substantif, terdapat beberapa interpretasi dari para ulama, di antaranya:
Pertama, maksud dari sabda ini ialah perintah untuk berhias dengan akhlak yang mulia seperti dermawan, santun, malu, tawaduk (rendah hati), sabar atas gangguan yang diterima dari orang lain, pemaaf, menahan amarah, dan yang lainnya dari akhlak yang mulia, sebab jika seseorang terbiasa dengan akhlak-akhlak ini, maka ia akan dapat menahan diri dari sifat marah meskipun ada faktor pemicunya14.
Kedua, maksudnya adalah larangan untuk melakukan perkara-perkara yang menjadi sarana penyulut kemarahan, seperti berlebihan dalam bergurau, saling mengolok-olok dan lain sebagainya, sebab, di antara kaidah yang beredar dalam syariat adalah “hukum sarana identik dengan hukum tujuan,” jadi semua faktor dan sarana yang dapat menyulut kemarahan, maka haram hukumnya dan wajib dihindari15.
Dua interpretasi ini merupakan bagian dari proses saddudz dzari’ah (menutup jalan menuju keburukan), sebab maksud dari dua interpretasi ini adalah berhias dengan akhlak mulia dan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu sifat marah, maka nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini akan sangat efisien jika dipraktekkan sebelum kemarahan menguasai seseorang.
Ketiga: larangan untuk melampiaskan kemarahan dengan kata-kata dan perbuatan jika seseorang dikuasai oleh marah, sebab ada potensi untuk terjatuh dalam maksiat jika seseorang berbicara dan berbuat atas dasar marah. Jadi yang dilarang bukan sifat marahnya, sebab ia adalah tabiat manusia, namun yang dilarang adalah melampiaskan konsekuensi kemarahan tersebut dengan ucapan ataupun perbuatan16.
Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan:
قوله صلى الله عليه وسلم:((لَا تَغْضَبْ)) أراد به : أن لا تعمل عملا بعد الغضب مما نهيتك عنه لا أنه نهاه عن الغضب إذ الغضب شيء جبلة في الإنسان ومحال أن ينهى المرء عن جبلته التي خلق عليها بل وقع النهي في هذا الخبر عما يتولد من الغضب مما ذكرناه
“Sabda Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam ‘jangan marah,’ maksud beliau adalah jangan engkau melakukan suatu perbuatan apapun jika engkau sudah dikuasai oleh kemarahan, (jadi larangan tersebut) bukan bermaksud untuk melarang sifat marah, sebab sifat ini adalah watak bagi manusia, dan mustahil seseorang dilarang dari sifat yang menjadi wataknya, namun yang dilarang di dalam hadis ini adalah sesuatu yang menjadi konsekuensi dari sifat marah tersebut17.”
Berkaca pada interpretasi ini, bisa disimpulkan bahwa wasiat ini ditujukan bagi orang yang sudah tersulut kemarahannya, hendaknya orang tersebut tetap menggunakan akal sehatnya, dan menahan ucapan dan perbuatanya ketika dikuasai kemarahan, sebab jika kemarahan telah berkuasa atas seseorang, maka yang keluar dari ucapannya merupakan luapan dari emosinya tersebut berupa caci maki, sumpah serapah bahkan terkadang ucapan beraroma ancaman sehingga tidak jarang dapat menimbukan permusuhan dan perkelahian, bahkan sampai terjadi pembunuhan.
Disinilah urgensi dan kemuliaan dari sifat menahan amarah dan emosi, yang merupakan salah satu sifat orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ -133- الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ u-134- وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat baik”. QS Ali Imran 133-134.
