33 FAEDAH TERKAIT BULAN MUHARAM DAN HARI ASYURA(1) (BAGIAN KEDUA)
Faedah Ketujuh Belas:
Menurut sebagian ulama, Puasa Asyura terdiri dari tiga tingkatan:
Pertama, berpuasa tiga hari berturut -turut pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharam. Terdapat hadis yang menjelaskan anjuran berpuasa di hari tersebut namun hadisnya lemah(2) dan sebagian salaf mengamalkannya sebagai bentuk kehati-hatian(3).
Kedua, berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharam saja, kebanyakan hadis menjelaskan anjuran berpuasa di dua hari ini dan inilah yang disebut dalam sunah.
Ketiga, berpuasa pada tanggal 10 Muharam saja, hal ini dibolehkan dan tidak dianggap makruh(4).
Faedah Kedelapan Belas:
Jika berpuasa Asyura bertepatan dengan hari Jumat atau Sabtu maka tidak mengapa berpuasa di hari tersebut dan tidak dimakruhkan. Hal itu karena orang berpuasa disebabkan karena Asyura-nya bukan karena hari Jumat atau Sabtunya(5).
Faedah Kesembilan Belas:
Barangsiapa memiliki tanggungan utang puasa Ramadan maka tidak mengapa dia berpuasa Asyura terlebih dahulu, baru setelah itu dia mengqada puasa Ramadannya dan puasanya dinilai sah sebagaimana pendapat sebagian ulama bahwa mendahulukan puasa sunah yang terbatas waktu pelaksanaannya dari puasa qada Ramadan adalah boleh dikarenakan waktunya luas dan bisa dikerjakan di lain waktu.
Faedah Kedua Puluh:
Barangsiapa yang berpuasa Asyura dan dia memiliki utang puasa Ramadan lalu kemudian dia menggabungkan niat puasa Asyura dan qadanya, maka puasa qadanya dinilai sah dan tetap diharapkan dia mendapatkan pahala puasa Asyura menurut sebagian ulama. Dia telah mendapatkan dua pahala sekaligus yaitu pahala puasa Asyura dan qada utang puasanya yang telah terbayarkan. Pendapat ini difatwakan oleh Syekh Ibnu Utsaimin raḥimahullāh(6). Akan tetapi, yang afdal adalah seseorang mengqada utang puasanya pada hari lain selain hari Asyura, dimana dia berpuasa Asyura dengan niat sunah lalu setelah itu dia membayar utang puasa wajibnya agar dia mengumpulkan dua keutamaan; keutamaan puasa qada dan keutamaan puasa Asyura.
Faedah Kedua Puluh Satu:
Dibolehkan seseorang untuk berpuasa tanggal 9 dan 11 Muharam dengan niat qada Ramadan dan puasa tanggal 10 Muharam dengan niat puasa sunah Asyura. Dengan begitu, dia tetap mendapatkan fadilah puasa sunah Asyura dan qadanya juga terbayarkan.
Faedah Kedua Puluh Dua:
Barangsiapa yang sedang bersafar, tidak mengapa baginya melakukan puasa Asyura jika hal tersebut tidak memberatkannya.
Faedah Kedua Puluh Tiga:
Tidak disyariatkan bagi wanita haid, nifas atau yang sakit ketika telah luput baginya puasa Asyura disebabkan uzur-uzur tersebut lalu mengqada puasa Asyura yang tidak sempat dilakukannya. Hal ini karena puasa Asyura disyariatkan di hari tertentu dan kesempatan pelaksanaannya telah berlalu dengan lewatnya hari Asyura tersebut(7).
Faedah Kedua Puluh Empat:
Barang siapa yang terhalang berpuasa Asyura karena adanya uzur seperti sakit, haid, dan wanita menyusui, padahal sudah menjadi kebiasaannya untuk melakukan puasa tersebut maka dia tetap mendapatkan pahala puasa tersebut dengan niatnya meskipun dia tidak melaksanakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau sedang bersafar akan dicatat baginya pahala sebagaimana yang dia kerjakan tatkala dia mukim dan sehat.”(8)
Faedah Kedua Puluh Lima:
Dahulu puasa Asyura menjadi sesuatu yang wajib sebelum Ramadan lalu kemudian hukumnya dihapuskan menjadi sunah yang dianjurkan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِصِيَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ ؛ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ؛ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan berpuasa Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Setelah puasa Ramadan telah diwajibkan maka berpuasalah yang mau berpuasa dan berbukalah bagi yang mau berbuka.”(9)
Pada hadis yang lain disebutkan,
هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
“Ini adalah hari Asyura, dan tidak diwajibkan atas kalian untuk berpuasa atasnya dan saya berpuasa. Barang siapa yang menginginkan untuk berpuasa maka berpuasalah dan barang siapa yang ingin berbuka lakukanlah.”(10)
Faedah Kedua Puluh Enam:
Hari Arafah lebih afdal dari pada hari Asyura dikarenakan puasa Arafah menghapuskan dosa sebanyak dua tahun. Dikatakan bahwa di antara hikmahnya adalah hari Asyura dinisbatkan kepada Nabi Musa ‘alayhissalām, sedangkan hari Arafah dinisbatkan kepada Nabi kita yang merupakan kekhususan syariat kita, sehingga dia lebih utama. Sebagian mengatakan bahwa puasa Arafah lebih utama karena dia berada di bulan haram dan diapit oleh dua bulan haram pula yakni Zulkaidah dan Muharam, hal ini berbeda dengan Muharam.(11) Sebagian mengatakan bahwa puasa Asyura adalah puasa yang dikerjakan karena Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada Musa alayhissalām dengan menyelamatkannya dari musuhnya. Adapun puasa Arafah adalah puasa yang dikerjakan karena Allah ‘azza wa jalla telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan kesempurnaan risalah yang dibawanya sehingga hari Arafah lebih afdal dibandingkan hari Asyura dikarenakan perbedaan jenis nikmat; pada hari Arafah kesempurnaan nikmat agama, adapun puasa Asyura adalah kesempurnaan nikmat badan yang diberikan oleh Musa, dan nikmat agama lebih afdal dari nikmat badan.
Faedah Kedua Puluh Tujuh:
Hari Asyura adalah hari agung di antara hari-hari Allah ta’ālā, sebagaimana disebutkan dalam hadis(12), Allah subḥānahu wa ta’ālā berfirman,
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ
“Ingatkan mereka tentang hari-hari Allah.” (Q.S. Ibrahim: 5)
Pada hari Asyura, Allah menyelamatkan nabi Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya sehingga nabi Musa ‘alayhissalām berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah ta’ālā atas nikmat ini dan Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa sunah mengikuti Nabi Musa ‘alayhissalām atas dasar bersyukur terhadap nikmat di waktu-waktu nikmat tersebut diperbaharui(13).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟”. فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ؛ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ؛ فَصَامَهُ مُوسَى؛ شُكْرًا؛ فَنَحْنُ نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ”. فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Dari Abdullah bin Abbas raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa ketika Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang orang Yahudi berpuasa Asyura. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Hari apa ini sehingga kalian berpuasa?’ Mereka berkata, ‘Hari ini adalah hari yang agung, hari dimana Allah menyelamatkan Musa beserta pengikutnya dan menenggelamkan Firaun beserta bala tentaranya maka nabi Musa berpuasa sebagai bentuk syukur dan kami pun berpuasa’. Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Kami lebih utama dan berhak berpuasa dari kalian’, maka berpuasalah Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau memerintahkan juga umatnya untuk berpuasa.”(14)
Faedah Kedua Puluh Delapan:
Hari Asyura mengingatkan kepada kita tentang hubungan erat nan mendalam antara sesama kaum muslimin meskipun berbeda zaman dan tempatnya. Hal ini sekaligus mengingatkan pentingnya mewujudkan ukhuwah iman sesama kaum muslimin dan loyalitas penuh kepada Allah, Rasul-Nya dan para hamba yang beriman. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (Q.S. al-Taubah: 71)
Faedah Kedua Puluh Sembilan:
Hari Asyura adalah hari bersyukur dan hari meminta kelapangan serta pertolongan dari Allah. Ketika dikatakan kepada Musa,
اِنَّا لَمُدْرَكُوْنَ
“Kita benar-benar akan tersusul (oleh Firaun dan bala tentaranya).” (Q.S. al-Syu’ara, ayat 61)
Musa menjawab,
كَلَّاۗ اِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
“Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Syu’ara, ayat 62)
Faedah Ketiga Puluh:
Pengagungan hari Asyura juga sudah dikenal di zaman jahiliah, dahulu mereka mengagungkan hari tersebut, berpuasa padanya dan begitu pula mereka mengganti kain Ka’bah di hari Asyura seperti yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah raḍiyallāhu anhā(15).
