SERIAL BELAJAR MUDAH MUSTHALAH HADIS(1)
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa di antara syarat sahihnya suatu hadis yaitu ketika diriwayatkan oleh para perawi yang memiliki sifat ‘adalah dan kedabitan. Dan telah disebutkan bahwa makna ‘adalah ialah;
هي الملكة التي تحمل المرء على ملازمة التقوى والمروءة، واجتناب الأعمال السيئة من الشرك أو فسق أو بدعة
“Suatu sifat yang mendorong seseorang untuk senantiasa menjaga takwa, muruah (kehormatan diri), serta menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, seperti berbuat syirik, fasik serta bidah.”
Kecacatan pada periwayat disebabkan oleh empat hal, yaitu:
- Dusta
- Tertuduh berdusta.
- Jahalah (tidak dikenal).
- Bidah
Dalam pembahasan ini, insyaallah kita akan menguraikan jenis hadis-hadis yang tertolak, hadis yang memiliki cacat (ilat) karena terdapatnya kecacatan pada sifat ‘adalah para periwayatnya, atau pada sebagian dari mereka.
-
Daftar Isi:
Hadis Maudhu’ (Palsu)
Defenisinya, yaitu:
ما كان راويه كذابا أو متنه مخالفا للقواعد.
“Hadis yang periwayatnya adalah seorang pendusta, atau matannya menyelisihi kaidah-kaidah.”
Penjelasan makna:
- Hadis yang periwayatnya adalah seorang pendusta, artinya dia dikenal sebagai seorang yang sering berdusta dalam periwayatan. Atau sebagian periwayat hadis tersebut dinilai sebagai pendusta.
- Atau matannya, maksudnya bahwa kandungan atau matannya di-nisbat-kan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Menyelisihi kaidah-kaidah, yaitu kaidah-kaidah syariat yang baku di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis yang sahih.
Contoh hadisnya:
Sebuah hadis yang disebutkan oleh Al Khatib Al Baghdadi di dalam buku beliau “Tarikh Baghdad” (5/297), dari jalur:
محمد بن سليمان بن هشام قال، حدثنا وكيع ، عن ابن أبي ذئب ، عن نافع، عن عبد الله بن عمر -رضي الله عنهما– قال: قال رسول الله ﷺ : لَمَّا أُسْرِيَ بِي إِلَى السَّمَاءِ، فَصِرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ، سَقَطَ فِي حِجْرِي تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِي فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءُ تُقَهْقِهُ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِي، لِمَنْ أَنْتِ؟ قَالَتْ: لِلْمَقْتُولِ شَهِيدًا؛ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, dari Ibn Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar radiallahu ‘anhuma ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketika aku diperjalankan ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, kemudian aku mengambilnya dengan tanganku lalu buah apelnya merekah, maka keluar seorang bidadari darinya sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu aku bertanya padanya, “Jawablah! Untuk siapakah engkau diciptakan?” Ia kemudian menjawab, “Untuk seseorang yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman bin Affan.”
Hadis ini merupakan hadis maudhu’ (palsu) karena terdapat seorang periwayat bernama Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, di mana Al Khatib Al Baghdadi menilainya sebagai seorang pemalsu hadis, dan Imam Al Zahabi menilainya sebagai pendusta, seperti dalam buku beliau “Mizan Al I’tidal” (3/57), dan Ibnu Adi berkata tentang periwayat tersebut, “Ia sering menyambung sanad hadis yang terputus (secara dusta) dan sering mencuri hadis.”
Contoh lainnya:
Hadis yang disebutkan oleh Al Khallal dalam buku beliau “Fadhāil Syahr Rajab” (no. 2), dari jalur:
زياد بن ميمون ، عن أنس بن مالك رضي الله عنه، قال: قيل: يا رسول الله، لم سمى رجب؟ قال: لأَنَّهُ يُتَرَجَّبُ فِيهِ خَيْرٌ كثيرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun berkata, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dikatakan kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab?’ Beliau menjawab, “Bulan itu dinamakan Rajab karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak untuk menyambut bulan Syakban dan Ramadan.”
