وَعَن رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Rāfi’ bin Khadīj, dia berkata, “Kami pernah salat Maghrib bersama Nabi ﷺ dan ketika kami keluar (dari masjid), salah seorang dari kami masih dapat melihat dengan jelas posisi anak panahnya yang terjatuh.” Muttafaqun ‘alaihi.[1]
Kosa kata hadis:
- مَوَاقِعَ نَبْلِهِ artinya tempat dimana jatuhnya anak panah yang dilepaskan. Makna ungkapan tersebut adalah bahwa salat Maghrib dilaksanakan pada awal waktu, dimana jika seandainya seseorang melepaskan anak panahnya, dia masih dapat melihat posisi jatuh anak panah tersebut.
- النَبْلُ artinya panah kaum Arab (السِهَامُ العَرَبِيَّةُ).[2]
Makna hadis:
Rāfi’ bin Khadīj t menyebutkan bahwa beliau pernah salat Maghrib bersama Nabi ﷺ dengan menyegerakannya pada awal waktu. Ketika matahari telah terbenam, mereka langsung melaksanakan salat Maghrib tersebut, sehingga ketika mereka selesai salat dan keluar dari masjid dan salah seorang dari mereka melesatkan anak panahnya, maka dia masih dapat melihat tempat jatuh anak panah tersebut karena cahaya yang masih tersisa meskipun matahari telah terbenam.[3]
Faedah dan istinbat dari hadis:
- Hadis tersebut menunjukkan bolehnya menyegerakan salat Maghrib begitu matahari terbenam di ufuk barat. Hal ini merupakan ijmakulama, sedang kaum Syi’ah yang menolak kesepakatan tersebut tidak memiliki landasan hukum dan pendapat mereka tidak dianggap dan tidak perlu diperhatikan. Sedangkan hadis yang menunjukkan bahwa salat Maghrib pernah dilakukan ketika mega merah sudah hampir hilang di langit menunjukkan dan menjelaskan bolehnya mengakhirkan, sedangkan hadis ini menunjukkan waktu salat Maghrib yang kontinu dan lebih sering dilakukan oleh Nabi ﷺ.[4]
Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ – أَوْ قَالَ: عَلَى الْفِطْرَةِ – مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ
Artinya:
“Umatku senantiasa dalam kebaikan –atau beliau berkata: di atas fitrah –selama mereka tidak mengakhirkan salat Maghrib hingga bintang-bintang bermunculan.”[5]
Footnote:
[1] H.R. al-Bukhārī (559) dan Muslim (637).
[2] Badruddīn al-‘Ainī. Syaraḥ Sunan Abī Dāwud. Jilid 2, hlm. 282.
[3] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 136.
[4] Al-Nawawī. Al-Minhāj. Jilid 5, hlm. 136.
[5] H.R. Abū Dāwud (418).