Dan jangan pernah menduga bahwa sikap menahan amarah adalah perkara yang mudah dan sepele, sebab sejatinya seseorang apabila telah terjajah oleh emosi, apalagi jika sampai membuncah kemarahannya, maka seakan dunia begitu sempit baginya, tiada cita-cita tertinggi baginya kecuali meluapkan emosinya dengan mengucapkan sumpah serapah dan cacian, bahkan kalau bisa, tentu ia berhasrat untuk menelan mentah-mentah orang yang menjadi objek kemarahannya tersebut. Oleh karena itu, syariat Islam yang agung tidak mendaulat para pendekar sebagai orang yang terkuat, namun justru mendapuk orang yang mampu menahan amarahnya sebagai manusia yang kuat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ، إنَّمَا الشَدِيدُ الَّذِي يَملكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Bukanlah orang yang kuat itu yang jago berkelahi, sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengontrol dirinya ketika sedang marah18.”
Kenapa orang yang mampu menahan dirinya ketika sedang marah didaulat sebagai orang yang kuat? Sebab sejatinya ia mampu mengalahkan setan yang sedang merasuk dirinya dengan sikap marah itu, sebab kemarahan datang dari setan, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sesungguhnya marah dari setan”19.
Hadis ini lemah sanadnya20, namun memiliki syahid (penguat) dari hadis Sulaiman bin Shurad yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang akan disebutkan setelah ini.
Meskipun seseorang mampu untuk menahan dirinya ketika sedang marah untuk tidak bereaksi dengan ucapan atau perbuatan, namun ia harus berusaha secara riil untuk meredakan dan memadamkan kemarahannya tersebut, di antara upaya-upaya riil yang harus segera dilaksanakan adalah,
- Meminta perlidungan kepada Allah azza wajjala dengan mengucapkan “a’udzu billahi minasy syaithanir rajim“.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Shurad, bahwa beliau berkata,
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ
“Saya duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ada dua orang yang saling mencela dan bertengkar, maka salah seorang dari mereka berdua wajahnya memerah, dan otot-otot lehernya menonjol (yang menunjukkan bahwa ia sangat marah), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh aku mengetahui sebuah kalimat, (yang) apabila diucapkan (oleh orang yang sedang marah) maka akan mereda kemarahannya, jika ia mengatakan ‘a’udzu billahi minasy syaithanirajim’ maka akan reda kemarahannya.’”21
Hadis ini menegaskan dan memperkuat bahwa kemarahan datang dari setan, atau mengungkap peran setan dalam membisikkan gangguan untuk melampiaskan emosinya dengan ucapan atau perbuatan ketika sedang marah, maka bagi siapa yang memenuhi bisikan itu, maka ia akan melampiaskan konsekuensi kemarahannya itu lewat ucapan atau perbuatan yang tentunya berpotensi untuk terkontaminasi dengan keburukan dan maksiat, realitanya, betapa banyak KDRT yang dipicu oleh emosi suami, dan betapa banyak perceraian terjadi karena pertengkaran antara suami dan istri, dan ketika kemarahannya mereda, maka penyesalan pun datang menyelimuti. Yang lebih ironis dari hal ini, betapa banyak seorang ayah membunuh anaknya atau istrinya atau sebaliknya disebabkan karena tidak mampu mengendalikan emosi dan kemarahan. Oleh karena itu, benarlah ucapan para ulama kita bahwa “marah merupakan sumber dari keburukan.”
2. Mengubah posisi
Posisi memiliki saham yang penting bagi refleksitas tubuh untuk merespon instruksi dari otak, makanya merubah posisi tubuh ketika kemarahan sedang berkuasa dapat memperlambat dan mengurangi refleksitas tersebut, sehingga ucapan yang sudah menggantung di lisan, dan pukulan yang nyaris terayun ke tubuh objek yang dimarahi dapat digagalkan, inilah yang di isyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat sabdanya,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
“Jika seseorang marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah ia duduk, jika kemarahannya reda (maka cukup dengan itu saja), namun jika belum maka hendaknya ia berbaring”22.
