TENTANG CAIRAN KEKUNINGAN ATAU DARAH DI LUAR MASA HAID

69
Tentang Cairan Kekuningan Atau Darah Di Luar Masa Haid
Perkiraan waktu baca: 1 menit

وَعَن عَائِشَة قَالَتْ: اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ وَهِي مُسْتَحَاضَةٌ، فَكَانَتْ ترَى الدَّمَ والصُّفْرَةَ، والطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهِي تُصَلِّي. رَوَاهُ البُخَارِيُّ، وَأَبُو دَاوُد

Dari Aisyah beliau berkata, “Salah seorang istri Rasulullah pernah beriktikaf bersama Rasulullah ﷺ dalam keadaan istihadah, padahal dia (istri Nabi ﷺ tersebut) masih melihat darah dan cairan kekuningan pada tempayan yang diletakkan dibawahnya (ketika mandi), dia juga melaksanakan salat.” H.R. al-Bukhāri dan Abu Dāwūd. [1]

Daftar Isi:

Kosakata hadis:

  1. Istri yang dimaksud beriktikaf bersama Nabi ﷺ tersebut dalam beberapa riwayat disebutkan adalah Saudah binti Zam’ah atau Zainab bin Jahsy dan sebagian riwayat menyebutkan dia adalah Ummu Ḥabibah binti Abi Sufyān radhiyallahu anhunna.[2]
  2. Lafal hadis, “darah dan cairan kekuningan” adalah kiasan, maksud dari kiasan tersebut adalah istihadah.[3]

Makna hadis:

Aisyah radhiyallahu anha menyebutkan bahwa salah seorang istri Nabi ﷺ pernah beriktikaf bersama beliau padahal dia dalam kondisi istihadah sehingga jika darah dan cairan kekuningan yang keluar darinya tidak mempengaruhi kesucian dan hal tersebut bukanlah haid, karena keluarnya bukan pada masa haid.

Faedah dan istinbat dari hadis:

  1. Faedah fikih dari hadis tersebut bahwa perempuan yang sedang dalam kondisi istihadah hukumnya adalah sama seperti orang yang suci. Istihadah berbeda dengan haid yang mengharuskannya untuk tidak melaksanakan salat. Oleh karenanya dia boleh beriktikaf di masjid. Padahal ulama sepakat bahwa orang yang haid tidak boleh memasuki masjid. Ulama mengiaskan dari hadis tersebut tentang bolehnya orang yang menderita penyakit kencing secara terus menerus atau sering mengeluarkan mazi atau luka yang darahnya masih mengalir untuk beriktikaf di masjid.[4] Dengan syarat hal tersebut tidak mengotori dan menodai masjid.[5]
Baca juga:  ANJURAN MEMILIKI DUA MUAZIN UNTUK SATU MASJID

 


Footnote:

[1] H.R. sl-Bukhāri (310) dan Abu Dāwūd (2476).

[2] Ibn Hajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm 256.

[3] Badruddīn al-‘Aini. ‘Umdah al-Qāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 3, hlm 280.

[4] Ibn Baṭṭāl. Op. Cit. Jilid 1, hlm 437.

[5] Ibn Hajar. Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Jilid 1, hlm 412.

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments