Setelah mengutip hadis tentang istikamah, Imam al-Nawawi mengutip sebuah hadis yang menjelaskan kadar terendah istikamah agar surga Allah benar-benar dapat diraih.
عَنْ أَبيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنهما أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النبي ﷺ فَقَالَ: أَرَأَيتَ إِذا صَلَّيْتُ المَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضانَ، وَأَحلَلتُ الحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلى ذَلِكَ شَيئاً أَدخُل الجَنَّة ؟ قَالَ: نَعَمْ. رواه مسلم
Dari Abu ‘Abdillah, Jābir bin ‘Abdillah al-Anshāri radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai utusan Allah, apa menurut Anda jika aku mengerjakan salat-salat wajib (lima waktu), puasa Ramadhan, aku menghalalkan apa yang halal dan aku mengharamkan apa yang haram serta aku tidak akan menambahnya dengan sesuatu pun selain itu, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Ya.” (H.R. Muslim)
Dalam riwayat-riwayat yang lain disebutkan bahwa sang penanya bernama al-Nu’mān bin Qauqal al-Anshāri al-Khazraji.
Imam al-Nawawi berkata bahwa makna ”aku mengharamkan apa yang haram” adalah aku menjauhinya, sedangkan makna ”menghalalkan apa yang halal” adalah aku akan mengerjakannya dengan meyakini kehalalannya.
Di sini juga terdapat isyarat bahwa hendaknya seorang muslim mempelajari baik-baik perkara halal-haram yang bersinggungan dengan kehidupannya sehari-hari. Konsekuensinya adalah hendaknya seorang muslim senantiasa belajar agama, mengerumuni majelis ilmu, dan tidak sungkan bertanya kepada para ulama terutama terkait kewajiban-kewajiban agama dan perkara halal-haram.
Dalam hadis ini terdapat pelajaran bahwa mengerjakan amalan wajib dan menjaganya sepanjang hidup dapat mengantarkan seseorang untuk meraih surga Allah subhanahu wa ta‘ala. Dalam riwayat Imam Muslim, setelah al-Nu’mān mendengar jawaban dari Rasulullah ﷺ, ia pun berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menambah sedikit pun.” Maksudnya ialah tidak akan menambah amalan-amalan sunah dan mencukupkan diri dengan mengerjakan amalan wajib saja.
Dalam hadis lain diceritakan bahwa ada seorang Badui mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku pada suatu amalan yang mana jika aku mengamalkannya niscaya aku masuk surga?” Beliau menjawab, “Kamu menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat wajib, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadan.” Dia berkata, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah lebih dari ini sedikit pun selamanya dan tidak pula menguranginya.” Ketika orang Badui itu pergi, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa ingin melihat seorang laki-laki dari penduduk surga maka hendaklah dia melihat orang itu.”[1]
Salat lima waktu yang dijaga oleh seorang muslim dapat mengantarkannya menuju surga. Demikian pula puasa yang ia kerjakan. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menyedekahkan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil kelak di dalam surga, ‘Wahai hamba Allah! Inilah pahala kebaikanmu.’ Siapa yang rajin salat, dia akan dipanggil dari pintu salat, siapa yang ikut berjihad untuk menegakkan agama Allah, dia akan dipanggil dari pintu jihad, dan siapa yang rajin bersedekah, dia akan dipanggil dari pintu sedekah, dan siapa yang rajin berpuasa, dia akan dipanggil dari pintu al-Rayyān.”[2]
Dalam hadis ini, al-Nu’mān tidak menanyakan tentang zakat dan haji. Bukankah keduanya adalah kewajiban bahkan keduanya adalah dua rukun Islam?
Banyak pendapat yang disebutkan para ulama untuk menjawab pertanyaan ini, di antaranya:
- Perbincangan ini terjadi sebelum diwajibkannya zakat dan haji.
- Al-Nu’mān kala itu adalah orang yang tidak wajib mengerjakan zakat dan haji. [3]
- Al-Nu’mān hanya menyebutkan sebagian kewajiban saja untuk mengisyaratkan bahwa beliau hanya akan mengerjakan semua yang wajib tanpa mengerjakan amalan yang sifatnya sunah.[4] Apalagi setelah itu beliau berkata, “Aku menghalalkan apa yang halal dan aku mengharamkan apa yang haram.” Mengerjakan zakat dan haji termasuk di dalamnya karena meninggalkan kewajiban adalah haram. Meninggalkan zakat dan haji adalah haram. [5] “Apakah aku akan masuk surga?” Yang dimaksud dengan penggalan kalimat tersebut adalah masuk surga secara mutlak, yakni masuk surga tanpa azab. Seakan-akan beliau ingin memastikan bahwa jika beliau hanya mencukupkan diri dengan amalan wajib tanpa mengerjakan amalan sunah, maka beliau akan masuk surga dan tidak mendapatkan mudarat di akhirat kelak karena tidak mengerjakan amalan yang hukumnya sunah. Namun, orang yang meninggalkan amalan yang bersifat sunah akan banyak merugi. Apalagi jika meninggalkannya dengan didasari faktor ketidaksukaan dan sikap meremehkan. Ini bisa dianggap sebagai kefasikan.[6]
Amalan sunah memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Di antara fungsi dari pada amalan sunah adalah:
- Menutupi kekurangan yang terjadi pada amalan wajib. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah salatnya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada malaikat (sedang Allah lebih mengetahui), ‘Periksalah salat hamba-Ku, sempurnakah atau kurang? Sekiranya sempurna, maka catatlah baginya dengan sempurna!’ Jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan salat sunah?’ Jika terdapat salat sunahnya, Allah berfirman, ‘Cukupkanlah kekurangan yang ada pada salat wajib hamba-Ku itu dengan salat sunahnya’. Selanjutnya semua amal manusia di hisab dengan cara demikian.”[7]
- Mengangkat derajat di surga. Manusia terbagi menjadi tiga bagian. Allah berfirman,
ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ ٣٢ جَنّٰتُ عَدْنٍ يَّدْخُلُوْنَهَا يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّلُؤْلُؤًا ۚوَلِبَاسُهُمْ فِيْهَا حَرِيْرٌ ٣٣
“Kemudian, kitab suci itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah (dianugerahkannya kitab suci adalah) karunia yang besar. (Balasan mereka di akhirat adalah) surga ‘Adn yang mereka masuki. Di dalamnya mereka dihiasi gelang-gelang dari emas dan mutiara. Pakaian mereka di dalamnya adalah sutra.” (Q.S. Fatir: 32-33)
Dalam terjemahan Kementerian Agama tahun 2019 disebutkan, “Ungkapan ‘menzalimi diri sendiri’ berarti melakukan dosa, sedangkan kata ‘pertengahan’ mengacu kepada orang yang melakukan amalan yang wajib saja dan menjauhi dosa. Adapun orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan adalah orang-orang yang tidak hanya mengerjakan yang wajib, tetapi juga mengerjakan yang sunah.”
- Mengundang cinta Allah. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan. Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunah, maka Aku mencintai dia. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, tangannya yang ia jadikan untuk meraih, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan. Jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi. Jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Kulindungi.”[8]
- Menjadikan diri berpeluang semakin dekat dengan rasul di surga kelak. Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami bercerita, “Saya bermalam bersama Rasulullah ﷺ, lalu saya membawakan air wudu dan air untuk hajat beliau. Beliau pun bersabda kepada saya, ‘Mintalah kepadaku’. Maka aku berkata, ‘Aku meminta kepadamu agar aku menemanimu di surga’. Beliau berkata, ‘Atau ada selain itu?’ Aku menjawab, ‘Itulah keinginanku’. Beliau menjawab, ‘Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud’.”[9]
Mari pastikan bahwa amalan wajib terlaksana sempurna dengan memperhatikan pemenuhan rukun-rukunnya. Langkah awalnya adalah dengan serius mempelajari semua kewajiban-kewajiban tersebut, menanyakan kepada para ulama terkait dengan sah tidaknya. Setelah itu, mari tingkatkan kualitas dan kuantitas amalan sunah guna meraih manfaat-manfaatnya di dunia dan akhirat.
Footnote:
[1] H.R. Muslim (16).
[2] H.R. Muslim 1705.
[3] Lihat al-Fath al-Mubīn karangan Ibnu Hajar al-Haitami hal.390.
[4] Lihat al-Hulal al-Bahiyyah karang DR. Manshūr al-Shuq’ūb hal. 178.
[5] Lihat al-Ta’yīn fi Syarh al-Arba’īn karangan al-Thūfi hal. 716.
[6] Lihat al-Mufhim karya al-Qurthubi vol.1 hal. 81.
[7] H.R. Abu Dawud (864).
[8] H.R. Bukhari (6021).
[9] H.R. Muslim (489).