Faedah Ketiga Puluh Satu:
Pengagungan hari Asyura dilakukan dengan cara berpuasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan dan kebinasaan musuh. Kita mengingat balasan Allah terhadap musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh para Rasul-Nya.
Faedah Ketiga Puluh Dua:
Sebagian manusia banyak membuat ritual-ritual yang tidak disyariatkan di hari Asyura, seperti yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah (Syiah Rafidhah) yang menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung atas kematian Husain bin Ali raḍiyallāhu ‘anhumā. Mereka menjadikannya sebagai hari bersedih, meratap, merobek-robek baju, menampar pipi bahkan melukai diri. Semua ini adalah sesuatu yang tidak berdasar dan tidak disyariatkan oleh Allah ‘azza wa jalla bahkan termasuk perkara jahiliah. Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan dari golongan kami, yaitu orang yang menampar pipinya, mengoyak-ngoyak saku bajunya atau berdoa dengan doa orang-orang Jahiliyah.”(16)
Seorang mukmin, jika ditimpa musibah maka dia bersabar dan berharap atas musibah tersebut serta rida terhadap ketetapan Allah ‘azza wa jalla.
Faedah Ketiga Puluh Tiga:
Betapa banyak manusia yang tertipu dan masuk dalam perangkap setan pada hari Asyura ini sehingga mereka jauh dari jalannya orang-orang yang beriman. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari berkabung dan takziyah, sebagian lagi melakukan yang sebaliknya, dengan menjadikannya sebagai hari bergembira dengan mengadakan acara kumpul-kumpul sambil bernyanyi. Sebagian lain membuat kue dan makanan khusus di hari tersebut, hal ini seperti ini ada unsur tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan hari Asyura seperti hari raya. Semuanya ini termasuk bid’ah dan membuat hal-hal yang baru dalam agama.
Kami memohon kepada Allah ta’ālā memberikan taufik kepada kita terhadap segala perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridai-Nya. Walḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn.
Footnote:
(1) Tulisan ini disadur dan diterjemahkan dari situs resmi Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid hafiẓahullāh: https://almunajjid.com/books/lessons/127 dan juga telah dicetak dalam format e-sebuah buku oleh Zad Group.
(2) Lafaz hadisnya:
“صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا”
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura` dan selisihilah kaum Yahudi, maka berpuasalah satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” (H.R. Imam Ahmad, no. 2154).
Dalam riwayat lain,
صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah satu hari sebelumnya dan satu hari setelahnya” (H.R. al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, no. 8406).
Hadis ini dinyatakan lemah oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahādits al-Ḍa’īfah (no. 4297) dan juga dilemahkan oleh para pentahkik Musnad Ahmad akan tetapi sanad dinilai hasan oleh Syekh Ahmad Syakir.
(3) Lihat: Laṭā’if al-Ma’ārif (hal. 52).
(4) Lihat: Zād al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim (2/72) dan Fatḥu al-Bārī karya Ibnu Hajar (4/246).
(5) Lihat: Fatḥu al-Bārī (4/234), Fatāwā Ibn Bāz (15/414) dan Fatāwā Ibn Utsaimin (20/58).
(6) Lihat: Fatāwā Ibn Utsaimin (20/48).
(7) Lihat: Fatāwā Ibn Utsaimin (20/43).
(8) H.R. Bukhari (no. 2966).
(9) H.R. Bukhari (no. 1592) dan Muslim (no. 1125).
(10) H.R. Bukhari (no. 2003) dan Muslim (no. 1129)
(11) Lihat: Badai’ al-Fawā’id (4/211) dan Fatḥu al-Bārī (4/249)
(12) Dalam hadis disebutkan (artinya), “Asyura adalah di antara hari-hari Allah.” (H.R. Muslim, no. 1892).
(13) Laṭā’if al-Ma’ārif (hal. 96) dengan sedikit perubahan redaksi.
(14) H.R. Bukhari (no. 3943) dan Muslim (no. 1130), redaksi hadis ini sesuai lafaz Muslim.
(15) H.R. Bukhari (no. 1592, 1893) dan Muslim (no. 1125).
(16) H.R. Bukhari (no. 1294) dan Muslim (no. 103).