Al-Khattabi rahimahullah mengatakan:
القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ
“Orang yang sedang berdiri bersiap untuk bergerak dan memukul, sedang orang yang duduk lebih rendah (daya reflek dan responnya) untuk melakukan dua hal tersebut, adapun orang yang berbaring mustahil melakukan hal tersebut, maka seakan instruksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh (orang yang sedang marah) untuk duduk agar ia tidak menampilkan sikap yang dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari.23”
3. Berwudu
Sebagaimana di isyaratkan Rasulullah shallallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah riwayat,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأ
“Sesungguhnya amarah dari setan, dan sesungguhnya setan tercipta dari api, dan api dipadamkan dengan air, maka jika seorang di antara kalian marah, berwudulah.24”
Hadis ini lemah sanadnya sebagaimana telah kami isyaratkan di atas.
Inilah langkah-langkah yang diharapkan dapat meredakan amarah seseorang, jika langkah-langkah ini dipraktikkan, maka amarah akan menguap lenyap, dan terhindar dari keburukannya -dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala-, bahkan lebih dari itu, akan mendapatkan keutamaan yang di isyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ الْحُورِ شَاء
“Siapa yang mampu menahan amarahnya, sedangkan ia mampu untuk melampiaskannya (dengan kata-kata atau perbuatan), maka Allah akan menyerunya di tengah para makhluknya, untuk memilih bidadari yang ia sukai.25“
Fikih Hadis:
- Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendapat anugerah berupa “jawamiul kalim” dalam ucapannya, yaitu ucapan yang pendek namun memiliki makna yang luas dan dalam;
- Hendaknya seseorang menggunakan kesempatan jika berjumpa dengan orang salih atau ulama untuk meminta wasiat dan nasehat, khususnya terkait dengan hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan akhirat;
- Seorang dai hendaknya mengenal objek dakwahnya sehingga dapat mengajarkan ilmu sesuai dengan prioritas kebutuhan;
- Nasehat yang pendek namun mengandung manfaat yang tinggi lebih baik di bandingkan dengan nasehat yang panjang lebar;
- Dalil bagi kaidah saddudz dzari’ah, yaitu menutup sarana yang membawa kepada keburukan;
- Marah merupakan sumber dari keburukan dan maksiat.
Footnote:
- Ma’rifatuts Tsiqat (1/264).
- Al-Jarh wat Ta’dil (2/520).
- Mu’jamus Shahabah (1/157).
- Usdul Ghabah (1/166).
- Masyahiru ‘Ulama-il Anshar hal. (71).
- Al-Ishabah fi Tamyiizis Shahabah (1/445).
- Fathul Bari (1/333).
- Taqribut Tahdzib hal. 729, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyah.
- Sunan Tirmidzi (3840), dan Tuhfatul Ahwadzi (1/28).
- Judul sebuah buku, karya DR Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, dicetak di Maktabah Wahbah.
- Siyar A’lamin Nubala’ (2/578).
- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam. tahqiq: Dr Mahir Yasin Al-Fahl, cetakan yayasan Amirah Al-‘Anud
- Musnad Ahmad (23171).
- Tuhfatul Ahwadzi (6/139), dan Jamiul ‘Ulum Wal Hikam hal. 330.
- disarikan dari Syarhul arba’in An-Nawawiyah karya Syekh Sholih bin Abdul ‘Aziz Alu Syekh, hal. 210.
- Tuhfatul Ahwdzi (6/139).
- Shahih Ibnu Hibban (12/504).
- [Shahih Al-Bukhari (6114), dan Muslim (2609).
- Musnad Ahmad (17985), Sunan Abu Dawud (4786).
- dilemahkan oleh syekh Albani dalam Silsilah Ahadis Dha’ifah (2/51), dan oleh syekh Syu’aib Al-Arnauth dalam Musnad Ahmad (29/506).
- Shahih Al-Bukhari (3282), dan Shahih Muslim (2610).
- Musnad Ahmad (21348), dan Abu Dawud (4784), dan dihukum shahih oleh syekh Albani
- Ma’alimus Sunan (4/108).
- Musnad Ahmad (17985) dan Sunan Abu Dawud (4786)
- Musnad Ahmad (15637), dan Sunan Tirmidzi (2021), dan Sunan Abu Dawud (4779). Dan dinyatakan hasan oleh syekh Albani, dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: sanadnya hasan.