Di dalam hadis ini terdapat periwayat bernama Ziyad bin Maimun Al Fakihi yang merupakan seorang perawi pendusta, dan pernah mengakui bahwa ia memalsukan hadis atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Yazid bin Harun berkata, “Perawi ini adalah pendusta.” Abu Daud juga memberikan penilaian dengan berkata, ”Saya pernah mendatanginya, lalu sang perawi ini berkata, “Astagfirullah, sungguh aku telah memalsukan hadis-hadis ini.”
Hukum Meriwayatkan Hadis Maudhu’ (Palsu)
Tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis maudhu’ kecuali untuk memperingatkan manusia dari hadis palsu tersebut, dan menjelaskan sisi kecacatan dan kepalsuannya karena khawatir ada orang yang kemudian mengamalkannya dikarenakan ia tidak mengetahuinya.
Hadis maudhu’ ini banyak ditemukan dalam buku-buku yang berisi nasihat-nasihat yang melembutkan hati (al-raqāiq), al-targhīb (motivasi-motivasi untuk beramal saleh), serta al-tarhīb (nasihat yang berisi peringatan terhadap perilaku-perilaku tercela. Hadis maudhu’ juga tidak boleh diamalkan pada hal-hal yang menyangkut keutamaan-keutamaan ibadah (fadhāil al a’māl) kecuali ada hadis yang maknanya serupa atau sesuai dengan ajaran-ajaran pokok syariat, maka yang menjadi landasan kita beramal adalah hadis sahih yang menunjukkan kepada makna tersebut, dan bukan hadis maudhu’ itu sendiri. Karena mengamalkan hadis maudhu’ merupakan pintu masuknya perkara-perkara bidah dan inovasi-inovasi baru, baik dalam lingkup akidah maupun hukum.
-
Hadis Matruk (Hadis yang Ditinggalkan)
Defenisinya, yaitu:
هو الحديث الذي يكون أحد رواته متهما بالكذب
Artinya: “Hadis yang salah seorang periwayatnya tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib).”
Sebagian ahli ilmu memberikan syarat lain, yakni matan hadisnya menyelisihi kaidah-kaidah umum dalam syariat. Namun syarat ini tidak harus ada, karena jika harus ada maka ia hampir sama dengan hadis maudhu’. Terutama jika periwayat yang tertuduh berdusta dari hadis ini menyendiri (tafarrud) dan tidak terdapat seorang pun dari periwayat lain yang menguatkannya.
Contohnya:
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi al Dunya dalam karyanya “Qadha’ al Hawaij” (No.6), dari jalur:
جويبر بن سـعـيـد الأزدي ، عن الضحاك ، عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي ﷺ قال : عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاعِ الْمَعْرُوفِ، فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ، فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Juwaibir bin Said al Azdi, dari al Dhahhak, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Hendaklah kalian berbuat baik karena hal itu akan mencegah dari kematian yang buruk, dan hendaklah kalian bersedekah yang rahasia karena hal itu dapat memadamkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.”
Dalam sanad hadis di atas terdapat seorang periwayat bernama Juwaibir bin Said al Azdi. Di mana Imam Nasa’i, Imam Daraquthni dan selain dari keduanya menilai orang ini dengan “Matruk al hadis (Hadisnya ditinggalkan)”, dan Ibnu Ma’in berkata, “Laisa bisyai’ (tidak ada apa-apanya).” Yang maknanya bahwa menurut Ibnu Ma’in periwayat ini tertuduh berdusta.
Catatan Penting:
Sebagian ahli memberikan pemaknaan yang lebih luas berdasarkan kriteria periwayat dari hadis ini. Ada yang menamakan hadis ini dengan istlah al Mathrūh (hadis yang dibuang), ada juga yang menamakannya dengan Wāhin yang berarti sangat lemah, dan istilah-istilah yang lain.
Namun, terlepas dari istilah-istilah di atas, bisa disimpulkan bahwa kualitas periwayat hadis ini lebih rendah dibandingkan kualitas periwayat hadis lemah yang bisa tertutupi kelemahannya dengan hadis yang derajatnya sama. Namun hadis matruk ini setingkat lebih di atas dibandingkan dengan hadis maudhu’ atau palsu.
Footnote:
(1) Diterjemahkan dan disadur dari kitab “Taysīr Ulūm al-Hadīts lil Mubtadiīn” karya Syekh Amru Abdul Mun’im Salim hafiẓahullāh.